Sabtu, 28 September 2013

Awal Sejarah Jawa dan Madura

Menurut cerita purbakala kurang lebih tahun 78 datanglah Adji Saka dari Negeri Campa yang memperkenalkan Negara Hindu ke Pulau Jawa dan Madura.

Pada saat itu mulai  diadakan perhitungan tahun Saka dan memperkenalkan huruf :
3    Anacaraka        3    Data sawala
3    Padajayanya     3    Magabatanga

Dengan demikian setahap demi setahap kebudayaan hindu mulai tersebar dan menurut cerita sekaligus orang jawa dan madura diperkenalkan pada Agama baru ialah adanya kepercayaan terhadap :
3   Brahma
3   Syiwa
3   Wisnu



Beberapa abad kemudian, diceritakan, bahwa ada suatu negara yang disebut Mendangkamulan dan berkuasalah seorang Raja yang bernama Sangyangtunggal. Waktu itu pulau Madura merupakan pulau yang terpecah belah, Yang tampak ialah Gunung Geger di daerah Bangkalan dan Gunung Pajudan didaerah Sumenep. Diceritakan selanjutnya bahwa raja mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan diketahui Ayahnya. Ayahnya beberapa kali menanyakan tetapi gadis itu tidak tau pula kenapa sebabnya ia hamil. Raja amat marah dan menyuruh Patihnya yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Selama Pepatih itu tiidak dapat membuktikan bahwa anak itu sudah dibunuh ia tidak boleh kembali kekerajaan. Patih Pranggulang menyanggupinya dan membawa anak Raja Yang hamil itu kehutan, sesampainya dihutan ia menghunus pedangnya keleher gadis itu tetapi setelah ujung pedang mau sampai keleher Bendoro Gung pedang itu jatuh ketanah begitulah sampai 3 kali, Pranggulang ahirnya meyakinkan dirinya bahwa hamilnya Bendoro Gung bukanlah hamil karena perbuatannya sendiri.

Karena  itu ia tidak melanjutkan untuk membunuh anak Raja itu tetapi ia memilih lebih baik tidak kembali ke Kerajaan. Pada saat itu ia merubah nama dirinya dengan Kijahi Poleng dan pakaiannya di ganti juga dengan Poleng (Arti Poleng,kain tenun Madura). Ia lalu membuat rangkaian kayu-kayu (bahasa Madura Ghitek). Dan gadis yang hamil itu didudukkan di atasnya, serta gitek itu di hanyutkan menuju ke Pulau “Madu Oro”.


Inilah asal mula Pulau Madura, sebelum berangkat Kijahi Poleng memesan kepada Bendoro Gung Untuk memukul kakinya diatas tanah jika ada keperluan apa papa maka Kijahi Poleng akan datang untuk membantunya, Selanjutnya ghitek itu terus menuju “Madu Oro” dan terdampar di Gunung Geger gadis hamil itu terus turun.

LAHIRNYA RADEN SAGORO 

Pada saat si gadis hamil itu merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Kijahi Poleng. Tidak antara lama Kijahi Poleng datang dan ia mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak. Tak lama lagi lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya sangat bagus dan diberi nama “Raden Segoro” (Segoro = laut). Dengan demikian ibu dan anak tersebut menjadi penduduk pertama dari Pulau Madura.

Perahu-perahu yang banyak berlayar di Pulau Madura sering melihat adanya cahaya yang terang ditempat dimana Raden Segoro berdiam, dan seringkali perahu-perahu itu berhenti berlabuh dan mengadakan selamatan ditempat itu. Dengan demikian tempat itu makin lama menjadi ramai karena sering kedatangan tamu - tamu terutama yang niatnya dapat terkabul untuk maksud-maksud kepentingan pribadinya. Selain daripada itu para pengunjung memberikan hadiah-hadiah kepada Ibu Raden Segoro maupun kepada anak itu sendiri. Selanjutnya setelah Raden Segoro mencapai umur 3 tahun ia sering bermain di tepi lautan dan pada suatu saat datanglah 2 ekor naga besar mendekati dia. Dengan ketakutan ia lari menjumpai ibunya dan menceritakan segala sesuatu yang dilihatnya. Ibunya merasa sangat takut pula karena itu ia memanggil kijahi Poleng. Setelah Kijahi Poleng datang, Bendoro Gung menceritakan apa yang telah dialami anaknya. Kijahi poleng mengajak Raden Segoro untuk pergi ketepi pantai.


Pada saat itu memang benar datanglah 2 ekor ular raksasa dan Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro supaya 2 ekor ular itu didekati dan selanjutnya supaya ditangkap dan dibanting ke tanah. Setelah dikerjakan oleh Raden Segoro maka 2 ekor ular raksasa tersebut berubah menjadi 2 buah tombak. Tombak itu oleh Kijahi Poleng diberi nama Si Nenggolo dan Si Aluquro. Kijahi poleng mengatakan supaya Si Aluquro disimpan dirumah saja dan Si Nenggolo supaya dibawa apabila pergi berperang. Selanjutnya diceritakan, setelah Raden Segoro berumur 7 Tahun berpindahlah tempat mereka dari Gunung Geger ke dekat Nepa. Didesa Nepa itu memang penuh dengn pohon Nepa dan letaknya sekarang ada di Ketapang (Kabupaten Sampang) dipantai Utara yang sekarang banyak keranya.


Selanjutnya diceritakan, Raja Sanghjahtunggal dinegara MendangKamulan, kedatangan musuh dri negara Cina. Dalam Pertempuran tersebut MendangKamulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga rakyatnya hampir musnah terbunuh. Pada suatu malam ia bermimpi kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di pulau Madu-Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro. Raja dianjurkan untuk minta bantuan Raden Segoro jika dalam peperangan ingin menang.

Keesokan harinya Raja memerintahkan pepatihnya untuk datang ke Madura, menjumpai Raden Segoro guna minta bantuan. Sesampainya Patih tersebut di Madura, ia terus menjumpai Raden Segoro dan mengemukakan kehendak Rajanya. Ibu Raden Segoro mendatangkan Kijahi Poleng dan minta pendapatnya, apakah kehendak raja dikabulkan atau tidak. Ternyata Kijahi Poleng merestui agar Raden Segoro berangkat ke kerajaan MendangKamulan untuk membantu raja didalam peperangan. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata si Nenggolo. Kijahi Poleng ikut serta, tetapi tak tampak kepada orang. Sesampainya di kerajaan Mendangkamulan terus berperanglah ia dengan tentara Cina. Begitu si Neggolo diarahkan kepada sarang musuh, maka banyak tentara musuh tewas terkena penyakit. Akhirnya Raja Mendangkamulan atas bantuan Raden Segoro menang didalam peperangan dengan tentara Cina dan setelah itu Raja mengadakan Pesta besar karena dapat mengusir musuhnya. Raja bermaksud mengambil Raden Segoro sebagai anak mantunya. Ditanyakanlah kepadanya siapa sebenarnya orang tuanya. Raden Segoro minta ijin dahulu untuk pulang ingin menanyakan kepada ibunya. Sesampainya di Madura ia menanyakan kepada ibunya siapa gerangan ayahnya.

Ibunya kebingungan untuk menjawabnya. Pada saat itu pula ibu dan anaknya lenyaplah dan rumahnya disebut Keraton Nepa.  Diceritakan selanjutnya bahwa menurut kepercayaan orang, dua buah tombaknya (Si Nenggolo dan Si Aluquro) pada akhirnya, sampailah ketangan Pangeran Demang Palakaran, Raja Arosbaya. Karena itu sampai sekarang 2 tombak itu menjadi Pusaka Bangkalan.

Tombak Pusaka Kerajaan Bangkalan
Demikianlah diceritakan adanya penduduk pertama di Pulau Madura. Dari segi sejarah memang masih dicek kebenarannya, tetapi karena cerita ini kuat beredar dan menjadi legenda (dongengan) dari generasi ke generasi, kami anggap perlu untuk diceritakan kepada para penggemar sejarah.



Dikutip dari :
Oleh :
DR. Abdurrahman


Share:

Sabtu, 21 September 2013

Ki Demong Plakaran

Kebiasaan Ki Demong ialah bertapa, yang mana dalam pertapaannya telah dikisahkan bahwa ia mendapat perintah untuk pergi kearah Barat yang mana nantinya supaya keturunan dari Kiai Demong bisa memerintah daerah Sampang, setelah itu Ki Demong mohon ijin kepada orang tuanya dan ia melakukan perjalanan panjang menuju arah Barat.


Dalam perjalanan panjangnya, hampir setiap desa yang dilaluinya merasa kedatangannya seorang pemimpin, dan bertambah banyak pengikutnya untuk melaksanakan kehendak hatinya.

Sesampainya disuatu tempat bertemulah ia dengan seorang nenek tua yang memberikan bingkisan 40 bunga, lalu Kiai Demong bertanya, apakah ini nek? Dan dimanakah berdirinya pohon ini?. Lalu dijawabnya bahwa pohon ini ada di Desa Plakaran yang tidak jauh dari sini, sekalian nenek tersebut menawarkan untuk sudi mampir kerumahnya. Sesampainya dirumah nenek tadi, ia didatangi oleh salah satu putri nenek yang bernama Nyi Sumekar. Setelah melihat putri nenek tersebut Ki Demong merasa jatuh cinta kepadanya dan langsung dipersunting olehnya.

Dengan dikawinnya Nyi Sumekar maka bertambah banyak pengikut Ki Demong, rakyat disekitar Plakaran tunduk kepadanya, sebagai rasa tunduk rakyat banyak yang menghadiahkan anak gadisnya kepadanya untuk dijadikan selir. Setelah beberapa lamanya, maka Ki Demong mendirikan rumah di sebelah Timur Arosbaya yang diberi nama Kota Baru.

Perkawinan antara Ki Demong dengan Nyi Sumekar lahirlah beberapa anak dengan nama-nama sebagai berikut :

01.  Ki Adipati Pramono
02.  Ki Pratolo
03.  Ki Pratali
04.  Ki Panangkan
05.  Ki Pragalbo

Keseluruhan ia mempunyai 30 orang anak laki-laki dan bersama bapak ibunya kesemuanya berjumlah 40 orang yang jumlahnya sama dengan waktu pertama ia menerima bingkisan bunga dari nenek tua.




Dikutib dari : Buku Makam Kuno “AERMATA” di Arosbaya Bangkalan.
Oleh: Agus Dwi Tjahjana

Share:

Selasa, 17 September 2013

ERFPRINS 1849

Ditengah-tengah padatnya lalu lalang kendaraan di kota Bangkalan, tepatnya disamping Kantor Laka Lantas Polres Bangkalan, telah berdiri kokoh sebuah bangunan tua. Bangunan tersebut dikelilingi tembok setinggi 4,5 meter, dengan ketebalan tembok 0,5 meter dan didalamya terdapat gedung yang memiliki luas 980 m2 dengan luas seluruh bangunan tersebut 7.249 m2... [DI]

Masyarakat Bangkalan pada umumnya lebih mengenal bangunan tersebut dengan sebutan Benteng Bangkalan atau Benteng Kolonial, namun sebenarnya nama benteng tersebut adalah “ERFPRINS”  nama Raja Williem III sebelum dilantik menjadi Raja Belanda hal ini didasarkan pada Surat yang dikirim KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) dan ditujukan pada Direktur Museum Cakraningrat, pada bulan Mei 2010. Sebab benteng tersebut dibangun Raja Willem 1 yang hidup antara 1817-1848. Raja ini memiliki dua anak. Pertama bernama Prins Van Oranye dan bergelar Raja Willem II pada 1840 dan kedua bernama Erfprins atau Willem III yang menjadi Raja pada tahun 1849. 

Sumber : Tretans.com

Adapun data-data yang berhasil dihimpun, menyatakan bahwa bangunan tua  yang berlokasi di Sumur Kembang, Kelurahan Pejagan Kota Bangkalan ini lebih mengarah pada gudang persenjataan pada masa kolonial. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Bangunan Benteng ERFPRINS merupakan salah satu Cagar Budaya di kabupaten bangkalan yang harus dilestarikan, dan dipertegas lagi dengan Surat Keterangan Benda Cagar Budaya dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan (BP3 Trowulan), tertanggal 12 Desember 2003.

Menurut penuturan R. Abdul Hamid Mustari, bahwa Bangunan Benteng ERFPRINS tersebut dulunya pernah difungsikan sebagai Kantor Residen Madura Barat pada masa Panembahan Shido Mukti  atau Panembahan Tjakraadiningrat VII pada periode Tahun 1745-1770. Selain itu juga pernah menjadi Kantor Residen Madura, dan Benteng ERFPRINS juga pernah digunakan sebagai Markas Brimob, pada tahun 1960-an.


Bangunan Benteng ERFPRINS juga merupakan bukti sejarah keberadaan Kerajaan Madura Barat, hal ini tertulis dengan jelas di GEDENK BOEK atau (Buku Kenang-kenangan) yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh R.A.A. Cakraningrat yang waktu itu menjabat sebagai Bupati ke-III di Bangkalan” tutur Ketua Paguyuban Kesultanan Bangkalan.


Pintu masuk Benteng ERFPRIN yang dibangun di tanah seluas kurang lebih 1 hektare ini terletak di sebelah selatan. Saat masuk bau menyengat langsung merayap ke hidung. Untuk menyusuri bagian atas benteng ini, hanya ada satu-satunya tangga batu yang sudah ditumbuhi rumput liar di Bagian Barat Daya. Pada bagian ini terdapat menara intai dengan tiga lubang intai yang bertujuan untuk memonitor keadaan disekitar Benteng.



Di sisi Barat Laut Benteng ERFPRIN ada satu lagi menara intai. Tapi kondisinya lebih buruk dari menara pertama. Rupanya ditempat itu telah terjadi alih fungsi lahan dimana sebagian lantai sudah dijadikan ternak ayam. Selain itu lahan tersebut ditanami berbagai macam tanaman diantaranya pohon nangka, pisang, mangga, papaya, jati hingga kelapa tumbuh subur dalam benteng.


Kolonial Belanda waktu itu juga melengkapi benteng tersebut dengan berbagai fasilitas diantaranya kamar mandi dan WC yang sampai saat ini masih berfungsi serta terdapat sebuah bangunan berbentuk simetris dari Utara ke Selatan. Dan kini bangunan tersebut dijadikan rumah dinas anggota polisi. 


Kondisi Benteng ERFPRINS pada saat ini semakin memprihatinkan, dimana Bangunan Benteng ERFPRINS tampak semakin kumuh, temboknya sudah banyak yang rusak dan diperparah lagi di sekeliling benteng banyak terdapat pedagang kaki lima dimana dengan seenaknya meletakkan gerobak dagangannya di areal benteng tersebut serta perumahan warga yang bersentuhan langsung dengan dinding benteng sehingga menambah kumuh di areal bangunan Benteng. 


Sementara itu masih didalam benteng itu sendiri terdapat 17 kepala keluarga yang mendiami, mereka adalah keluarga purnawirawan Brimob yang dahulu ditempatkan di Bangkalan.

Kurangnya perhatian dan kurang pedulinya masyarakat Bangkalan terhadap peninggalan sejarah ini dirasakan Muhammad Irwanto yang menjadi Juru Pelihara sejak tahun 1997, menggantikan almarhum ayahnya. “Jarang sekali masyarakat mengetahui sejarah benteng ini, padahal benteng ini merupakan bukti sejarah penting di Bangkalan”.


Menurut penuturan Muhammad Irwanto selaku Juru Pelihara Benteng, pada zaman Bupati Ir. Moh. Fatah, MM, bangunan benteng tersebut rencananya akan dikelola menjadi museum dan pusat pagelaran budaya, namun sayangnya tidak terealisasi karena antara Pemerintah Daerah dan Pihak yang menempati Benteng tersebut atau dari Angkatan Darat belum ada kata sepakat sehingga apa yang sudah direncanakan Pemerintah Daerah tersebut belum terwujud.

Lantas yang ada di benak kita sekarang adalah, “sampai kapan mimpi itu terwujud?, apakah sampai bangunan benteng tersebut rata dengan tanah karena terlindas putaran waktu, baru mimpi kita terwujud?” 



Photo Koleksi : Bangkalan Memory


Share:

Senin, 16 September 2013

Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung

Raden Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.

Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.


Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia mempunyai tiga orang anak, yaitu RA. Atmojonegoro, R. Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.

Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.

Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.

Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.

Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.

Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.

Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.

Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.

Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.

Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura.

Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.

Cakraningrat III digantikan oleh Tumenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.

Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.

Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.

Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.

Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkap.


Share:

Minggu, 15 September 2013

Masa Pemerintahan Panembahan Tjokroadiningrat V

Panembahan Tjakraadingrat V (Sidho Mukti) mempunyai seorang putra sulung bernama Raden Abdul Djamali yang diangkat menjadi Bupati Sidayu bergelar Raden Tumenggung Ario Surodiningrat.

Putranya meninggal terlebih dahulu dari ayahnya dengan meninggalkan seorang istri yang hamil 7 bulan yang kemudian melahirkan seorang putra laki-laki yang bergelar Raden Tumenggung Manguadiningrat. Ibu dari Beliau bernama Raden Aju Galuh Putri dari kesepuhan Surabaja, kemudian menjadi istri dari Raden Ario Mlojokusumo I di Kebunan (Bangkalan) yaitu saudara dari almarhum ayah dari Beliau. 

Setelah Panembahan Tjokroadiningrat V meninggal, maka Raden Tumenggung Mangkuadiningrat sebagai cucu laki-laki tertua dari putra laki-laki tertua yang menggantikannya di Bangkalan dengan gelar Panembahan Adipati Setjoadiningrat.

Setelah di Semarang diadakan kumpulan dari semua Bupati di daerah pesisir, maka Beliau berubah nama Panembahan Tjokroadiningrat VI. Didalam memegang tumpuk pimpinan di tanah Madura, tidak pernah terjadi pemberontakan atau peperangan sehingga tentara Bangkalan tinggal menganggur.

Pada tahun 1780 Beliau wafat dengan tidak meninggalkan seorang putra. Jenazah Beliau dimakamkan di Aermata. Oleh masyarakat Bangkalan, Beliau di sebut Panembahan Tengah.




Dikutib dari :
Buku Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya
Oleh:
R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)


Share:

"Pangeran Musyarif" Penyebar Agama Islam Di Madura Barat

Seperti kita ketahui bersama bahwa pemerintahan pada waktu itu bermula dari Plakaran yang tidak jauh tempatnya dengan Arosbaya sekarang. Pada waktu itu Raja/penguasanya ialah kyai Demang, seperti pada silsilah setelah ia meninggal digantikan putranya yang bernama kyai Pragalbo ke Arosbaya yang pada waktu itu bernama kota Anyar, dan sebagai penguasanya ialah R. Pratanu yang bergelar Panembahan Lemah Duwur.


Panembahan Lemah Duwur menggantikan ayahnya pada tahun Candra Sengkala “Sirna Pendawa Kertaning Negara“ yang diartikan tahun Cakra 1450, hal ini diperkuat pemberitaan menurut Geedenbook yang isinya sebagai berikut ;

Het Java jaar 1450, wartderhalve door devolgende senkolo : Sirno Pendowo kertaning Negoro. (deer wernietieging der pendowo’s kwam hetrijk tet welvaart).

Pada tahun 1450, dibuat oleh sangkala, kelanjutannya disebut : Sirno Pendowo Kertaning Negoro (dengan menghilangnya pendowo daerah menjadi makmur)

Seperti diceritakan diatas setelah kyai pragalbo wafat digantikan putranya yaitu R. Pratanu dengan panembahan Lemah Duwur, yang jauh sebelumnya telah dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaan. 

Panembahan Lemah duwur menjadi raja Islam pertama di Madura Barat, yang tadinya pemerintahan ada di plakaran maka dipindahkan ke arosbaya. Menurut perkiraan penulis bahwa kraton tersebut terletak di Dusun Bunalas yang sekarang dijadikan tempat pemakaman umum, termasuk wilayah desa Arosbaya. Dalam Penelitian disitu terdapat sebuah peninggalan berupa Altar yang mungkin pada waktu itu digunakan sebagai pelengkap istana kerajaan.

Sangat masuk diakal bahwa ciri-ciri pemerintahan Islam ialah disebelah timur adalah kerajaan/pusat pemerintahan dan ditengahnya/disebelah baratnya adalah alun-alun setelah iti baru masjid dan dikanan kiri terdapat desa atau dusun kaoman dalam arti kata kaum muslim dan didukung dengan adanya bekas suatu bangunan/reruntuhan bangunan yang bahan bakunya dari batu bata merah.

Dengan pemerintahan Islam maka pengusaha Arosbaya menganjurkan semua keluarga kraton dan penduduk/rakyat untuk memeluk agama Islam, maka dengan cepat agama Islam itu meluas dikalangan rakyat yang berada di pedalaman.

Pada buku Geedenkbook mengatakan bahwa :
Order dezen eersten Panembahan van Madoera die tot den Islam overging nam eiland zeer in melvart toe vermeerdeede hetaantalleereren enloeke reingen van den Islam ope in het ooglo opende wijze.

Artinya :

Dibawah Panembahan ini, yang beralih kepada agama Islam, Pulau ini menunjukkan suatu kemakmuran dan menambah jumlah dan pengikutnya.

Selanjutnya Geedenkbook mengatakan :

Panembahan Lemah Doewoer voerde eenui terstrecht varding en vas op de voorschrifte van den godsdienst gebassert bewind.

Artinya :

Panembahan Lemah Duwur, mengadakan pimpinan sangat adil dan kokoh serta peraturan yang berdasarkan agama.

Berita ini menunjukkan bahwa agama Islam menjadi dasar pemerintahan pada waktu itu yang kuat untuk mencapai suatu masyarakat yang sejahtera. Disamping itu ia berusaha untuk merangkul para ulama-ulama dan rakyatnya untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.

Panembahan Lemah Duwur mempunyai beberapa orang putra dan putri yang diantaranya ada yang bernama Mas Ayu Ireng, yang nantinya kawin dengan Pangeran musyarif.

Dalam usaha proses Islamisasi ke seluruh Madura, Panembahan Lemah Duwur mempunyai seorang ulama yang menurut cerita tutur Madura dan sumber-sumber lain Pangeran Musyarif dengan memakai nama Arab Chalifah husein. Diambil sebagai menantu yang dikawinkan dengan mas Ayu Ireng Putri dari selir.

Pangeran Musyarif mempunyai nama syarif Achmad Al – Husaini yang diberitakan bahwa sesepuhnya adalah ulama yang berasal dari Campa yang datang ke Surabaya.

Hal ini dapat diartikan bahwa Syarib Achmad Al – Husaini adalah seorang ulama yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Ampel Surabaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa awal penyebaran agama Islam di Madura barat pada masa Pemerintahan Panembahan Lemah Duwur ini dilakukan oleh ulama-ulama dari kerabat Sunan Ampel.

Perlu diketahui bahwa kalau Panembahan Lemah Duwur masa pemerintahannya adalah (1531-1592). Dan sebagaian tutur yang sudah ada di masyarakat bahwa yang pertama kali orang yang ditugaskan ubtuk mendalami Islam ialah Maha Patih Empu Bageno Kudus. Dan perlu diketahui pulalah bahwa Panembahan Lemah Duwur meminang putri Pajang (Putri Joko Tingkir) untuk menjadi permaisuri.

Dalam hal ini ada keraguan didalam tahun, karena kesultanan Pajang yang terletak di Jawa Tengah(dekat Solo sekarang) berdiri pada tahun 1568 dengan rajanya yang pertama Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), kalau kita membandingkan dengan angka tahun penobatan Panembahan Lemah Duwur dengan berdirinya Kesultanan Pajang serta yang utama masuknya agama Islam ke Madura, sedikit ada kejanggalan.

Jadi tidaklah berlebihan bahwa sebelum pemerintahan yang bercorak Islam di Madura Barat ini, jauh sebelumnya sudah ada ulama-ulama dan saudagar-saudagar yang menetap di beberapa daerah wilayah kekuasaan Panembahan Lemah Duwur.

Menurut tutur masyarakat dan dari beberapa cacatan sesepuh bahwa Pangeran Musyarif datang ke Madura pertama mendarat di Pelabuhan Arosbaya yang dikenal dengan Tanjung Modung, yang sekarang atas dari bekas Pelabuhan tersebut di desa Tolbuk Kecamatan Klampis, kemudian Pangeran Musyarif melanjutkan perjalanannya ke Jurusan Timur, dan sampailah di suatu tempat Pangeran Musyarif beristirahat dan mendirikan bangunan kecil yang dinamakan Pelenggihan. 

Sampai sekarang tempat tersebut masih dianggap sangat sakrar oleh masyarakat dan apabila ada hari-hari besar Islam masih digunakan oleh masyarakatb setempat.

Setelah habis melepas lelah dan dahaga, Pangeran Musyarif lantas melanjutkan perjalanannya ke arah Selatan, sesampainya disuatu desa yang bernama Budha, Pangeran Musyarif mendirikan bangunan bangunan untuk berteduh dan beristirahat, akhirnya daerah yang ditempati oleh Pangeran Musyarif dinamakan Kampung Pondok.

Menurut cerita R. Siti Rahmah yang katanya masih ada darah keturunan dari Pangeran Musyarif, bahwa Pangeran Musyarif yang dalam mengemban misinya dalam menyebarkan Agama Islam di Desa Budha itu, juga mengajarkan cara bercocok tanam pada rakyat kecil disekitar daerah yang ditempati. Oleh karena itu maka banyak santri-santrinya yang baru memeluk agama Islam.

Dengan tata krama dan sifat-sifat ajaran Islam yang lemah lembut maka Pangeran Muyarif mendapat tempat dihati kalangan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa tempat itu sekarang masih amat subur, dan pertanian masyarakat desa tidak kalah baiknya dengan daerah-daerah lainnya.

Tidak jauh dari Kampung ± 1 km, arah Selatan, terdapat sebuah mata air yang agak aneh/asing, yang disebut masyarakat setempat sumber Banjer yang termasuk Wilayah Desa Campor Kecamatan Arosbaya.

Menurut cerita juru kunci  sumber tersebut yaitu Pak Gupat, kolam inilah yang dulunya untuk bersuci Pangeran Musyarif dan para santrinya, yang pada saat ini masih dianggap angker dan sakrar oleh masyarakat sekitarnya. Khususnya pada hari malam Jum’at Wage banyak kalangan masyarakat yang selamatan di mata air tersebut.

Keanehan tersebut yakni air yang keluar dari lubang mata air tesebut diliputi pasir keras, pasir pantai dan binatang-binatang laut. Hal ini kalau kita hubungkan dengan jaman Prasejarah bahwa dataran yang pertama kali adalah Gunung Geger masuk akal, sebab daerah sekitarnya masih merupakan pantai (Riwayat R. Segoro).

Memang tidak jauh dari mata air itu terdapat sumber air yang debitnya lebih besar yaitu Sumber Kemarong.

Pangeran  Musyarif tidak mengenal lelah dan putus asa dalam menyebarkan dan mengenalkan agama Islam, Ia masuk dan keluar kampung selalu berdakwah dan memberi pengertian serta penjelasan tentang tata cara dan tata krama dalam agama Islam.

Pada suatu hari Pangeran Musyarif bersama santri-santrinya mencoba menyebarkan agama Islam ke kampung di balik bukit/Gunung Conggreng (Gunung Kembar), dalam perjalanannya Pangeran Musyarif sampailah pada puncak gunung tersebut, dan beristirahat disana. Pada waktu itu, waktu mendirikan sholat tersebut telah sampai pada waktunya.

Pangeran Musyarif lantas beradzan di puncak Gunung Conggreng/Gunung Kembar, dengan suara yang syahdu dan sangat asing bagi orang-orang kampung dibalik bukit itu dan sangat terheran-heran, bahkan ada yang menertawai beliau. Setelah melaksanakan shalat bersama dengan para santrinya, Pangeran Musyarif keudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur dan sesampainya di suatu tempat, para pengikutnya merasa kehausan, setelah mencari air kesana kemari tidak menemukan, maka para santri tersebut memohon kepada Pangeran Musyarif agar memberikan petunjuk kepadanya.

Dengan Ridho Allah SWT, Pangeran Musyarif mencoba berbuat sesuatu untuk membuka bongkahan batu yang berada tepat  dihadapannya., maka keluarlah air yang sangat jernih, dan sumur/bekas bongkahan batu itu dinamakan Sumur Complong yang sekaran terletak di wilayah Desa Kampak Kecamatan Geger.

Sumur tersebut masih dikeramatkan oleh penduduk setempat, sumur bertuah itu bila pada hari Jum’at Wage banyak orang yang mengambil airnya, konon air tersebut bisa dijadikan syarat dalam menyembuhkan penyakit apapun.

Tidak lama setelah itu, usaha Pangeran Musyarif untuk mengislamkan dan menyebarkan agama Islam tercium oleh Penguasa Plakaran (Kiai Pragalbo) yang pada waktu itu masih beragama Hindu, maka ditugaskannya punggawa untuk memanggil dan menangkap Pangeran Musyarif. Telah dikisahkan bahwa utusan pertama telah gagal untuk menangkap Pangeran Musyarif, dan barulah utusan yang kedua kalinya diterima oleh Pangeran Musyarif, yang isinya Pangeran Musyarif mau menghadap Penguasa Plakaran asalkan (dengan syarat) binatang-binatang yang menimbulkan najis supaya disingkirkan (anjing dan babi), dan syarat itupun telah dipenuhi oleh Penguasa Plakaran.

Sesampainya di Plakaran, maka Pangeran Musyarif menjelaskan dan memberikan contoh-contoh tindak tanduk dalam agama Islam. Setelah Penguasa Plakaran dan Putra Mahkota (R. Pratanu) mengerti dan paham tentang ajaran baru itu, maka Pangeran Musyarif diperkenankan tinggal di kalangan Kraton. Dan menurut babat-babat setelah itu Pangeran Musyarif diangkat sebagai Penghulu Kerajaan.

Alkisah, setelah itu Kiai Pragalbo mengalami sakit keras, dan dalam menghadapi hayatnya Putra Mahkota mengajarkan kepada Kiai Pragalbo untuk mengucapkan Dua Kalimat Shahadat dan dijawabnya dengan anggukan saja, kemudian Beliau meninggal dunia. Oleh karena itu masyarakat menganggap dan menjuluki Kiai Pragalbo juga dinamakan Pangeran Islam Onggu’ dan Beliau dimakamkan di pemakaman Makam Agung di Wilayah Kecamatan Arosbaya.

Setelah itu putra mahkota yang sudah disiapkan jauh sebelumnya (Raden Pratanu) menggantikan tahta kerajaan dengan gelar Panembahan Lemah Duwur. Dalam pemerintahannya Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Arosbaya dengan nama Kota Anyar, hal ini terjadi pada tahun 1531 – 1592 Masehi.

Seperti pada tersebut diatas, bahwa Pemerintahan Lemah Duwur bercorak Islam. Perlu disisipkan sedikit tentang kesalahpahaman dan kesimpangsiuran bahwa sebagaian orang mengatakan panembahan Lemah Duwur adalah Raja Islam pertama di Madura Barat, hal itu memang benar dan ada pula yang mengatakan bahwa Pangeran Musyariflah yang pertama memeluk agama Islam, hal ini juga betul.

Pengertian :

Kalau Panembahan Lemah Duwur itu memang seorang raja, sudah barang tentu bahwa di Madura Barat pada waktu itu belum ada sebuah kerajaan yang rajanya beragama Islam, jadi kesimpulannya bahwa Panembahan Lemah Duwur adalah seorang Raja Islam pertama di Madura Barat.

Sedangkan Pangeran Musyarif adalah seorang ulama yang pada waktu itu menjabat sebagai penghulu kerajaan pada kekuasaan Panembahan Lemah Duwur, jadi kesimpulannya Pangeran Musyarif adalah seorang ulama dan penyebar agama Islam dikalangan kekuasaan Panembahan Lemah Duwur.

Setelah Panembahan Lemah Duwur meninggal, maka digantikan putranya yang bernama Raden Koro dengan gelar Pangeran Tengah, hal ini terjadi pada tahun 1592 – 1621 Masehi.

Pada masa pemerintahan Pangeran Tengah inilah terjadi untuk pertama kalinya hubungan antara penguasa dengan Bangsa Belanda, hal ini nampak pada sumber primer terutama Opkomst (Jonge, 1862 – 1875).

Sedangkan Patih Arosbaya pada waktu itu adalah Kiai Ronggo, Pangeran Musyarif tetap menjabat sebagai penghulu Arosbaya.

Dengan dorongan komersial sebagai motivasi utama penjajahannya ke dunia timur termasuk Indonesia, Bangsa Belanda berusaha menarik simpati  dan kemurahan hati agar mendapat konsensi-konsensi dalam perniagaan.

Dan pada tanggal 6 Desember 1596 Kapal Belanda berusaha berlabuh ke Pelabuhan Arosbaya yang terdiri dari :

1.  Kapal Amsterdam
2.  Kapal Houtman
3.  Kapal Kaerel
4.  Kapal Mauritius

Dari beberapa sumber sejarah telah mengakui baik itu catatan Belanda sendiri, Cina dan berita Portugis serta dari buku-buku babat-babat Madura serta sumber-sumber lainnya, bahwa pada tanggal 6 Desember 1596 seperti tersebut diatas, keempat Kapal Belanda yang datang dari Sedayu ingin berlabuh ke Pelabuhan Arosbaya, dan akhirnya bisa merapat ke Pelabuhan Arosbaya.

Kemudian Belanda mengutus kurirnya untuk menghadap penguasa Arosbaya, yakni Pangeran Tengah. Setelah utusan Belanda diterima oleh Pangeran Tengah, maka pada waktu itu pula Penguasa Arosbaya mengutus Patihnya yang bernama Kiai Renggo dan Pangeran Musyarif untuk mendatangi undangan dari Belanda yang ada di atas kapal. Setelah tiba ditujuan, utusan dari Arosbaya seharusnya naik ke Kapal Mauritius, akan tetapi karena salah paham, Kiai Renggo dan Pangeran Musyarif naik ke Kapal Amsterdam. Dari pihak Belanda yang mengawaki kapal tersebut dikiranya utusan Arosbaya itu mau merampok, karena waktu di Sedayu Kapal tersebut telah dirampok.

Karena terjadi kesalahpahaman tersebut timbul pertengkaran/ peperangan diatas Kapal Amsterdam sehingga mengibatkan utusan dari Arosbaya yakni Kiai Renggo dan Pangeran Musyarif gugur dalam medan pertempuran. Hal ini karena tidak seimbangnya persenjataan yang ada dan utusan tersebut tidak mengira kalau setelah naik langsung disambut dengan acungan/todongan senjata.

Sejak peristiwa berdarah 6 Desember 1596 yang mengakibatkan gugurnya kedua tokoh Arosbaya ini, Penguasa dan Rakyat Arosbaya memiliki kesadaran yang cukup tinggi, bahwa bangsa asing (Belanda) selalu bertindak kejam dalam memaksakan kehendaknya kepada orang-orang pribumi.

Kesadaran itu bukan hanya slogan-slogan saja, karena mengingat dan terdorong dengan hilangnya Maha Patih Arosbaya dan Penghulu (Ulama) Arosbaya, maka ia mencetuskan tidak akan menerima lagi Bangsa Belanda yang berlabuh di Pelabuhan Arosbaya. Sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara sudah ada sejak nenek moyang kita. Oleh karena itu dalam menghadapi segala macam pengaruh dari luar maka Penguasa Arosbaya menetapkan dan mengumumkan anti pada orang asing yang berusaha berlabuh di Pelabuhan Arosbaya.

Hal itu terbukti dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Pebruari 1597 atau dua bulan kemudian, yang pada waktu itu datanglah dua Kapal Belanda yang bernama Kapal Warwijck dan Kapal Heemskerck yang bermaksud berdagang dan membeli beras pada masyarakat dan Penguasa Arosbaya, tetapi apa yang terjadi justru inilah yang ditunggu-tunggu rakyat dan Penguasa Arosbaya yang ingin mengadakan pembalasan atas gugurnya dua pahlawan meraka. Bangsa Belanda yang di cap sebagai musuh, maka setelah kapal itu merapat disambutlah pertempuran hebat di Pelabuhan Arosbaya. Rakyat yang mengganas dan mengamuk dengan nafsunya membantai orang-orang Belanda. Akhirnya kemenangan ada dipihak rakyar dan Penguasa Arosbaya, serta menahan ke dua kapal tersebut bersama awak kapalnya.

Baru pada tanggal 15 Pebruari 1597 kapal Belanda yang ditahan oleh Penguasa dan Rakyat Arosbaya dikembalikan lagi/dibebaskan. Heroisme orang-orang Madura dalam perjuangan menentang penjajah untuk pertama kalinya muncul di Arosbaya pada tanggal 6 Desember 1596.

Mengingat begitu besar makna peristiwa tersebut bagi tumbuhnya dan semangat heroisme, patriotisme, rela berkorban dan bertanggungjawab dalam mempertahankan jengkal tanah dari usaha penetrasi penjajah, maka tidak berlebihan kiranya jika Tokoh Pangeran Musyarif atau Syarib Achmad Al Husaini ini kita kenang perjuangannya.



Dalam perkawinannya dengan Mas Ayu Ireng, Pangeran Musyarif mempunyai putra yang bernama Syarif Kaffie yang kemudian menyebarkan agama Islam di Pulau Pinang (Philipina), akan tetapi meninggalkan putra di Arosbaya yang bernama Raden Masigit yang dijadikan putra menantu oleh Pangeran Tjakraningrat IV yang kemudian bergelar Raden Ongkowidjoyo, dan mempunyai putra yang bernama Raden Ario Suriowinoto, yang diambil putra menantu oleh Panembahan Tjakradiningrat V (Sidho Mukti) dengan putrinya yang bernama Raden Ayu Angger, akan tetapi tidak mempunyai keturunan. Tetapi dengan selirnya mempunyai dua orang putra yang bernama Raden Suriowinoto dan Raden Surikusumo... [DI]




Dikutib dari : Selayang Pandang Tokoh Pemerintahan Madura Barat Abad XV
Oleh : Agus Dwi Tjahjono




Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu