Kamis, 31 Oktober 2013

Asal Mula Buju' Lebun

Dahulu kala ada seorang  pasangan suami istri yang bernama Abd. Rahman dan Nurul Qomariyah. Mereka tinggal disebuah desa yang bernama tambak. Desa ini terletak di Kecamatan Omben di Kabupaten Sampang. Semenjak Rohman menikah dengan Nurul Qomariyah banyak orang-orang di sekitarnya mencaci-maki dia karena dia itu miskin dan tidak punya apa-apa, tidak seperti istrinya yang kaya raya. Tapi meskipun begitu istrinya tetap mencintai Rahman karena Rohman baik, jujur, mempunyai budi pekerti yang baik dan rajin beribadah tidak seperti orang lain yang hanya ingin  menikahinya karena harta yang di milikinya.Meskipun Rahman selalu dicaci-maki tapi dia tetap sabar dalam menghadapi itu semua.


Pada suatu malam Rahman bangun dari tidurnya kemudian dia langsung ambil wudhu untuk melaksanakan sholat tahajjud yang mana dia lakukan setiap malam,.Setelah sholat, dia berdzikir dan berdoa kemudian setelah itu dia tidur lagi dan pada saat itu dia bermimpi bertemu dengan seorang kakek-kakek yang memakai baju putih dan wajahnya bersinar. Kemudian kakek itu berkata, ”hai Rahman sabarkanlah dirimu dalam menghadapi semua cobaan, saya beri petunjuk agar kamu bisa sabar dalam menghadapi semua cobaan. 

Caranya tulislah ayat suci Al-Qu’ran menggunakan mangsen (tinta) yang ada didepan kuburannya Kyai Fathurrosi”. Setelah itu Ramhan kaget dan terbangun dan dia bertanya-tanya dalam pikirannya bahwa siapakah kakek-kakek yang ada dalam mimpinya itu dan apakah memang benar kalau di depan kuburannya Kyai Fathurrosi ada sebuah mangsen (tinta). Karena kebingungan dia menceritakan mimpinya itu kepada istrinya, lalu istrinya menyuruh dia untuk membuktikan langsung ke kuburannya Kyai Fathurrosi. 

Kemudian keesokan harinya, Rahman pergi  ke kuburan untuk membuktikan kebenaran mimpinya itu. Setelah dia sampai di sana, dia mendengar teriakan orang kepanasan dan dia kaget karena melihat kuburannya Kyai Fathurrosi yang bersinar dan di depan kuburannya memang benar-benar ada mangsen (tinta). Setelah itu dia membaca doa dan mengambil mangsen (tinta) itu lalu dia membawa mangsen (tinta) itu pulang kemudian pada siang harinya Rahman mulai menulis ayat suci Al-Qur’an (LAAILA HAILLALLAH MUHAMMADARROSULULLAH) ke kertas yang besar dengan ukuran panjangnya 20 cm dan lebarnya 15 cm. Rahman menulis ayat suci Al-Qur’an selama 1 tahun 25 hari. Setelah selesai menulis, kemudian dia selalu membacanya tanpa mengenal hari bahkan sholat pun dia hampir lupa, tapi dia beruntung mempunyai istri yang sholehah seperti Nurul Qomariyah yang selalu mengingatkannya di saat adzan berkumandang.

Setelah beberapa hari Rahman minta izin kepada istrinya untuk bertapa di kuburannya Kyai Fathurrosi. Mendengar itu semua, dia langsung kaget dan menangis kerena dia sedang hamil 2 bulan, dengan hati yang terpaksa dia mengizinkan suaminya meskipun sebenarnya dia tidak mau ditinggalkan suaminya apalagi dalam keadaan hamil, tapi dia rela melakukan itu semua untuk suaminya. Kemudian Rahman pun bersiap-siap dan sebelum berangkat Rahman berpesan kepada istrinya ”jika kelak anak kita lahir, jika laki-laki berilah nama Haikal Ali dan jika perempuan berilah nama Sulaihah’’.

Kemudian Nurul bertanya pada suaminya? berapa lama dia akan bertapa, kemudian Rahman menjawab; “aku juga tidak tau berapa lama aku akan bertapa tapi yang jelas setelah aku mendapatkan petunjuk dari ALLAH aku pasti akan pulang,” lalu Rahman pun berangkat dan mencium kening istrinya. Sebenarnya Rahman tidak tega meninggalkan istrinya tapi dia sudah membulatkan tekatnya. 

Pada saat dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang kakek-kakek persis dengan kakek yang ada di dalam mimpinya. Diapun kaget dan tidak bisa bicara apa-apa, kemudian kakek itu berkata ”hai Rahman ambillah pisang ini untuk bekalmu di saat kamu bertapa “lalu Rahman pun mengambilnya. Ketika Rahman ingin mengucapkan terima kasih ternyata kakek itu menghilang entah kemana. Lalu Rahman melanjutkan perjalanannya. Selang beberapa menit dia tiba di kuburannya Kyai Fathurrosi lalu dia berdoa dan mulai bertapa kemudian dia berdzikir dengan mengucapkan “YAA ALLAH, YAAWADUD, YAA ROHMAN, YAA RAHIM”.

Ketika perkiraan lima bulan, rambut, janggut dan kumis Rahman pun memanjang dan berwarna putih sehingga dia tidak tampak seperti Rahman yang dulu dan mungkin meskipun dia bertemu dengan orang, orang yang bertemu dengannya tidak akan mengenal dia. Ketika nyampek 10 bulan ada burung kecil yang hinggap di kepala Rahman dan burung itu melihat janggut Rahman yang panjang kemudian burung tersebut membuat sarang dijanggutnya. Setelah beberapa hari burung itu bertelur dan meninggalkan telurnya disarangnya. 

Setelah beberapa hari telur itu menetas dan pada saat itu ada orang yang berziarah kekuburan Kyai Fathurrosi. Orang itupun kaget melihat orang dengan rambut, janggut, dan kumis yang panjang dan anak burung yang baru menetas dijanggutnya. Kemudian orang itu mencoba membangunkannya tapi dia tetap tidak bangun karena saking khusyuknya berzikir kepada ALLAH SWT.

Karena dia tidak bangun-bangun, diapun pulang dan menceritakannya ke orang-orang. Kemudian pada saat itu pula istri Rahmanpun mendengar hal itu dan kemudian dia mendatangi orang itu dan membaritahukan kalau orang yang ada dikuburan itu adalah suaminya yaitu Rahman. Sementara itu istrinya sudah melahirkan seorang anak laki-laki dan dia diberi nama “HAIKAL ALI” sesuai dengan yang diperintahkan Rahman sebelumnya setelah anaknya besar dan berumur 6 tahun Haikal pun bertanya kepada ibunya siapakah ayahku dan dimana dia sekarang. 

Mendengar itu semua Nurul Qomariyah diam dan berkata “sekarang masih bukan saatnya kamu tahu siapa dan dimana dia berada” mendengar itu semua Haikal pun diam. Kemudian setelah berumur 12 tahun dia bertanya lagi kepada ibunya soal ayahnya dan dia bilang kepada ibunya kalau dia tetap tidak mau memberi tahu tentang ayahnya dia akan pergi dan mencari ayahnya. Nurul Qomariyah pun tidak tega melihat anaknya dan diapun memberi tahu keberadaan ayahnya kalau ayahnya sedang bertapa dikuburan Kyai Fathurrosi. Mendengar itu semua Haikal pun lega. 

Setelah Haikal berumur 13 tahun, Rahman pun terbangun dari tapanya dan dia tidak tahu berapa lama dia bertapa. Lalu dia pulang kerumahnya. Setelah nyampek dirumahnya, anaknya kaget melihat rahman karena rambut, janggut, dan kumis yang panjang. Lalu haikalpun berlari dan memberi tahukannya kepada ibunya lalu ibunya keluar dan kaget melihat Rahman sudah pulang lalu diapun memeluk Rahman dan menanyakan kabarnya lalu Rahman menjawab ”kabarku baik-baik saja” lalu Rahman bertanya kepada istrinya” siapakah anak ini” kemudian istrinyapun menjelaskan bahwa dia adalah anaknya dan Rahmanpun memeluk anak itu dan bersyukur kepada ALLAH SWT. karena anaknya sehat dan berbudi pekerti .

Pada suatu hari Rahman sakit-sakitan dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya dan berketepatan pada malam rabu saat Rahman tidur dia bermimpi bertemu lagi dengan kakek berbaju putih dan mukanya bersinar, kemudian kakek itu berkata” hai Rahman sekarang apa yang kamu inginkan sudah tercapai anakmu sekarang sudah besar dan berbudi pekerti dan kamu juga sudah menulis ayat suci Al-Qur’an, sekarang aku akan mengajak kamu ketempat yang paling indah dan mewah” Rahman pun menjawab” terima kasih kakek telah banyak membantuku sekarang aku ingin membantu kakek dengan ikut bersama kakek” lalu kakek menjawab” terima kasih karena kamu mau ikut dengan kakek”, kemudian Rahman pun terbangun dari tidurnya dan sakitnya tambah parah sampai siang hari perkiraan jam 12.35, Rahman pun berwasiat pada istri dan anaknya kalau dia wafat dia menyuruh meletakkan kuburannya disamping kiri kuburannya Kyai Farhurrosi. Ketika jam 13.00 Rahman pun meninggal dunia.  Istri dan anaknya menyuruh menguburkan jenazah suaminya di samping kiri kuburannya Kyai Fathurrosi seperti apa yang diwasiatkan suaminya. 

Setelah beberapa hari ketika malam Jum’at ada orang yang lewat dikuburan Rahman dan orang itupun kaget melihat kuburan Rahman bersinar menembus langit dan disekitar kuburannyan Rahman banyak burung yang membuat sarang disana kemudian orang itu pun berlari kerumah Rahman untuk memberi tahu kejadian itu kepada istri dan anaknya, setelah mendengar kejadian itu istrinya Rahman berpendapat untuk memberi nama kuburan suaminya dengan sebutan “BUJUK LEBUN”.. [DI]


Share:

Selasa, 29 Oktober 2013

Asal Usul Kecamatan Bangkalan

VERSI CERITA RAKYAT/LEGENDA

Untuk melengkapi ambisinya menguasai kerajaan-kerajaan di tanah Madura, setelah kerajaan-kerajaan Timur dapat ditaklukkan, Ke’ Lesap terus melanjutkan kespedisina ke kerajaan Madura Barat (Bhangkalan).

Untuk menghadapi Ke’ Lesap, Raja Bhangkalan pada waktu itu tidak menghadapi dengan kekuatan prajurit, tetapi dengan menggunakan taktik menjemput Ke’ Lesap dengan perantara seorang Tandak lengkap dengan Naga/Penabuhnya yang sebenarnya mereka adalah prajurit-prajurit andalan dari Kraton Bhangkalan, dan Tandak tersebut diberi busana layaknya seorang puteri kraton yang cantik jelita. Ke’ Lesap dan para prajuritnya menjadi mabuk kepayang, lupa daratan, dan lupa segalanya sehingga semua pantangan dilanggarnya hingga akhirnya kesaktiannya menjadi lenyap.

Pada saat itu pula Raja Bhangkalan datang dengan tombak terhunus. Senjata sakti yang dimiliki Ke’ Lesap yang bernama Khodi’ Crancang tak bisa digunakan lagi oleh Ke’ Lesap. Ketika prajurit Bhangkalan akan menangkapnya, jasad Ke’ Lesap tiba-tiba hilang atau nyellem (kata orang madura).

Bersamaan dengan itu pula terdengar sayup-sayup suara Ke’ Lesap dengan kata-kata “Gebbhang Akallah” artinya banyak akalnya. Selanjutnya disambut dengan teriakan gembira oleh prajutit Bhangkalan dengan kata-kata Bhangkala’ an yang berarti mati sudah.

Dari kata Gabbhang Akalla dan Bhangkala’ an tersebut akhirnya daerah Madura Barat itu lalu  menamakannya Bhangkalan yang akhirnya sampai saat ini menjadi “Bangkalan”


VERSI SEJARAH

Dalam buku-buku sejarah lama, konon di Pulau Madura ini hanya dikenal dengan 2 kerajaan yaitu Kerajaan Bang Wetan yang daerahnya meliputi daerah Sumenep dan Pamekasan dan Kerajaan Bang Kulon yang meliputi Kerajaan Bhangkalan dan Sampang.

Bang Kulon mempunyai arti wlayah/tanah/daerah yang letaknya berada di bagian Barat dari Pulau Madura.

Pada saat Madura Barat dipimpin oleh R. Pratanu (Ki Lemah Duwur), kerajaannya bertambah luas dan maju, sehingga orang mancanegara berlomba-lomba untuk datang dengan maksud berniaga dan memberi julukan pada Raja Madura itu dengan julukan "Kembang Kulon".

Dari Asal kata-kata Bang Kulon dan Kembang Kulon tersebut, maka akhirnya menjadi Bhangkalan hingga akhirnya menjadi kata Bangkalan. Dengan demikian akhirnya Madura Barat dikenal dengan nama “Bangkalan”.



Share:

Senin, 28 Oktober 2013

Kerajaan Madura dan Kekuatan Militernya

Di jaman kerajaan, Madura dikenal akan keberanian dan kepiawaiannya dalam meramu strategi. Disamping itu pula Madura juga mempunyai kekuatan militer yang handal dan sangat diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan lain di Nusantara kala itu. Fakta ini tentunya sangat aneh jika dibandingkan dengan Madura jaman sekarang...

Pandangan ini bukannya tak beralasan. Sejak jaman Singasari, posisi Madura mendapat perhatian lebih dari istana Singasari. Di mana, Wiraraja menjadi penasehat kerajaan Singasari. Wiraraja juga mempunyai andil sangat penting dalam berdirinya kerajaan Majapahit.

Ia juga menjadi konseptor, sekaligus penata strategi militer Raden Wijaya dalam menghadapi pasukan Jayakatwang dan menghabisi pasukan Mongol. Posisi Madura juga sangat diperhitungkan setelah Majapahit runtuh, yang pada akhirnya melahirkan Kerajaan Demak, Pajang, dan kemudian menjelma Kerajaan Mataram.


Di jaman Kerajaan Mataram, dalam upaya menyatukan seluruh tanah Nusantara dalam kekuasaannya, Sultan Agung menyerang beberapa kerajaan agar mau tunduk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Mataram. Salah satunya adalah Kerajaan Surabaya.


Meskipun sudah beberapa kali menyerang Kota Surabaya dengan banyak strategi dan pengerahan pasukan besar-besaran, pada kenyatannya Kerajaan Surabaya tak pernah bisa ia taklukkan. Setelah diselidiki, Sultan Agung menemukan titik kekuatan militer Surabaya yakni dengan adanya dukungan dari pasukan Militer kerajaan Madura.


Sultan Agungpun memilih jalan cerdas. Ia tidak lagi menyerang Surabaya, tetapi sang Sultan malah memutar haluan menuju Madura dengan cara berusaha melumpuhkan kekuatan militer pendukung yang menjadikan Kerajaan Surabaya sulit ditaklukkan, yaitu pasukan Militer kerajaan Madura.



Ia pun mengikirimkan puluhan ribu pasukan untuk menyerang secara langsung dan frontal ke dalam pulau Madura. Dan hasilnya, ribuan pasukan prajurit Mataram tewas. Panglima yang memimpinnya pun ikut pula terbunuh. Sedangkan dalam penyerangan yang kedua, Mataram menyerang Kerajaan Madura secara mendadak, sehingga mengakibatkan Militer Madura berhasil dilumpuhkankan, walaupun ribuan prajurit Mataram tewas.

Di jaman Belanda mulai masuk ke Jawa, kekuatan Militer Madura menjadi perhatian lebih oleh penjajah berkulit putih itu. Belanda kemudian membentuk pasukan khusus Madura yang terkenal dengan Pasukan Barisan.  



Kekuatan militer Madura tersebut membuat kita bertanya-tanya, dari manakah asal-muasal leluhur orang-orang Madura? Kenapa di jaman dulu, Pulau Madura bisa menjadi rujukan kerajaan lain dalam masalah-masalah kemiliteran dan kenegaraan?

Dan kenapa, meski pun terdapat tokoh yang punya keinginan menjadikan Madura sebagai kerajaan besar, menandingi kerajaan di Jawa, tetapi pada kenyataannya lebih banyak para rajanya enggan membentuk kerajaan yang besar?.... [DI]


Share:

Terbunuhnya Ke' Lesap

Ke' Lesap menurut cerita orang di Madura adalah putera dari Panembahan Tjakraningrat V dengan istri seorang selir pada masa beliau masih belum dikawinkan resmi dengan isteri Padminja. Didalam kalangan resmi ia tidak diakui dan dipanggil orang dengan nama Lasap saja. Oleh ibunya ia diberi tahu siapakah ayahnya. Ia senang bertapa digunung-gunung dan dikuburan-kuburan yang menjadi pepunden orang. Kemudian ia bertapa ke Gunung Geger di Kecamatan Geger di Bangkalan.

Dari pertapaannya itu, ia tersohor menjadi tabib (sebenarnya dukun biasa saja) yang manjur. Diceritakan tentang kemanjurannya,  bahwa ia tidak hanya dapat menyembuhkan penyakit-penyakit, akan tetapi dapat pula memperlihatkan senjata-senjata yang merupakan senjata yang ampuh dan sakti.

Setelah hal tesebut terdengar oleh Raja di Bangkalan, maka ia dipanggil ke Kota Bangkalan dan oleh raja diberi rumah di dfesa Padjagan (kota Bangkalan) dan diperkenankan terus memberikan pengobatan kepada orang-orang sakit yang meminta obat kepadanya, sedang ia diberi penghasilan oleh Raja berupa tanah sawah yang boleh ia ambil hasilnya dan diberinya pula ijin untuk memerintah beberapa soma untuk melayani kebutuhannya sehari-hari.

Walaupun ia telah mendapat kehormatan tersebut dari raja, ia masih tetap tidak puas, karena ia punya keinginan yang sebenarnya untuk memerintah negara merdeka dengan tidak ada gangguan dari siapapun. Maka suatu malam ia keluar dari rumahnya dan melarikan diri menuju arah Timur sehingga akhirnya tiba di suatu goa di gunung yang sekarang disebut Gunung Pajudan didaerah Kawedanan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep dekat desa Batuampar Sumenep. Disanalah ia hidup sebagai pertapa sampai beberapa tahun lamanya. Ia mempunyai senjata berupa sebilah golok yang disebut orang Kudi terancang yang dapat disuruh untuk mengamuk sendiridengan tidak dipegang tangan.

Pada suatu ketika, ia telah yakin bahwa ia dapat menaklukkan seluruh tanah Madura mulai dari Sumenep hingga Bangkalan, maka ia mulai melakukan pemberontakan menaklukkan desa-desa yang ia datangi dan juga dengan mudah ia taklukkan sehingga di kota terjadi pertempuran anrata tentara kerajaan Sumenep dan akhirnya kerajaan Sumenep ia rebut. Raja (Bupati) Sumenep Pangeran Tjokronegoro III (Raden Alza) melarikan ke Surabaja beserta semua keluarga keratonnya.

Ke' Lesap kemudian menuju Pamekasan melalui jalan sebelah Selatan yaitu Bluto, Prenduandan seterusnya dan akhirnya sampai ke Pamekasan. Pamekasanpun dengan mudah ia taklukkan karena pada waktu itu rajanya yang bernama Tumenggung Ario Adikoro IV (Raden Ismail) pulang dari Semarang terus berkunjung ke ayah mertuanya yaitu Panembahan Tjakraningrat V di Bangkalan. Disitu ia mendengar dari ayah mertuanya supaya jangan terus ke Pamekasan karena tanah Pamekasan telah ada di tangan musuh yaitu Ke' Lesap asal dari Sumenep dan juda diceritakan pula secara panjang lebar tentang pemberontakan yang dilakukan oleh Ke' Lesap.

Mendengar berita tersebut, maka Adikoro IV murka dan bergetar seluruh tubuhnya. Diceritakan bahwa ia adalah seorang pemberanin dan tenaganya yang tak mengenal kata mundur atau takut. Ia menyembah dan mohon diri kepada ayahnya untuk bertempur melawan Ke' Lesap, karena ia memikirkan nasib rakyatnya yang sudah barang tentu berhamburan dan bercerai berai kesana kemari seolah-olah anak ayam ditinggalkan induknya.

Ia berangkat dan naik kuda dari Bangkalan menuju Blega, dan sesampainya disana ia berjumpa dengan abdi-abdi keraton dari Pamekasan yang masih setia kepadanya untuk menjemput beliau, abdi-abdi tersebut dipimpin oleh kakanda saudara sepupu dari ibunya yang bernama Raden Mohammad Asjhar alias Wongsodiradjo Penghulu Bagandan di Pamekasan. Sedang Patihnya telah gugur dalam peperangan.

Pada saat itu rakyat di Blega telah berbalik takluk kepada Ke' Lesap yang saat itu telah ada di sekitar Kota Sampang. Adikoro IV sampai di Sampang dijemput oleh beberapa orang rakyat dari Pamekasan yang tinggal beberapa jam lamanya beristirahat disana atas permintaan rakyatnya. Maka dia dan pengikut-pengikutnya disediakan hidangan makan siang. Pada waktu mulai makan siang tesebut, datanglah utusan dari Ke' Lesap dengan membawa sepucuk surat  yang isinya untuk menantang perang.

Setelah surat itu dibaca, suapan nasi yang hampir sampai kedalam mulutnya jatuh dari tangannya dan kembali diatas piringnya dan piring yang masih penuh dengan nasi tersebut olehnya dibanting ke tanah sehingga pecah, maka ia bertanya kepada orang banyak yang sama-sama menjemputnya, siapa diantara mereka yang sudi ikut berperang melawan Ke' Lesap. Maka semua orang yang mendengar pertanyaan dia tidak ada yang memberi jawaban.

Penghulu Bagandan minta kepada Adikoro IV supaya besok pagi saja keluar di medan peperangan, karena menurut perkiraan Penghulu Bagandan itu merupakan hari naas bagi Beliau. Maka Adikoro IV berkata pula dengan pertanyaan, siapa yang berani mati bersama-sama dia berperang melawan Ke' Lesap. Maka Penghulu menjawab bahwa ia punya jiwa raga memang pertama-tama disediakan untuk pemimpin negaranya untuk berkorban mati lebih dahulu didalam melindungi rakyat dan kepala negaranya.

Maka Adikoro IV beserta Penghulu Bagandan dan semua rakyat yang ada di tempat itu sama-sama berangkat menuju musuh dan terus mengamuk sehingga dikalangan musuh banyak yang mati atau melarikan diri. Ke' Lesap serta pengikutnya dapat dipukul mundur sehingga sampai di daerah Lambanglor (Pegantenan) Kabupaten Pamekasan.

Oleh karena pihak musuh terlalu banyak, sedangkan pengikutnya makin lama makin sedikit, maka pada suatu saat dia mendapat luka dibagian perutnya sehingga ususnya keluar dan makinlama makin kembung karena tertiup angin. Usus tersebut oleh dia dililitkan di tangkai kerisnya yang disengkelit dibelakangnya, sedang ia terus mengamuk dengan tombaknya. Maka pada suatu saat sewaktu ia mengamuk, ususnya tersinggung pada kerisnya sendiri sehingga ia jatuh gugur. Begitu juga Penghulu Begandan juga gugur bersama-sama Adikoro IV. Ke dua jenasah pimpinan tersebut dimakamkan di Kampung Begandan Desa Bagih di sebelah Selatan dari rumah Kabupaten Pamekasan dan hingga sekarang menjadi pepunden. (diceritakan bahwa di Pamekasan, setelah peristiwa tersebut apabila ada perkawinan yang sedang ditontonkan, maka mempelai laki-laki yang memakai keris yang disengkelitkan dibelakangnya dengan memakai rangkaian bunga melati dan diuntarkan di tangkai kerisnya sedemikian rupa sehingga merupakan usus yang ber-utar ditangkai keris seolah-olah memperingatkan semangat seorang laki-laki sebagaimana semangat peperangan yang dimiliki oleh Adikoro IV). Maka Ke' Lesap terus menuju ke Bangkalan dan memukul Bangkalan sehingga Tjaraningrat V hampir kalah. Walaupun pasukan Belanda datang dari Surabaja membantu Bangkalan, maka selalu Ke' Lesap mendapat kemenangan.

Tjakraningrat mengungsi ke Benteng pertahanan yang ada di Kota Bangkalan. Kemudian ia pindah mengungsi ke Mladja (Melojo), sedangkan didalam benteng itu disediakan pasukan Belanda dan Compagnie. Pada suatu malam Tjakraningrat bermimpi agar Ke' Lesap diberi kiriman seorang perempuan dengan disertai bendera putih dengan maksud bahwa Bangkalan telah menyerah. Strategi tersebut, keesokan harinya dijalankan. Seorang telede (ronggeng) dari Gresik diberinya pakaian yang indah-indah dari Kraton dengan diiringi bendera putih dikirimkan kepada Ke' Lesap ke Pasanggrahan di desa Tondjung. Ke' Lesap memberi artian bahwa Bangkalan telah menyerah, dan ia senang menerima perempuan tersebut dan langsung dibawa kedalam pesanggrahannya. Sedangkan Tjakraningrat V dan abdi-abdinya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, maka mereka terkejut melihat tombak pusaka Madura yang bernama si (Kijahi) Nenggolo gemetar bersinar dan keluar api. Maka Tjakraningrat V terus nenuju paesanggrahan tesebut yang mana pada saat itu Ke' Lesap sedang berduaan Ranggeng tesebut. Kemudian Ke' Lesap berperang dengan Tjakraningrat V, sampai akhirnya Tjakraningrat V menusukkan tombak Kijahi Nenggolo tersebut ke Ke' Lesap sehingga ia mati seketika.

Sewaktu tombak ditusukkan, maka rakyat bersama-sama Tjakraningrat V tersebut sama-sama besorak didalam Bahasa Madura “Bhangka-la’an” yang berarti “telah matilah”. Maka sebagian orang-orang tua memberi arti, bahwa nama Bangkalan berasal dari perkataan “Lambang Kulon”, yang berarti “Sebelah Barat”.

Diceritakan pula bahwa mayat Ke' Lesap setelah rebah ke tanah kemudian tidak kelihatan atau hilang dan pada saat itu pula terdengar suara didalam Bahasa Madura yang bunyinya : Ghu’ legghu’ klaban bada bhul-ombhul klalaras ghaddang dari temor dadja, tandhana  sengko’ la datang pole se bhakal malessa da’ba’na”. Yang artinya : Nanti dikemudian tahun apabila ada datang suatu bendera kelaras daun pisang yang kering dan robek-robek dari sebelah Timur Daya, maka itulah tandanya bahwa aku telah datang kembali untuk membalas kepadamu.  Tentang sebenarnya itu perkataan atau tentang maksudnya dari perkataan tersebut tidak seorangpun yang dapat menerangkan. Peristiwa tersebut terjadi tahun 1750 M.... [DI]



Dikutib dari :
Oleh:
R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)


Share:

Pertempuran di Gedongan Bangkalan

Dari gerakan-gerakan tersebut menjadi jelaslah bahwa Belanda akan menduduki Kota Bangkalan dengan masuk dari Lambung Timur. Dari Desa Junok pertempuran beralih ke seberang Masjid Jamik di Kota Bangkalan yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1947, dengan korban di pihak Belanda sebanyak 2 orang.

Pada tanggal 23 Agustus 1947, terjadi pertempuran hebat di Gedongan di seberang penjara. Tidak sedikit jatuh korban di pihak Belanda, sedang di pihak kitapun menderita korban. Karena sengitnya pertempuran di desa tersebut, maka jalan Desa Gedongan itu sekarang di ganti dengan nama Jalan Pertempuran.

Di lokasi inilah pertempuran sengit berlangsung antara pasukan Indonesia dengan Belanda

Dari Kompi Kelaskaran Pesindo yang dipimpin oleh Pemuda Syafiri, ditugaskan untuk menyerang Kota bangkalan di sebelah Barat Kota, termasuk Seksi yang dipimpin oleh Pemuda Doufirul Chusni, sedang Sebelah Utara dari Kompi Batalyon I sendiri.

Tetapi sangat disayangkan bahwa serangan umum tersebut menghadapi kegagalan dan hanya pasukan dari jurusan Timur saja telah menyerang Pasar Tonjung Kecamatan Burneh.

Setelah serangan umum gagal akibat keterlambatan Komando, maka Pasukan dari Seksi Pemuda Doufirul Chusni kembali ke pangkalan di Kampung Bandaran. Keesokan harinya sekitar pukul 14:00 pasukan Belanda mengadakan serangan ke Kampung Bandaran dengan maksud untuk mengadakan pembersihan, karena diduga bahwa Pasukan Pemuda Pesindo bersembunyi di daerah Gedongan.

Dengan operasi pembersihan tesebut disambut oleh Pemuda Doufirul Chusni dan terjadi kontak senjata mulai Jalan Pertempuran / Jalan Pembela sampai rumah penjara. Pertempuran itu berlangsung kurang lebih dua jam dengan kerugian satu orang tewas dari pihak Belanda.

Hari kedua Belanda mengadakan serangan lagi ke daerah Gedongan dengan kekuatan kurang lebih satu Kompi sekitar pukul 14:00, maka terjadi pertempuran sengit di daerah sekitar jembatan rumah penjara, gudang garam dan dirumah tingkat sebelah Selatan sungai. Pertempuran berakhir sampai kurang lebih pukul 17:30 dengan kerugian Belanda satu Jeep hancur dan beberapa korban yang tidak diketahui jumlahnya.

Pada hari ke tiga pasukan Belanda mengadakan serangan lagi, tetapi tidak dilayani oleh pasukan kita, mengingat kita dalam kekurangan peluru dan pada saat itu tentara Belanda meneriakkan kata-kata bahwa apabila pemuda tidak mau menyerah, kampung Gedongan akan dibumi hanguskan.

Karena pertimbangan terakhir itulah, Seksi dari Doufirul Chusni segera meninggalkan daerah Gedongan demi keselamatan masyarakat Gedongan itu sendiri, dan seterusnya pada waktu dini hari sekitar pukul 04:00 sebelum subuh mereka menuju Arosbaya... [DI]



Dikutip dari :
Buku PerjuanganKemerdekaan Republik Indonesia di Madura



Share:

Belanda Menuju Bangkalan

Pada waktu Belanda melanjutkan melanjutkan serangannya ke Kota Bangkalan, telah terjadi pertempuran sengit antara tentara Belanda dengan Pasukan Pesindo yang bertahan di Junok (sebelah Timur Rumah Sakit Bangkalan) dengan kekuatan dua Seksi yang masing-masing dipimpin Pemuda Iskandar di sebelah Utara dan Pemuda Mohammad Amin di sebelah Selatan sungai. Pemuda Iskandar menderita luka di pahanya.

Sewaktu pertempuran terjadi dengan sengitnya, terdengar ledakan yang sangat dashyat. Pemuda Kaffa, yang pada waktu itu menjadi Wakil Komandan Kelaskaran Pesindo Cabang Bangkalan, gugur sewaktu membumihanguskan jembatan.

Adapun Pemuda Abdus Syukur yang menggantikan sebagai pimpinan dalam serangan balasan selanjutnya cukup menunjukkan kemampuannya. Bekas kediaman Asisten Residen Belanda yang ditempati menjadi Markas Pesindo, dibumihanguskan dan sebagian besar hancur. Diwaktu belakangan gedung itu dibangun kembali (dulunya kantor Otonom dan sekarang menjadi Kantor Dispenda dan Kantor Kimpraswil), sedangkan jalan sepanjang Desa Junok itu sekarang diberi nama Jalan Pemuda Kaffa... [DI]

  

Dikutip dari :
Buku PerjuanganKemerdekaan Republik Indonesia di Madura



Share:

Jumat, 25 Oktober 2013

Asal Mula Batu Cenning Kamal Bangkalan

Batu Cenning merupakan batu yg sangat eksotis yang layak untuk dikunjungi oleh siapapun untuk merasakan kesegaran embun di pagi hari maupun menikmati sunset di sore hari karna lokasi batu tersebut adalah di puncak gunung tepatnya di desa pendabah yg bisa melihat sawah-sawah yg hijau namun jangan sampek tertinggalkan silsilah atau asal usul kenapa batu cenning tersebut bisa ada di tempat itu sehingga kita tahu apa saja yang seharusnya kita tidak kerjakan.

Menurut cerita rakyat asal muasal  batu cenning tidak lain karna batu  tersebut apabila di pukul maka berbunyi neng….. neng…. neng…. namun di balik semua itu ada sebuah sejarah yang menjelaskan tentang bagaimana batu tersebut jatuh di tempat tersebut dan menamakan "Batu Cenning".


Batu Cenneng

Menurut salah satu warga di sana yang mengetahui tentang seluk beluk gunung tersebut.  batu Cenning berasal dari sebuah kerajaan di pulau jawa yang mengutus seekor siluman yaitu Buto Ijo atau Lang Deur (kata masyarakat setempat) untuk membawa sebuat batu yang mempunyai kekuatan roh atau dikatakan batu metored dan di utus untuk membawanya ke daerah Pamekasan untuk di buat bahan dasar pembuatan pusaka, di tengah perjalanan si buto ijo (lang deur) mengalami kelelahan seakan akan dia tidak bisa nelewati  daerah tersebut konon katanya si buto ijo memikul batu tersebut menggunakan pohon kelor yang mana sebagian ulama mengatakan kayu tersebut merupakan salah satu pohon surga dikarnakan pohon tersebut memiliki kekuatan yang kuat dan selalu berdiri tegak sehingga kayu pohon tersebut dipilih oleh si buto ijo untuk memikul batu metored tersebut namun sebelum nya buto ijo berkata apabila kayu ini bisa membantuku untuk mengantarkan batu metored maka kayu tersebut merupakan kayu terkuat akan tetapi buto ijo juga mengutuk kayu tersebut kalau tidak bisa membantu nya sampai ke Pamekasan maka pohon itu akan menjadi pohon yang mudah patah dan realitanya memang benar pohon tersebut tidak sekuat pada asal mulanya, di karenakan di tengah perjalanan kayu itu patah dan jatuhlah batu tersebut di gunung  yang bertepatan di desa Pendabah, Kamal, Bangkalan

Pada hakikatnya batu tersebut pecah menjadi dua tempat yaitu yang pertama di Desa Pendabah dan yang ke dua di Desa Jaddih namun yang lebih di kenal oleh masyarakat adalah yang ada di desa pendabah karna di samping batu tersebut  jatuh di sebuah bukit yang tinggi juga bersebelahan dengan makam Cempah (bhuju’ cempah) yang memang tempat tersebut  juga mempunyai kekuatan ghaib sehingga seperti magnet dan harus jatuh disitu dan buto ijo pun merasa berat saat melewati tempat itu.  bukti bahwa yang membawa batu tersebut adalah buto ijo atau lang deur  yakni dengan adanya jejak kaki raksasa kurang lebih jaraknya 5 meter dari letak batu tersebut dan ukuran jejak kaki tersebut bisa di masuki atau di duduki (bersila) orang dewasa dan sampai sekarang jejak kaki buto ijo tersebut masih ada, setelah batu tersebut ada di  sana maka batu tersebut dijatuhin meteor lagi karna batu tersebut memiliki kekuatan magnet yang sangat kuat dari langit sehingga mempunyai ke ajaiban lebih.

Banyak alasan kenapa buto ijo tidak bisa melewati tempat keramat tersebut seperti halnya :

Ada sumur tantoh yang mana sumur tersebut adalah tempat pemandiannya bidadari dari kayangan dan konon sumur tersebut di kelilingi oleh pohon Pelle dan palembheng dan air dalam sumur tersebut di percaya untuk mengobati berbagai macam penyakit dan juga air tesebut mensejahterakan rakyat yaitu menggunakan nya untuk menyiram tanaman-tanaman mereka.

Tempat tidurnya macan siluman atau mayoritas orang mengatakan tempat itu dengan sebutan “dung macan“  yang mana macan tersebut sering muncul apabila ada orang yang mempunyai niat jahat atau ingin merusak lingkungan tersebut dan ada yang mengatakan pula barang siapa yang dapan menangkap macan tersebut maka dia akan bisa menghilang, ada pula yang mengatakan bahwa macan tersebut bisa mengetahui dari mana arah jodoh kita dengan cara bertapa di tempat tersebut

Tempat pertapahan atau tempat persemedian orang dari bermacam-macam desa di sekitar desa pendabah, hal ini yang membuat desa ini di namakan desa pendabah yang asalnya adalah pendepah yakni dikarnakan desa tersebut adalah tempatnya bertapa yang konon orang pertama kali yang bertapa disana adalah perempuan maka dari itu sampai sekarang di desa tersebut tidak pernah ada yang bisa jadi orang yang di segani orang meski berasal dari desa lain.

Batu cenning tersebut banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan juga bisa dikatakan yang telah mensejah terakan masyarakat khususnya desa pendabah dan sekitarnya, bahkan banyak berbagai pihak mengatakan  bahwa desa pendabah adalah desa aman,damai dan sejahtera tampa adanya kasus-kasus perampokan dan lain sebagainya, hal ini sudah sangat sering  terjadi seperti halnya ketika ada seseorang mau berbuat jahat di dalam segi apa saja di desa itu maka secara otomatis batu tersebut memancarkan cahaya laser ke atas dan berbunyi  neng….neng…..neng..!!.... dan itu bukan hanya omong kosong.

Contohnya ketika di desa tersebut ada pencuri yang mencuri sapi milik salah satu warga, maka secara otomatis batu tersebut berbunyi sangat kencang dan mengeluarkan cahaya laser ke atas sehingga masyarakat dapat mengetahui bahwa keadaan di desa mereka sedang tidak aman, kemudian batu tersebut juga di percaya sebagai pemanggil (stan info kehilangan) apabila ada salah satu warga kehilangan anak-anak meraka. dahulu ketika salah satu masyarakat pendabah hilang maka mereka langsung memukul batu tersebut dan langsung terdengar oleh yang hilang tapi cuman yang hilang yang mendengar bunyi tersebut. 

Ini adalah satu bukti bahwa batu ini mempunyai kekuatan halusinasi seseorang sebagai penunjuk arah dan masih banyak cerita rakyat mengenai batu tersebut dan semua itu yang membuat pusing orang yang mau mencuri sapi dan berbuat kejahatan lain sebagainya. namun pencuri tersebut tidak pernah kapok dan tetep  mencari kelemahan supaya batu tersebut tidak berbunyi di saat mereka mau mencuri  pada ahirnya mereka menemukan cara supaya batu tersebut menjadi pasisive yaitu dengan cara mengencingi nya.

Sejak itu desa pendabah yang asalnya sejahtera, aman dan tentram menjadi desa yang tidak aman, Sering terjadi pencurian, perampasan sepeda motor dan lain sebagainya.

Gunung/Batu cenning merupakan suatu anugrah yang seharusnya masyarakat pendabah menjaganya karena semua itu demi keamanan desa mereka sendiri, meski itu cuman batu akan tetapi dapat mensejahterakan rakyat namun kita tidak harus percaya sepenuhnya pada itu karna allah lah yang maha kuasa kita sebagai manusia harus berusaha semampu kita, batu cenning sekarang hanya tinggallah sejarah atau cerita rakyat belaka yang seharusnya ada yang membukukannya bahkan membuat film yang menceritakan hal tersebut karna itu merupakan legenda yang pantas untuk di pertontonkan ...[DI].


Share:

Selasa, 22 Oktober 2013

Asal Mula Desa Banyubunih - Galis

Dahulu kala ada kuda yang kehausan minta-minta air sisa cucian piring (RAKORA). Kuda itu minta air di desa lantek dari pintu ke pintu di desa lantek itu namun tidak ada satu orangpun yang memberi air pada kuda tadi, sehingga kuda tadi terus berjalan ketimur dan terus ketimur sehingga sampai ke suatu desa. Kuda tadi minta air sisa cucian piring kesalah satu orang yang berpenghuni didesa tadi dan orang tadi memberi sisa air cucian dan kuda tadi meminumnya.

Setelah di minum air tadi, lalu kuda pergi kesuatu tempat. Di tempat itu kakinya di  gesek-gesekkan ketanah (e kar kar) sehingga menjadi suatu galian yang dalam kira-kira satu meter. Di galian itu, kuda tadi belum menemukan sumber air dan kuda tadi pindah ke tempat yang lain sampai tiga kali galian namun belum juga menemukan sumber air. Lama kelamaan kuda tadi pergi dari desa tadi karena tidak menemukan sumber air

Setelah kuda tadi pergi, baru galian tadi keluar air. Ketiga galian berisi air dan terdapat mata air yang besar (Somber). Wargapun membuat bendungan air yang besar kira-kira panjang 12 m dan lebar 6 m untuk menampung air yang tidak pernah habis meski musim kemarau panjang. Hingga sekarang ini sumber atau galian kuda itu masih ada.

Karena air tadi keluar setelah kuda itu pergi, warga desa setempat menamakan desa tersebut Banyubunih atau Banyubudih yang artinya: Aeng keluar e budih, maksud air keluar di belakang setelah kuda tadi meninggalkan galiannya. Ada 3 Banyubunih, yaitu Banyubunih 01, Banyubunih 02, dan Banyubunih 03. Ketiga-tiganya di Desa Banyubunih sama-sama mempunyai sumber yang sama-sama tidak pernah kering meski musim kemarau.

Sumber yang paling besar berada di daerah Banyubunih 01 dan sumber ini di kenal dengan sebutan Napo karena dulu sewaktu kuda menggali tanah tersebut dan tidak muncul air sedikitpun dan setelah kuda tadi pergi dari tempat galiannya ada Tanapo atau batang pohon yang sudah kering dan lapuk jatuh di atas galian kuda tadi. Air yang berasal dari Somber Napo tersebut tidak boleh di jual karena pernah ada kejadian, warga dari Desa Kajuanak mengambil air di Napo dan menjualnya di desa, air Napo tersebut langsung kering Penjual air tersebut juga mimpi di datangi ular besar tidak berekor yang memintanya mengembalikan air yang dijualnya meski 1 satu liter saja. Esok harinya, orang tersebut mengembalikan air kira-kira 15 liter, lantas air Napopun datang kembali, besar sempurna seperti biasanya.

Orang tersebut kaget dan menyesal serta minta maaf pada juru kunci Napo Kiyai Siddiq dan Mbah Layar. Orang yang menjual air tadi mengembalikan semua hasil air yang dijualnya dan di taruh di masjid, karena Kiyai Siddiq dan Mbah Layar tidak menerima pengembalian uang tersebut.

Di Desa Banyubunih 01 ada satu misteri yang hingga sekarang masayarakat sekitar masih mempercayai kebenarannya yaitu di misteri di Dusun Celkong Aeng e Lekkong, tepatnya di Bendungan air di desa tersebut. Ada salah satu tanah warga yang dahulu kala kalau menanam padi hanya cukup satu kali karena setelah di panen, padi masih akan tumbuh lagi sehingga dusun tadi makmur tidak kekurangan beras atau padi. Hal ini berlanjut sampai beberapa musim. Kalau padi tersebut henak di masak, maka cara memasaknya tanpa air dan tanpa di sellep (giling) dulu alias langsung di masukkan ke Rabunan padi bersama batang dan daunya. Terkadang warga hanya memasak satu biji padi dan cukup menunggu beberapa saat, biji padi tersebut sudah berubah menjadi nasi.

Keajaiban ini tidak berlanjut sampai sekarang. Penyebabnya adalah kecerobohan seorang warga. Dulu waktu seorang warga perempuan memasak di dapur, perempuan tersebut berpesan pada suaminya agar tidak membuka Rabunan tadi sampai istrinya selesai ngambil air dari sumur untuk mandi dan berwudluk. Karena suami tersebut merasa sangat lapar, dan tidak sabar menunggu nasi belum masak, ia membuka Rabunan tersebut. Ia menjumpai Rabunan tersebut berisi padi itu namun tetap berbentuk padi mentah bersama akarnya, alias tetap tidak berubah sama sekali. Istrinyapun selesai ngambil air dan langsung menuju dapur. Melihat isi Rabunan tetap menjadi padi, Istripun menanyakan ke suaminya. Mengetahui suaminya tidak menuruti pesan sang istri, dengan kecewa, ia berkata pada suaminya bahwa sampai kapanpun, dusun tersebut tidak akan bisa di tanami padi lagi hingga sampai ke anak cucu mereka nanti.

Sampai sekarang tanah itu menjadi Berrit atau angker dan tidak bisa di dirikan rumah, hanya bisa digunakan untuk bertani jagung dan kacang saja. Pernah suatu hari empunya tanah yang bernama Maksuni membakar batu agar menjadi sebuah cat. Biasanya batu kalu di bakar dari jam 06:00 pagi sampai jam 06:00 paginya lagi (24 jam), batu tersebut pasti sudah masak atau jadi batu kapur. Tapi anehnya, ketika batu dibakar ditanah tersebut, sampai tiga hari tiga malam tetap tidak ada perubahan. Batu tersebut hanya berubah warnanya menjadi hitam karena asap api yang membakar. 

Kejadian ini membuat masyarakat sekitar sadar dan percaya masih ada suatu lagi mistis di tanah tersebut. Kyai kampung dan menceritakan bahwa tanah tersebut berpenghuni, penjaga makhluk halus sehingga batu tersebut tidak akan pernah jadi batu kapur atau di buat cat. Yang bisa dilakukan masyarakat ditanah tersebut hanya bercocok tanam saja seperti jagung, kacang tanah, dan kacang ijo. Selain tanaman tersebut tidak akan tumbuh  meski dulunya di tanami padi.

Di tanah tersebut banyak pohon nangka dan pohon mangga, namun tidak ada satu warga yang berani mengambil buah-buahan yang ada di sana karna takut terkena musibah seperti perutnya membesar, susah buang air kecil dan buang air besar. Buah-buahan yang ada di situ bisa di ambil asalkan minta ijin dulu minta izin dulu pada pemiliknya. Buahpun baru bisa di ambil jika buah tersebut telah jatuh dari pohonnya.

Dulu pernah terjadi sustu kejadian ada anak kecil warga desa mengambil mangga tanpa se izin pemiliknya. Mangga itu di makan oleh bocah tadi. Satu mangga belum habis, si bocah tersebut pulang kerumah karna perut sakit gara gara makan mangga tersebut. Semalaman ia tidak bisa tidur, ke dokterpun tidak ada efeknya. Ia baru merasa baikan ketika  orang tuanya datang kepemilik tanah tersebut dan meminta air dari sipemilik tanah. Ajaibnya bocah yang menagis karena kesakitan itupun menjadi baikan... [DI]


Kontributor : Kholily Al Ghozali


Share:

Monumen Perahu Layar Klampis Bangkalan



Untuk mengenang hijrah Batalyon I Hanafi di Klampis telah dibuat Monumen yang berbentuk sebuah Musholla di lokasi pemberangkatan pasukan yang terletak di tepi pantai Klampis dan perahu dengan 5 buah layar lambang Pancasila dijalan Raya Klampis yang diresmikan oleh Rachmat Saleh, SE (mantan Menteri Perdagangan)





Share:

Asal Mula Kampung Demangan - Kamal

Pada zaman dahulu ada seorang tokoh atau kepala suku yang bekerja di kantor “Pengarisan” atau yang biasa di sebut Kantor Kecamatan. Beliau seorang tokoh masyarakat yang paling di segani karena kegagahannya serta adil pada masyarakat setempat.

Selain sebagai tokoh masyarakat, beliau juga sebagai tuan tanah yang mempunyai segudang tanah yang luasnya berhektar-hektar.

Beliau bernama “Mbah Demang”. Setiap kali beliau berjalan-jalan untuk melihat tanaman di sekitar lahannya, beliau selalu menggunakan kendaaraan kesayangannya yaitu Kuda Putih miliknya.

Mbah Demang juga memiliki tempat pengajian hingga Madrasah kecil-kecilan, yang bertujuan untuk memeberikan pelajaran agama pada masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura itu religius. Dengan arti bahwa masyarakat Madura lebih mementingkan penalaran agama sejak dini dari apapun.

Sebagai contoh, bahwa ketika ada seorang maling yang berasal dari Madura mereka bisa lancar membaca Al-Qur’an. Serta orang Madura beranggapan bahwa “orang Madura belum sah menjadi orang Madura asli bila tidak bisa mengaji dengan lancar.

Di satu sisi kembali pada sosok tokoh masyarakat yaitu Mbah Demang, beliau sebenarnya memiliki nama asli akan tetapi tidak begitu jelas. Karena beliau tidak pernah memberitahu siapa nama aslinya. Dia hanya menyebutkan nama kerajaan yaitu “Raden Panji” tanpa memberi tahu  nama lengkapnya. Beliau juga selalu memanggil dirinya dengan sebutan “Demang”.

Hingga saat ini nama asli beliau masih di pertanyakan. Karena anak cucu hingga cicitnya sekarang pun tidak mengetahui siapa nama ayah dan kakek mereka. Yang mereka tahu dan mereka paham orang tua mereka tuan tanah serta tokoh masyarakat yang sangat di segani.

Tak banyak dari keluarga Mbah Demang yang tahu akan asal mula beliau menginjakkan kakinya di daerah ini khususnya Kamal. Hal ini di karenakan sosok Mbah Demang sebenarnya lebih tertutup dalam hal pribadi.

Nama “Demangan” sendiri sebenarnya tidak hanya ada di Kecamatan Kamal, akan tetapi di Bangkalan Kota pun terdapat pula nama “Demangan”. Akan tetapi kebanyakan masyarakat Bangkalan kurang tahu asal mula nama tersebut.

Selebihnya hal ini kembali lagi pada sosok Mbah Demang yang memberi nama perkampungan kami dengan sebutan “Kampung Demangan - Kamal“. Dan hingga akhir hayatnya pun Mbah Demang di makamkan di kampung ini.

Makam Mbah Demang sangat di hormati dan kramat apabila anak cucu hingga masyarakat setempat memperlakukuan makam beliau dengan tidak semestinya.

Ini terbukti karena setiap ada acara ataupun sekedar syukuran, tradisi kita tetap berjalan yaitu mengadakan syukuran di sekitar makam Mbah Demang. Hal ini selain menghormati sesepuh serta meminta dukungan keselamatan demi lancarnya suatu keinginan. Dengan cara mengirimkan Mbah Demang bacaan Tahlil dan sholawat-sholawat Nabi Muhammad S.A.W .

Kita tentunya bersyukur karena beliau memberi warisan kepada kita semua sebagai masyarakat asli desa Demangan – Kamal yang menjadikan kita semua bangga dengan warisan sebuah nama yaitu “Kampung Demangan – Kamal“


Kontributor : Nurul Aisyah


Share:

Senin, 21 Oktober 2013

Asal Usul Pemakaman Pedeng Socah

Pada saat sekitar tahun 1970, di Desa Langkap kecamatan Burneh kedatangan seorang laki-laki dari daerah seberang bernama Sulut. Dia adalah seorang pengembara yang beragama non muslim, setelah beberapa lama ia mengembara, akhirnya dia sampai di pulau Madura. Tetapi, setelah dia datang di Pulau Madura dia masih harus mencari letak Desa Langkap, dia pun mencari keberadaan Desa Langkap.

Setelah beberapa hari dia berkelana untuk mencari Desa Langkap, akhirnya dia pun menemukannya. Kemudian setelah sesampainya dia di Desa Langkap, dia memutuskan untuk beristirahat semalam untuk melepaskan lelahnya, setelah dia berkelana kesana dan kemari untuk mencari Desa Langkap yang terletak di pulau Madura. Keesokan harinya, setelah dia beristirahat, dia mencari rumah kepala desa Langkap, seperti tujuan awalnya untuk datang ke Pulau Madura yaitu ke desa Langkap kecamatan Burneh.




Setelah bertanya kepada beberapa warga yang ada di desa Langkap, Sulut pun menemukan rumah dari kepala desa. Kemudian, Sulut masuk ke dalam rumah kepala desa. Tetapi, Sulut tidak berhasil bertemu dengan kepala desa dan Sulut memutuskan untuk beristirahat di salah satu rumah warga yang ada di Desa Langkap. Sore harinya Sulut kembali menemui kepala desa dan akhirnya Sulut bertemu dengan kepala desa, kepala desapun menyambut Sulut dengan tangan terbuka. Setelah itu, Sulut pun memperkenalkan dirinya dan tempatnya berasal. Kemudian, kepala desa tersebut bertanya kepada Sulut apa maksud dan tujuannya untuk jauh-jauh datang ke Desa Langkap. Sulut pun mengutarakan maksud dan tujuannya untuk datang ke Desa Langkap yang ada di pulau Madura, tujuannya datang ke desa Langkap adalah untuk menitipkan tanah yang ada di desa Langkap supaya tanah tersebut dirawat dengan baik oleh kepala desa Langkap.

Setelah mereka berbicara dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kepala desa pun menyetujui untuk merawat tanah yang ada di Desa Langkap tersebut. Seiring berjalannya waktu, tanah tersebut berubah menjadi pemakaman umum untuk orang-orang yang beragama non muslim. Tetapi tanah yang ada di desa Langkap kecamatan Burneh itu di pindah ke desa Socah tempatnya di Pedeng karena mereka menganggap bahwa tanah yang ada di desa Langkap itu adalah tanah pasir dan tidak sesuai untuk dijadikan tempat pemakaman umum bagi warga non muslim kerena di khawatirkan akan terjadi longsor maka dari itu di pindah ke desa Socah yaitu di Pedeng karena tanahnya adalah daerah bebatuan dan mereka menganggap daerah bebatuan itu lebih aman.

Pedeng ada sejak tahun 1975, pemakaman umum ini tidak bisa ditempati oleh sembarangan orang karena pemakaman tersebut hanya di tempati oleh warga yang ada di sekitar daerah Bangkalan. Tetapi ada juga warga keturunan non muslim yang berada di luar daerah Bangkalan yang di makamkan di Pedeng seperti daerah Surabaya dan Jakarta, dengan ketentuan mereka mempunyai KTP atau mempunyai keluarga yang bertempat tinggal di Bangkalan. 

Asal mula tanah tersebut berubah menjadi pemakaman umum untuk orang-orang beragama non muslim berawal dari adanya seorang gadis perempuan cantik keturunan China yang berasal dari Bangkalan yang bernama Maria, dia adalah seorang perempuan beragama non muslim yang taat dengan agama yang di imaninya, ketika Maria bersekolah di Sekolah Menengah Atas, dia banyak bergaul dengan teman-teman beragama islam dan dia juga mempunyai banyak sahabat yang beragama muslim. Sejak saat itu Maria mempunyai keinginan yang kuat untuk berpindah agama ke agama islam, Tetapi orang tua Maria menentang keinginan Maria.

Pada tahun 1984, Maria sakit keras dan pada saat itu Maria merasa bahwa umurnya sudah tidak lama lagi sehingga Maria memohon kepada keluarga besarnya supaya saat dia meninggal Maria di makamkan dengan tata cara islam bukan dengan tata cara China, sampai akhirnya Maria meninggal karena sakit. 

Tetapi permohonan Maria kepada keluarga besarnya untuk di makamkan secara tata cara islam tidak dikabulkan dan orang tua Maria juga tidak menginginkan anak kesayangannya untuk di makamkan secara tata cara islam. Sejak saat itu arwah maria bergentayangan karena keinginannya untuk dikuburkan secara tata cara islam tidak di kabulkan oleh kedua orang tua dan keluarga besarnya. Sehingga Maria sering menampakkan dirinya kepada masyarakat yang ada di sekitar daerah Pedeng, terkadang Maria sering menangis di sebelah jurang kecil yang ada di dalam pemakaman China tersebut. Tetapi, setelah suara tangisan tersebut di dekati, suara tangisan tersebut semakin menjauh dan akhirnya suara tangisan tersebut menghilang. 

Maria juga sering menampakkan dirinya pada warga yang melintasi jalanan di sekitar daerah Pedeng, ia menampakkan dirinya kurang lebih sekitar jam 10 atau jam 11 malam. Maria menampakkan dirinya dengan memakai baju yang bermacam-macam, terkadang ia memakai gaun putih panjang dengan rambut panjang yang terurai dengan indah, terkadang ia menampakkan dirinya dengan memakai baju seragam Sekolah Menengah Atas dan juga ia sering menampakkan dirinya dengan hanya memakai sarung. 

Banyak juga laki-laki yang melintas menggunakan kendaraan bermotor baik menggunakan mobil atau sepeda motor sering di tumpangi oleh Maria dengan menggunakan gaun berwarna putih dengan rambut yang terurai panjang, sopir mobil yang melintas di daerah Pedeng banyak yang mengira bahwa itu adalah penumpang, tetapi setelah sopir mobil tersebut bertanya kepada penumpang, ia tidak menjawabnya.  Dan setelah mobil atau sepeda motor yang di tumpangi oleh Maria sampai di daerah Bangkalan atau Kamal, Maria pun menghilang dari dalam mobil atau dari atas sepeda motor dan hanya ada bau wewangian yang di tinggalkan oleh Maria. 

Sepeninggal Maria, kehidupan keluarga Maria semakin terpuruk karena pada saat Maria masih hidup, keluarga Maria adalah keluarga keturunan China yang sangat kaya raya di daerah Bangkalan dan sekitarnya. Tetapi, setelah Maria meninggal karena sakit dan keinginan Maria untuk di makamkan secara tata cara islam di tolak oleh orang tua dan keluarga besarnya setelah itu keluarga Maria semakin terpuruk dalam faktor ekonomi dan semakin miskin. 

Sehingga setelah keterpurukan keluarga Maria dalam faktor ekonomi, makam Maria yang berada di sekitar kawasan pemakaman umum bagi warga non muslim di daerah Pedeng tidak terawat sama sekali, kemudian warga sekitar yang berada di daerah sekitar Pedeng merubah pemakaman Maria menjadi pemakaman islam bukan lagi pemakaman China. Sehingga hanya makam Marialah yang pemakaman islam, sedangkan yang lainnya adalah pemakaman nasrani dan pemakaman China. 

Dan setiap bulan April tanggal 5, keluarga yang salah satu keluarganya di makamkan di Pedeng berkunjung ke pemakaman tersebut dan membawa berbagai macam sesembahan untuk keluarga di makamkan di Pedeng dan warga yang bertempat tinggal di daerah di sekitar Pedeng, yang membantu dalam membersihkan pemakaman, mereka mendapatkan imbalan uang atau makanan yang di bawa oleh keluarga yang datang berkunjung dan berdo’a.


Kontributor : Nikmatus S


Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu