Selasa, 29 April 2014

Tari Potre Koneng

Tari Potre Koneng merupakan sebuah tarian yang menggambarkan seorang putri ningrat, yang bernama Potre Koneng. Seorang putri yang cantik jelita, lemah lembut tutur katanya, ramah, dan penyayang. Tarian ini sangatlah menarik untuk disimak serta gerakannya gemulai, sesuai dengan perilaku seorang putri ningrat. Tari Potre Koneng mengisahkan tentang pertapaan putri jelita itu.


Singkat cerita, kisahnya :

Legenda Potre Koneng bertapa di Gua Pajuddan, suatu hari Potre Koneng bermimpi bertemu dengan satria yang gagah perkasa, bernama Adipodai. Dalam mimpinya itu mereka berkasih-kasihan. Betapa terkejutnya dan heran Potre Koneng ketika diketahuinya dirinya mengandung akibat mimpinya itu. Potre Koneng bersedih, takut diketahui oleh ayahandanya. Ayahandanya pasti murka, karena hamil tanpa suami. Membuat malu dan menodai nama keluarganya. Saatnya melahirkan didampingi embannya. Bayi yang dilahirkan laki-laki. Bayi itu dibuangnya ke hutan agar tidak diketahui ayahandanya. Selamatlah Potre Koneng dari murka ayahandanya. 



Tari Potre Koneng
Potre Koneng selalu berdoa guna keselamatan putranya. Namun untuk kedua kalinya Potre Koneng bermimpi berkasih-kasihan dengan satria yang dulu pernah datang dalam mimpinya. Kembali ia mengandung, dan ketika anak keduanya lahir, laki-laki juga, kembali menyuruh embannya membuang bayi itu. Rupanya Tuhan selalu melindungi putra-putra Potre Koneng, bayi yang pertama ditemukan oleh Empo Kelleng. Kerbau peliharaannya Empo Kelleng yang menemukan putra pertama Potre Koneng. Begitulah dengan putra yang kedua, ditemukan oleh orang sebagai ayah angkatnya.

Begitulah cerita Potre Koneng yang digambarkan dengan tarian yang indah menawan hati. Karena tarian ini menceritakan sejarah dan sangat menarik, tari Potre Koneng sangat terkenal di Madura. Bahkan dijadikan tari wajib untuk setiap acara pagelaran. Sampai sekarang Gua Pajuddan tempat Potre Koneng bertapa masih ada. Masyarakat Madura sangat mengenal gua tersebut, terletak di sebelah barat kota Sumenep... [DI]



Sumber : https://jawatimuran.wordpress.com

Share:

Senin, 28 April 2014

Upacara Mesae, Adat Madura

Mesae, artinya memisah, yaitu memisahkan si anak dari susu ibunya. Upacara mesae diadakan jika umur bayi sudah mencapai 9 bulan. Kadang-kadang sampai usia 12 bulan si anak baru disapih.

Sebelum seorang ibu mesae anaknya, lebih dahulu harus meminta nasehat Kyae atau dukon baji, kapan sebaiknya mesae itu dilakukan. Menentukan waktu untuk mesae ini penting agar si anak tidak menjadi rewel atau perajuk.

Menurut petunjuk dukun atau kitab primbon itulah, kemudian orang tua si anak melakukan mesae terhadap anaknya. Biasanya waktu yang dipilih menurut perhitungan hari kelahiran si anak, atau menurut waktu ketika colpak bujel, saat tanggalnya tali pusat.

Di tempat tidur si anak, diletakkan polo’, semacam periuk yang diisi dengan topa panglobar, yaitu ketupat yang berisi beras kuning, sebagai penolak bala. Di samping tempat tidur si anak diletakkan Tajin senapora, yaitu bubur lemak dimana terdapat irisan telur dan kacang, sebagai penangkal penyakit.

Dalam upacara mesae ini hanya terbatas kepada ibu dan ayah si anak serta para kerabat dari dua belah fihak yang menyaksikannya. Tentu saja peranan dukun dalam upacara ini menentukan, karena dialah yang melaksanakan semua kegiat­n dalam upacara mesae ini.

Ketika semua keperluan upacara tersebut sudah siap, maka dukun menggendong anak yang disapih itu berkeliling rumah, sebanyak tiga kali. Setiap kali sampai di pintu muka, dukun itu membelakangi pintu. Sesudah itu, dukun membawa anak tadi ke tempat tidurnya, yang berdekatan dengan tempat tidur orang tuanya. Di tempat itu dukun itu berucap : “mon polo” nanges, kacong (jika anak berkelamin laki-laki), jebbing nanges”.

Kalimat yang diucapkan itu berarti : “apabila periuk ini manangis, si kacong atau si jebbing itu akan menangis pula” Dengan demikian berakhirnya ucapan itu, dukun menghembus ubun-ubun si anak tiga kali. Dengan perbuatan itu dukun mengharapkan agar si anak sejak saat itu melupakan tetek ibu­nya. Ada kalanya si anak diberi kalung dari perak dengan bandul yang berisi mantra. Dimaksudkan agar si anak tidak mudah kena saban (sawan) dan penyakit lain.

Upacara mesae ini lazimnya diadakan pada waktu siang hari. Pada puting susu si ibu, diberi ramuan dringo, agar si anak tidak mau lagi. Menurut kepercayaan masyarakat Madura, jika si anak yang sudah berusia sekitar setahun tidak di sapih maka anak itu akan bebal atau bodoh... [DI]



Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/


Share:

Upacara Haid, Adat Madura

Bagi seorang gadis di Madura, datangnya haid (datang bulan) untuk yang pertama kali diikuti dengan upacara khusus. Selama ia mengalami haid, ia tidak boleh turun ke tanah, dan lamanya sekitar 7 hari. Setelah waktu haid berakhir, ia dimandikan dengan aeng komkoman. Air mandinya itu berupa air sumur yang diberi ramuan bunga-bunga aneka warna.

Setelah itu ia diberi persalinan yang baik yaitu berupa baju kurung berwarna hitam, sarung poleng berwarna hijau atau merah dengan paduan warna yang menyolok. Lazimnya wanita Madura juga memakai kain batik Madura, dengan latar belakang warna merah saga atau konengsaga. Dewasa ini pakaian itu cukup dengan kebaya lengan pendek, dan kain batik Madura. Bersamaan dengan berakhirnya masa haid itu, diadakan selamatan nase ponar yaitu nasi ketan kuning dengan telor dan sambal.

Konon ada juga upacara yang dilakukan secara bertahap sejak hari pertama haid sampai hari ke tujuh. Pada hari pertama ia duduk di atas keppay Mes-ser (kipas Mesir) dan naik tangga pada gigi pertama. Hari kedua naik tangga gigi kedua dan seterusnya sampai gigi tangga ke tujuh.

Dengan duduk di atas kipas Mesir dan naik secara berun­tun dari hari pertama sampai hari terakhir, melambangkan peralihan masa kanak-kanak kepada masa dewasa. Sekarang upacara-upacara tersebut sudah jarang sekali dilakukan oleh masyarakat... [DI]


Share:

Jumat, 25 April 2014

Ramuan Madura

Ramuan Madura , Konsumsi bagi kaum hawa yang gemar merawat wajah agar tetap cantik, tubuh sehat dan bugar. Mengkonsumsi jamu Madura secara rutin, bagi perempuan berumur, bisa dipercaya dapat mempertahankan wajah awet muda sekaligus mewujudkan rumah tangga bahagia.

Bagi kaum remaja, jamu Madura menambah penampilan lebih feminis dan anggun. Khasiat jamu Madura untuk perawatan tubuh sudah tersohor sejak lama mulai dalam negeri sampai luar negeri. Kemashuran jamu dari Pulau Garam ini disebabkan, jiwa petualangan warga Madura yang bermukim di banyak daerah sambil mempromosikan produk lokal.


Di antara jamu Madura yang terkenal itu antara lain, jamu melahirkan yang digunakan untuk Ibu yang baru melahirkan agar tetap sehat dan tubuh akan kembali bugar seperti sediakala. Jamu salekarang yang khasiatnya dapat mencegah sariawan dan menghilangkan bau tidak sedap.

Jamu paka'an diperuntukan bagi wanita yang sudah menikah agar tetap sehat. Kemudian jamu bengkes yang diperuntukkan menjaga tubuh supaya tetap sehat sehabis menstruasi. Dan yang paling fenomena adalah jamu tongkat Madura yang paling banyak digunakan sebelum kaum perempuan berhubungan dengan suaminya.

Jamu Madura seperti bengkes, pakaan, celebbhan, ronronan, sa'ang sere dan salekarang Jamu Madura sudah terkenal keampuannya, sebab jamu ini dikembangkan dari ramuan yang diperoleh secara turun menurun dari racikan para datu atau dukon. Penyebab lainnya adalah bahan yang digunakan benar-benar dari alam tanpa campuran bahan kimia, aman dikonsumsi tidak menimbulkan efek sampingan.

Selain itu, banyak orang menyaksikan kekuatan fisik dan penampilan perempuan Madura yang selalu sehat dan bugar di sepanjang waktu. “Dengan penampilan fisik yang selalu sehat dan bugar, banyak yang bertanya apa rahasianya,” kata pengamat jamu Madura Sri Handayani 

Menurut Dosen STAIN Pamekasan dalam penelitiannya, sebagian besar jamu Madura digunakan untuk menjaga kesehatan tubuh perempuan, tetapi tidak sedikit kalangan lelaki yang meminumnya. “Selain untuk menjaga agar tetap sehat juga di pakai sebagai menambah vitalitas,” kata seorang konsumen jamu Madura.

Keluarga Madura adalah keluarga jamu. Mengkonsumsi jamu merupakan kebutuhan pokok dan setiap saat, jamu selalu disiapkan untuk diminum oleh anggota keluarga, bahkan jika ada keluarga yang baru datang dari luar kota pasti disuguhi jamu Madura.

Namun uniknya ramuan Madura ini seperti rahasia yang tertutup rapat. banyak anggota keluarga yang tidak paham cara membuat ramuan jamu Madura.

Bahan yang digunakan dan bagaimana membuatnya, juga tidak diketahui. Rata-rata peramu jamu Madura kaum ibu yang selalau menyajikan minuman jamu saja tanpa memberi tahu kepada orang lain bahan dan cara memproduksinya.

Menurut Kyai R.H. Moh Ghiyats Romzy pengasuh pondok pesantren Darul Fiqih Pamekasan, dalam penelitian Handayani, dia selalu minum jamu sejak kecil. Namun dia tidak mengetahui tentang bahan-bahan racikan yang digunakan ibunya Nyai Hj Luluk Aisyah.

Ancaman kepunahan semakin kuat, sebab generasi mudanya malas mempelajarinya. Apalagi banyak halaman rumah yang dibiarkan mangkrak. ‘Tidak ada lagi yang menanam tumbuh-tumbuhan jamu,”tutur Wahid warga Bangkalan.

Untuk mendapatkan penggantinya, peracik jamu harus mencri ke luar Pulau.  Dicontohkan, addes, Palasare, mose, jekani, jekeleng yang merupakan campuran bahan untuk membuat jamu paka’ untuk wanita yang sudah menikah. “Jika jamu Madura tetap lestari, harus ada solusi dengan mengadakan sosialisasi dan pelatihan bagi generasi muda cara membuat ramuan Madura,” kata Fauziyah... [DI]


Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/

Share:

Kamis, 24 April 2014

Upacara Pelet Kandhung, Tradisi Adat Madura

Upacara Nan’ dai adalah salah satu upacara Pelet Kandhung (upacara kehamilan), apabila seorang ibu di madura mulai mengandung, diadakanlah upacara Nan’ dai, yaitu upacara untuk memberi kesaksian bah­wa seorang ibu telah mulai mengandung. Upacara nandai ini mulai diadakan pada waktu kandungan berusia satu bulan, hingga kandungan berumur sembilan bulan. 

Rentangan masa kehamilan bulan pertama hingga bulan ke sembilan, ditandai dengan upacara sisipan yaitu upacara Pelet kandhung, Upacara ini diadakan pada waktu umur kandungan masuk bulan ke tujuh. Upacara ini merupakan upacara penting yang lazim di­adakan pada waktu seorang ibu untuk pertama kalinya hamil. Biasanya upacara ini berlansung dengan meriah karena, semua kerabat-dekat maupun jauh, diundang dalam upacara ini.

Mulai bulan pertama, upacara nandai, ditunjukkan de­ngan meletakkan Bigilan yaitu buah nangka (dalam bahasa Jawa : beton) di atas sebuah Leper, tatakan cangkir. Bigilan yang diletakkan di atas leper itu jumlahnya selalu bertambah, sesuai dengan hitungan kandungan sang Ibu. Jadi untuk bulan pertama satu biji, bulan kedua, menjadi dua biji, sampai bulan ke sembilan seluruhnya berjumlah sembilan biji.



Di meja terletak leper dengan tujuh biji Bigilan, yang me­nandakan bahwa kandungan Patonah, isteri Pak Marhamah sudah masuk bulan ke tujuh. Di atas meja tersebut, juga ter­dapat sebuah cawan yang berisi bunga Komkoman, yaitu bunga yang terdiri dari bermacam-macam jenis, direndam dalam air. Bunga Komkoman ini tidak lain bunga rampai yang diren­dam. Benda-benda itu dimaksudkan sebagai sajian.

Hari itu, Patonah menjadi pusat perhatian sanak saudara­nya sekoren. Mereka yang hadir itu adalah saudara-saudara dekatnya yang datang dari desa sekitarnya. Karena kandungan Patonah sudah masuk bulan ketujuh, maka orang tuanya me­nyelenggarakan upacara Pelet kandhung atau Pelet Betteng. Arti dari nama upacara tersebut adalah pijat kandungan atau pijat perut.

Upacara pelet kandhung dimaksudkan agar si ibu yang mengandung selalu sehat, sedang bayi yang dikandungnya, sehat dan selamat sampai waktu dilahirkan.

Waktu Penyelenggaraan Upacara

Upacara itu dijatuhkan pada waktu malam hari, dan dila­kukan sesudah sembahyang Isya’. Kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama, saat yang baik ini memang dinanti oleh keluarga Pak Marhamah. Sebab menurut perhitungan hari, saat bulan purnama ini, dianggap waktu yang terbaik. Saat bulan purnama, adalah waktu suasana di desa terang, karena sinar bulan. Sedang saat berlangsungnya upacara dijatuhkan pada saat orang-orang baru lepas sembahyang Isya’. Keluarga Pak Marhamah, demikian juga tetangga dekatnya, memilih sesudah sembahyang Isya’ untuk mengadakan kenduri atau melangsungkan hajad selamatan, jika dilakukan pada ma­lam hari. Waktu sesudah Isya’ dianggapnya tepat karena waktu itu cu­kup longgar,karena orang sudah lepas dari kewajiban salat, da­lam siklus lima waktu. Tempat Penyelenggaraan Upacara.

Keluarga Pak Marhamah tinggal di rumah Pegun, rumah tradisional, dengan gaya arsitektur khas Madura. Rumah itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian muka, yang berfungsi sebagai pendopo, rumah induk, dan dapur. Di sebelah kanan rumah, terletak surau, dan beberapa bangunan lain di sekeliling tanean (halaman bersama).

Patonah dan suaminya, bertempat tinggal di salah satu kamar dalam rumah induk itu. Mereka masih menumpang pada rumah orang tuanya. Upacara pelet kandhungitu dilangsungkan di bilik Patonah.

Sudah sejak tiga hari, rumah Pak Marhamah kelihatan sibuk, karena adanya persiapan upacara tersebut. Bilik yang ditempati Patonah dan suaminya itu, sebenarnya bagian dari rumah induk yang dibuat sekatnya menjadi kamar. Oleh sebab itu dapur maupun kamar mandi masih menjadi satu dengan orang tuanya.

Penyelenggara Upacara

Upacara Pelet kandhung itu dilakukan oleh emba bine, atau juga disebut agung bine, atau emba nyae. Orang ini adalah nenek Patonah, yaitu ibu dari Pak Marhamah. Ia adalah termasuk orang tertua dalam keluarga Pak Marhamah, oleh karena itu, ia menjadi salah seorang yang berperan dalam upacara ter­sebut. Pelaksanaan upacaranya sendiri, dipimpin oleh dukun bayi.

Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Upacara

Dalam upacara ini, melibatkan baik keluarga dari Pak Marhamah sendiri, maupun dari saudara laki-laki dan perempuan Pak Marhamah maupun isterinya, yaitu ibunya Patonah. Hadir pula dalam upacara ini matowa lake dan matowa bine Patonah, yaitu orang tua suaminya, serta saudara-saudara perempuan suaminya, yaitu yang termasuk epar bine. Semua yang hadir dalam upacara itu adalah perempuan. Patonah sen­diri adalah anak satu-satunya, oleh sebab itu para tetangganya atau saudara-saudara ayahnya, jika menyebut Pak Marhamah, adalah Pak Patonah. Dalam adat Madura nama panggilan ayah, seringkah menyebut nama anaknya yang pertama. Suami Patonah sendiri mempunyai dua orang saudara, semuanya perempuan. Terhadap mereka ini, Patonah menyebut epar bine. Di samping saudara-saudara yang tersebut di atas, para tetangga hadir juga dalam upacara itu. Mereka ini umumnya perem­puan dewasa yang sudah kawin.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Persiapan upacara Pelet Betteng ini, dimulai dengan penyediaan makanan dan minuman serta sajian yang akan dihi­dangkan kepada para undangan. Di samping itu juga dipersiap­kan alat-alat yang akan dipakai dalam upacara.

Makanan atau hidangan untuk Arasol, yaitu kenduri, be­rupa kuweprocot, ketan kuning yang dibalut daun berbentuk kerucut. Jubada, yaitu sejenis makanan dari ketan (juadah) Lemmeng, ketan yang dibakar dalam bambu, Tettel, dari bahan ketan, minuman cendul dan La ang, minuman dari bunga siwalan (semacam legen).


Untuk persiapan upacaranya sendiri, yaitu alat-alat untuk man­di dan sajiannya berupa : kain putih, sekitar IV2 meter untuk menutup badan siibu, yang dimandikan.

Air bunga satu Penay (satu belanga). Bunga yang dipakai untuk campuran air mandinya tidak boleh bunga yang bergetah atau gatal.

Gayung dari kelapa, yaitu tempurung dengan kelapa yang disisakan, sehingga econgap, menengadah, tangkai gayungnya terbuat dari ranting beringin yang masih disisakan daun-daunnya.

Telur ayam mentah sebutir dan yang masak sebutir. Satu Leper ketan kuning yang sudah masak, seekor ayam muda, dan minyak kelapa yang dibuat sendiri, untuk memijat. Kemenyan arab, atau setanggi, sepasang Cengker kelapa gading yang muda; Cengker itu digambari Arjuna dan Sembodro, dengan dibubuhi tulisan arab atau Jawa.



Arti dari barang-barang yang akan dipakai dalam upacara ini, menurut keterangan dukun adalah sebagai berikut :

Air Komkoman, air dengan berbagai macam bunga, biasanya berjumlah 40 jenis, merupakan air suci. Dengan demikian air untuk memandikan Patonah ini adalah air suci, yang diharum­kan karena ramuan berbagai ragam bunga. Gayung dari kelapa, menurut keterangan dukun, merupakan pohon yang selalu berbuah tanpa tergantung kepada musim. Dengan kelapa itu di­harapkan agar rezeki ibu serta bayi yang dikandung akan selalu ada. Sedangkan tangkai yang berupa ranting beringin, diharapkan agar si anak kelak dapat terpenuhi segala keinginannya, serta senang hidupnya. Dalam ungkapan masyarakat agar si anak : rampak naong beringin kurung. Seekor ayam muda disiapkan untuk dijadikan pak-tem- pak, yaitu benda yang akan disepak. Ayam itu diikat pada tiang dalam rumah, tetapi oleh karena rumah Pak Marhamah tembok maka ayam itu diikat pada kaki tempat tidur. Makanan yang dihidangkan dalam upacara tersebut mem­punyai arti agar rezeki si anak selalu mudah diperoleh. Bagaimanakah upacara pelet betteng itu dilaksanakan. 

Jalannya Upacara

Setelah para undangan hadir, yaitu para undangan laki-laki, mengambil tempat diserambi muka, duduk di atas tikar. Undangan itu berjumlah sekitar 30 orang. Seorang Kyae, di­minta untuk memimpin pembacaan surat Jusuf dan surat Mary am, dari Al-Qur’an. Sementara para undangan laki-laki ini membaca ayat-ayat Al-Qur’an (surat Yusuf atau surat Maryam), didalam bilik Patonah, pelet kandhung mulai berlangsung. 


Dukun memelet, atau memijit Patonah dengan menggunakan minyak kelapa, dengan maksud untuk mengatur letak bayi, da­lam kandungan. Sementara dukun itu memijat perutnya, seca­ra bergantian para kerabat Patonah yang tua-tua, dimulai oleh emba nyae, yaitu nenek Patonah, matowa bine, mertua perem­puan, e bu majadi, yaitu bibi, atau adik perempuan ayahnya, epar bine, ipar perempuan, secara bergantian mendatangai Patonah, mengusap perut yang tengah di pelet itu. 

Sambil mengusap perut Patonah itu, semua kerabat dan undangan itu memanjatkan harapan/doa agar bayi dan ibunya selamat. Sementara itu suara orang yang membaca ayat suci terus ber- gumam upacara pemeletan pada tahap pertama selesai. Dengan dibantu oleh Dukun, Patonah didudukkan dari pembaringan, kemudian dibimbing kedekat kolong, dimana seekor ayam yang sudah disiapkan itu diikat pada kaki tempat tidur. Serta merta, Patonah menyepak ayam tadi, dengan sepekan yang keras sehingga ayam itu kesakitan

Menurut petunjuk dukun, sepakan itu memang harus keras, sampai ayam itu berbunyi “keok”. Dengan terdengarnya keok ayam yang kesakitan itu, tahap pertama upacara selesai. Ayam yang masih terikat di kaki tempat tidur tadi kemudian ikatannya dilepaskan oleh Mentoa bine, selanjutnya ayam itu dikurung, dan nanti setelah upacara selesai, ayam itu diberikan kepada Dukun.

Tahap kedua pelet betteng, adalah upacara mandi. Dukun dengan bantuan mentoa binenya, menyelimuti badan Patonah dengan kain putih yang sudah disiapkan itu. Kemudian dengan bimbingan dukun, Patonah disuruh berdiri dengan kaki kanan menginjak kelapa muda, kaki kiri menginjak telur mentah. Nampaknya tugas itu agak sukar dilakukan oleh Patonah yang nampak gugup itu, akhirnya dukun mengambil telur yang tidak jadi diinjak kaki kiri itu, dengan cekatan dukun meletakkan telur tersebut di atas perut Patonah, sambil dilepaskan. Telur yang digelindingkan dari perut yang hamil itu, pecah, dan serentak yang hadir disitu berucap : jebing, jebing, artinya perempuan. 

Dengan ucapan yang hadir itu kelak diramalkan bayi yang dikandungnya akan lahir perempuan. Sesudah itu, Patonah dibimbing oleh dukun baji, itu ke belakang rumah, dimana persiapan untuk mandi itu akan dilakukan. Dengan diantar beramai-ramai, para wanita yang hadir mengikuti Patonah ke belakang rumah. Patonah didudukkan di sebuah bangku kayu yang rendah. Di dekatnya tersedia air Komkoman pada sebuah periuk tanah. Maka berturut-turut Dukun Bayi, memandikan Patonah dengan lebih dulu mema­sukkan uang logam ke dalam air komkoman itu. Si Dukun menyauk air komkoman dengan gayung belahan kelapa yang sudah dibersihkan dari ijuknya itu, gayung yang tangkainya dari ranting beringin. Sesudah itu kerabat dekatnya baik dari fihak ibunya sendiri maupun dari mertuanya perempuan, mu­lai memandikan seperti yang dilakukan oleh dukon baji. Setelah air yang tersedia habis, maka selesailah tahap kedua upacara Pelet Kandhung ini. 

Tahap ketiga adalah Adandan, artinya menghias diri, Patonah yang sudah dimandikan itu, dibawa ke dalam rumah untuk diberi persalinan. Semua baju dan kain milik Patonah yang terbaik disediakan untuk dipakai. Mertua perempuannya selalu mendampingi menantunya ini bersama dukun dan nenek perempuannya. Patonah sekarang sudah dirias dan memakai baju baru. Kemudian dari biliknya, tempat ia dipelet itu diperlihatkan kepada yang hadir dan semuanya secara spontan berucap : raddin, raddin, artinya cantik-cantik. Ucapan itu di­maksudkan sebagai persetujuan bahwa Patonah dengan dandan­an itu sudah serasi sekali. 

Sementara suara yang hadir menga­gumi kecantikan Patonah, bersama dengan lenyapnya kekaguman itu, para undangan laki-laki yang sejak tadi membaca surat Yusuf dan Mariyam, selesai pula. Dengan selesainya bacaan ayat suci Al-Qur’an, oleh seorang Kyae, mulailah di bacakan doa. Di muka Kyae, diletakkan dua cengker yang telah ada gambarnya tersebut, beserta tulisan Arab. Setelah selesai dengan pembacaan doa yang diamini oleh segenap yang hadir baik yang berada di muka, atau di belakang, maka Kyae memberi keterangan ringkas tentang makna surat Yusuf dan Maryam tadi.

Dikatakan agar bacaan ayat Qur’an tadi membawa berkah ke­pada sang bayi yang dalam kandungan. Jika kelak lahir laki- laki, rupanya agar setampan Nabi Yusuf. 1) Jika bayi telah lahir perempuan agar secantik dan semulia hatinya seperti Dewi Maryam. 2) Cengker yang bergambar Arjuna dan Sembodro yang su­dah dimantrai dengan doa oleh Kyae itu, oleh suami Patonah dibawa masuk diserahkan mertuanya perempuan. Cengker itu kemudian diletakkan di tempat tidur Patonah sampai kelak ia melahirkan bayinya Patonah yang sudah duduk di dalam biliknya kembali, di­beri minuman jamu Dek cacing towa. Jamu tadi ditempatkan pada cengkelongan, yaitu tempurung kelapa gading. Sehabis ia meneguk jamu dari cengkelongan, maka cengkelongan itu segera dilemparkan ke tanean (halaman). Dalam remang cahaya bulan purnama, cengkelongan itu jatuh tertelungkup, maka yang menyaksikan berucap beramai Jebing, jebing, yang berarti perempuan. Seandainya cengke­longan tadi terlentang, maka bayinya kelak akan lahir laki-laki.

Sesudah minum jamu tadi, sekarang Patonah disuapi dengan nasi Ponar, (nasi kuning) ketan yang diberi warna kuning dengan telur ayam rebus. Makanan itu tidak dimakan habis, maka sisanya diberikan kepada Dukon baji. Sedang sajian ma­kanan yang berupa kuwe procot, tettel, dan minuman cendul, semuanya dibiarkan sebagai sesaji. Makanan itu mengandung makna harapan, agar bayi yang akan lahir lancar seperti kuwe procot, (karena bentuknya yang kerucut), sedang cendul agar rezeki si bayi kelak akan melimpah seperti air atau kuah cendul yang terhidang. Dengan penyerahan cengker kepada Patonah oleh suaminya melalui mertuanya, maka itu berarti bahwa sejak saat itu, Patonah akan “bersanding” dengan ceng­ker tersebut, dan sampai melahirkan, si suami tidak boleh menggauli isterinya. Dengan upacara Pelet betteng ini larangan bersanggama berlaku bagi suaminya sampai saatnya bayi lahir.

Pantangan yang harus dihindari Sejak diadakan upacara nandai sampai upacara pelet kandhung, Patonah mulai menjauhi beberapa makanan dan minum an yang sebelum itu boleh dimakan atau diminum. Demikian juga ia harus mengendalikan diri untuk berbuat sesuatu, agar selama dia mengandung jauh dari musibah. Pendek kata ia harus menjauhi pantangan.

Masyarakat Madura mengenal beberapa makanan yang menjadi pantangan orang hamil. Dalam hal ini Patonah pun mengikuti petunjuk dukon baji dan embu’nya maupun mantoa binenya. Pantangan yang berupa makanan itu adalah :

Juko’lake, yaitu makanan yang bersungut, misalnya ke­piting, bilang seyongan, me erne, yaitu sejenis cumi-cumi, me erne parsong, yaitu mimi tunggal, daging kambing, ce cek (kerupuk ram bak) petis. Jenis ikan yang disebutkan tadi pantang untuk dimakan orang yang hamil.

Makan ikan yang bersengat itu dapat mengakibatkan kegugur­an dan bagi bayi yang dikandungnya akan kena saban, yaitu sawan. Menurut kepercayaan masyarakat Madura, ikan sejenis Juko lake mengandung opas, yaitu racun. Misalnya pada ikan me eme tunggal, larangan makan ikan cumi-cumi yang dapat berjalan maju-mundur, dianggap akan mempengaruhi kelahiran bayi yang dikandung yaitu akan berakibat waktu lahir menjadi tertunda karena mundur.

Selain jenis ikan laut, dianggap akan menyebabkan keguguran kandungan. Demikian pula, petis, akan berpengaruh terhadap mata si bayi kelak. Oleh sebab itu jenis buah-buahan yang tidak boleh dimakan ialah : Nenas-muda, durian, tebu, mangga kweni lembayung. Ada anggapan terhadap jenis buah-buahar tersebut, misalnya : tebu akan menyebabkan banyaknya cairan darah, apabila melahirkan. Makanan yang disebut Plotan lembur, juga dilarang dima­kan, karena akan menyebabkan keguguran.

Pantangan yang berupa perbuatan atau tindakan ialah : kerja berat, bekerja secara tergesa-gesa dan mendadak, berjalan cepat, naik turun tangga. Demikian pula ketika Patonah sudah hamil empat bulan, mentowa binenya memberitahukan agar ia jangan menyiksa dan membunuh binatang. Di samping itu perbuatan yang tidak boleh dilakukan ialah : malekko, artinya tidur melingkar, duduk diambang pintu, etampe, yaitu makan sambil menyangga piring atau tempat makan, tedung giri hari. yaitu tidur disembarang waktu. Pantangan lain yang diajarkan oleh embu’na, (ibunya sendiri) yaitu dilarang bersanggama pada hari-hari : Selasa , Rabu, Sabtu dan Minggu. Menjadi larangan besar jika seorang yang hamil bersanggama di malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Apabila larangan tersebut dilanggar, masyarakat percaya bahwa kandungannya akan mengalami cacat, kelak apabila lahir. Sanksi atas pelanggaran itu disebut Juba’, artinya tidak patut. Apabila sang suami melanggar bersanggama pada hari pantangan, dengan isterinya yang mengandung itu maka, ma­syarakat percaya akan menimbulkan musibah; baik bagi ibu­nya maupun bagi bayi yang dikandungnya. Malekko pasti akan membawa pengaruh kepada letak bayi, yang berakibat bagi si ibu yang mengandung. Demikian juga tidur di sembarang waktu, akan mendatangkan kebiasaan buruk.

Adapun larangan membunuh hewan, menurut anggapan masyarakat karena akan membekas kepada anaknya yang akan lahir. Seorang ayah yang berburu binatang, kelak anaknya kepalanya akan cacat, benjol, dsb. Dalam masyarakat Madura dikenal Tumut, artinya, apa yang dikerjakan oleh orang tuanya akan membekas pada anak yang dilahirkan. Ada pantangan bagi seorang suami yang isterinya mengan­dung dilarang Aramba, artinya mencari makanan ternak. 

Larangan tersebut sebagai perlambang agar sang suami ketika isterinya mengandung jangan berhubungan kelamin dengan wanita lain. Seringkah wanita yang hamil harus mengendalikan diri untuk bergunjing yang disebut dengan San rasanan. Larangan lain adalah menyumpah, mencela, bertengkar dan carokong, yaitu hidup jorok. Pantangan tersebut pada hakekatnya merupakan hal-hal yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan hamil. Di samping pantangan yang berupa makanan, minuman, perbuatan, tindakan, terdapat juga anjuran bagi suami-isteri untuk diperbuat. 

Sejak kehamilan terjadi seorang wanita harus lebih tekun beribadat. Nyebbut, artinya memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari malapetaka, sambil mengelus atau mengusapkan tangan kanan ke perutnya. Seorang wanita yang mengandung harus rajin Ajamo, yaitu minum obat tradisional (jamu), apelet, pijat badan. Bagi seorang perempuan yang hamil muda, harus minum dek cacing ngoda, yaitu jika kandungan berusia satu hingga empat bulan. Sedang kandungan yang sudah berumur antara lima sampai melahirkan, isteri harus rajin minum dek cacing towa. 

Cara untuk minum jamu menurut tradisi di Madura, ialah minum secara teratur setiap hari Senin dan Kamis, sambil menghadap kiblat (Ka’bah). Tatkala minum itu gigi tidak boleh kelihatan, tangan kiri berada di atas buah-dada. Embu’na Patonah selalu menasehati, agar suka makan kelapa yang dimakan bulan, agar kelak paras anaknya cantik. Kelapa yang dimakan bulan adalah kelapa apabila dikupas, dagingnya tinggal separo, atau kurang. Suatu ketika pada waktu Patonah hamil 4 bulan, pernah jatuh terpeleset kulit pisang. Segera melihat hal itu suaminya menyepak pelan, perbuatan itu dilakukan karena adanya ke­percayaan bahwa apabila tidak disepak, anaknya yang lahir rranti makanan seperti daging kambing, akan cacat tubuhnya, mungkin bengkok kaki atau tangan nya, perot, pincang dsb. Sekiranya waktu itu suaminya tidak ada maka laki-laki lain boleh melakukannya, bahkan sesama wanitapun dapat berbuat yang sama.

Apabila terjadi kelambatan untuk melahirkan, maka di- kalangan masyarakat Madura mengenal upacara, memperce­pat kelahiran itu. Upacara itu berupa Arasol, dengan melaku­kan tindakan sebagai berikut : Seekor ayam putih, dimasukkan dalam pagar, kemudian seorang kerabat dekat si isteri, laki-laki berada di luar pagar, siap untuk menerima ayam dari dalam pagar. Ayam yang telah diterima itu kemudian segera

dilepaskan. Cara lain ialah dengan memanggil Dukon baji atau seorang kyae, dimintakan pertolongannya. Biasanya kepada si ibu yang mengandung itu diberikan telor untuk jamu, setelah dimanterai. Kemudian perutnya dioles dengan minyak kelapa, sambil dibacakan doa atau mantra.

Patliye, ipar perempuan Patonah, sering kali keguguran, sehingga anaknya yang tertua sekarang adalah anak ketiga dalam keluarga itu. Kedua kali kematian anaknya karena bayi­nya meninggal sebelum cukup umurnya. Agar ia tidak keguguran lagi, maka di tempat tidurnya diletakkan batu pipisan, atau gandek sebagai pengganti bayi yang meninggal itu.

Dalam masyarakat Madura, upacara kehamilan yang paling penting adalah Pelet Kandhung, atau Pelet Betteng ini. Sedangkan untuk Nandai merupakan salah satu cara untuk mengingat usia kandungan... [DI]




Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/
Share:

Kaum Elite Pribumi Keturunan Madura di Bengkulu

Kehadiran kaum elite pribumi keturunan Madura di Bengkulu pada abad ke 18, sebenarnya tidak lepas dari latar belakang situasi politik di wilayah Madura itu sendiri. Panembahan Abdul Kharim Diningrat atau lebih dikenal dengan Panembahan Cakraningrat IV, penguasa dari Bangkalan di Madura Barat, mempunyai empat orang anak. Dari keempat anaknya, yang diketahui namanya hanya tiga orang, yaitu Raden Surodiningrat (anak tertua), Raden Ranadiningrat (anak ketiga), dan Raden Tumenggung Wirodiningrat (anak keempat)[1].

Menurut catatan Broek, Ranadiningrat dan Wirodiningrat lahir dari istri yang berbeda, yaitu Nyai Tengah dan Nyai Magih, yang keduanya berasal dari Banyu Sanka di Bengkulu[2]. Catatan Broek ini sangat memungkinkan, sebab Cakraningrat IV telah mempunyai hubungan yang erat dengan Kompeni Inggris di Bengkulu. Jadi besar kemungkinan, apabila Cakraningrat IV memperoleh istri dari Bengkulu.

Photo Para Bangsawan di Madura

Selanjutnya disebutkan, bahwa hubungan antara Cakraningrat IV dengan anak tertuanya yang telah menjadi Bupati Sedayu, mulai retak karena sikap anaknya yang cenderung pro Kompeni Belanda. Akibat retaknya hubungan keluarga, maka dibuanglah istri Surodiningrat dan keempat anaknya, serta anak Ranadiningrat[3]. Pada waktu pecah perang antara Cakraningrat IV dengan Kompeni Belanda, dikirimlah Raden Temenggung Wirodiningrat (anak yang keempat) bersama dengan Raden Sang Nata (anak Raden Ranadiningrat) ke Bengkulu untuk minta bantuan Kompeni Inggris. Akan tetapi gagal, bahkan mereka akhirya menetap di Bengkulu. Sementara Cakraningrat IV sendiri ditawan oleh Kompeni Belanda dan selanjutnya dibuang ke Cape (Tanjung Harapan)[4].

Kehadiran kelompok elite keturunan Madura di Bengkulu ini, ternyata mendapat respon serta sambutan terhormat dari kalangan elite pribumi setempat. Perkembangan selanjutnya, kelompok elite keturunan Madura ini berhasil menjalin hubungan kekerabatan melalui perkawinan dengan keluarga elite pribumi setempat. Bahkan Pangeran Sungai Lemau telah memberinya tempat tinggal, yaitu di kampung tengah Padang. Berikut isi petikan dalam Naskah Melayu tentang posisi elite keturunan Madura[5].

Maka datang doea orang radja dari Madoera di gelar Radhen Temenggoeng Wiro Diningrat, di gelar Radhen Sangnata menoedjoe kepada toeankoe Soengai Lemaoe dan Daeng Maroepa, maka di lihat roepa orang patoet patoet, maka toeankoe terima dengan patoet poela, maka dikoerniai tempatnja tinggal di kampoeng Tengah Padang, lama-lama Temenggoeng Wiro Diningrat, dan Radhen Sangnata beristri dan beranak di Bangkahoeloe.

Raden Temenggung Wirodiningrat menikah dengan Siti Juriyah, dan Raden Sang Nata menikah dengan Sa’diah. Siti Juriyah adalah anak keturunan elite Bugis, sedangkan Sa’adiah adalah anak keturunan elite Sungai Lemau[6].

Menurut sumber sejarah yang diketemukan, Raden Temenggung Wirodiningrat selanjutnya diterima oleh kompeni Inggris sebagai perwira dalam korps yang terdiri dari orang-orang Bugis. Untuk lebih jelasnya, berikut ini surat yang ditulis oleh anak keturunannya yang telah diterjemahkan:

kami ingin menerangkan kepada Tuan bahwa pada tahun 1734 ketika Belanda menaklukkan Madura, almarhum kakek kami yang bernama Panembahan Abdool Charim Diningrat yang bertempat tinggal di sana telah meminta almarhum ayah kami Raden Temenggung untuk pergi ke Bencoolen mencari perlindungan di bawah pemerintah Inggris yang dinikmatinya sampai akhir hayatnya, dan beliau ditunjuk sebagai perwira dalam suatu korps yang terdiri dari orang-orang Bugis, yang penunjukan itu diturunkan kepada kami dan anak-anak kami. Beliau mempunyai dua belas orang anak yang hidup tinggal kami dan dua orang saudara kami perempuan.

Yang tertua di antara kami bertiga, yaitu Raden Miradiningrat yang pada saat ini masih memegang jabatan sebagai Kapten pada Korps Bugis yang diperolehnya pada tahun 1774, Raden Muhamad dan Raden karim pada tahun 1794. Kami ingin menambahkan, bahwa sejak kami mendapatkan kehormatan untuk melayani kompeni, kami harus kerja agar layak mendapatkan perlindungan dan mematuhi segala perintah yang diberikan kepada kami. Raden Muhamad luka parah pada perang Lehong yang dipimpin oleh almarhum Kolonel Clayton dan telah mendampingi almarhum Kapten Adair dalam perang Longye Tunang dan Pasummah ….[7]

Dari isi surat tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Raden Temenggung Wirodiningrat dan anak keturunannya telah menjadi sekutu kompeni Inggris yang tergabung dalam korps Bugis. Di samping itu, juga diketahui bahwa Raden Temenggung Wiriodiningrat mempunyai dua belas orang anak.

Sementara menurut silsilah keluarga bangsawan Madura yang ada di Bengkulu, disebutkan bahwa anak Raden Wiriodiningrat dengan Siti Juriyah berjumlah 9 orang. Adapun kesembilan orang anaknya, yaitu:
1. R. Tawang Alun,
2. R.T. Aria Djanaka (R, Nakaningrat),
3. R. Demang Soeratama,
4. R.A. Boengsoe,
5. R. Mohamad Zein.
6. R.A. Rasmi.
7. R. Abdul Karim,
8. R.A. Sridjati (Ratoe Anom), dan
9. Abdul Rahman (R.T. Adiningrat).

Selanjutnya menurut laporan Daeng Supu mengenai kondisi dan masalah di Bengkulu yang disampaikan ke Batavia, tertanggal 9 Februari 1783, petikannya adalah sebagai berikut :

Ten tiende is de oudste zoon van Radeen Tomangong, Radeen Taawoeng aloen Luitenant, de twelde genaamd Radeen Tenga is na Madras, de derde genaamd Radeen Smaka is van de vierde genaamd Radden Tama is bij wijn voeder vaendrig, en met dienselven na Padang onder T gezag van Mastakries die als Admiral daarnatoe gezonden is, om aldaar else sterkte te bouwen, zijnde de jongste zoon nog in geen functie[8].

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

… yang kesepuluh, anak Tertua dari Raden Tumenggung, Raden Tawang Aloen menjadi Letnan, anak kedua yang bernama Raden Tengah menjadi kelasi, anak ketiga yang bernama Raden Smaka menjadi prajurit, anak keempat yang bernama Raden Tama menjadi ajudan prajurit, dan bersama dia dikirim ke Padang untuk membangun pertahanan di sana. Anak yang bungsu masih belum bekerja….

Dari ketiga sumber sejarah tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tertua Raden Temenggung Wirodiningrat adalah Raden Tawang Aloen atau Raden Temenggung Miradiningrat, yang telah menjadi kapten Bugis. Sementara anak yang kedua, Raden Tengah tidak termasuk yang disebut dari sembilan anak. Jadi sangat mungkin, bahwa anak Raden Temenggung Wirodiningrat jumlahnya ada dua belas orang.

Selanjutnya disebutkan, bahwa Raden Temenggung Wirodiningrat meninggal di Bengkulu pada bulan Februari 1790. Sementara Raden Sang Nata sendiri mempunyai anak yang bernama R.A. Ratna Setaman yang kemudian menikah dengan Daeng Adimelia.

Tampaknya keluarga elite pribumi keturunan Madura ini sebagian besar telah menjadi pasukan tentara Inggris yang tergabung dalam korps Bugis. Di samping itu, melalui perkawinan antar klan tampaknya semakin memperkuat posisi mereka.

Menurut catatan J. Kathirithamby-Wells dan Mohamed Yusoff Hashim, anak keturunan bangsawan Madura yang bernama Raden Anom Zainal Abidin pada tahun 1810 menikah dengan Puteri Halimah Utama, putri keempat Sultan Khalifatullah Inayat Syah dari Muko-Muko. Oleh karena Raden Anom itu cucu Pangeran Sungai Lemau dan Kapten Bugis Daeng Makulle, maka bertemulah keluarga elite pribumi baik dari keturunan Bugis, Madura, Muko-Muko, maupun Sungai Lemau di Bengkulu... [DI]


Pustaka :
[1] J. Kathirithamby-Wells & Mohamed Yusoff Hashim, op.cit., hlm. 145.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 145-146.
[5] Bahoewa Inila Asal-Oesoel, op.cit., patsal. 39.
[6] Sebagai referensi : Bakri Ilyas, op.cit., hlm. 24-25; Bahoewa Inila Asal -
oesoel, op.cit, patsal. 25-30; H. Delais dan J. Hassan, op.cit., hlm. 48-55.

[7] Het Londonsche Tractaat van 17 Maart 1824, dalam Diverse Stukken : Bijl. 4bl. 287 noot e. Request dd. 6 October 1824 van de Madoereesche radens Mira di Ningrat. Mohamed en Doel Karim aan Resident Prince (B) (Arsip Nasional B : 6/15).

[8] Relaas van de Anachodas Daeng Soepoe en Boegis, Wagens de Staat en Geleegenheid van Bancahoeloe gegeven te Batavia (Arsip Nasional B : 5/6a).



Sumber : http://bangkahoeloe.wordpress.com
Photo Koleksi : KITLV

Share:

Selasa, 22 April 2014

Tradisi To’- Oto’ di Madura

To’-oto’ Sebagai Tindakan Sosial-ekonomi, tujuan dilakukannya kegiatan arisan dalam strata sosial apapun di Indonesia ini memiliki dua tujuan mendasar, yakni mengakrabkan sesama anggotanya dan adanya motif ekonomi. Hanya saja motif mana dari kedua motif tersebut yang lebih dominan pada tiap-tiap kelompok arisan akan berbeda. Demikian pula dengan to’oto’ sebagai kelompok arisan orang Madura di Surabaya. 

Sesuai dengan keberadaan mereka sebaqai kaum pendatang dengan tingkat sosial-ekonomi yanq rata-rata termasuk golongan menengah ke bawah, motivasi didirikannya suatu kelompok to’-oto’ pasti pada mulanya didasari oleh unsur kekerabatan/kesukuan pada saat ini lebih didominasi motif-motif ekonomi.

Pada awal perkembangannya to’-oto’ (yang secara harafiah artinya: kacang, yakni makanan ringan yanq selalu disuguhkan setiap kali diadakan pertemuan kelompok orang-orang Madura) adalah perkumpulan kedaerahan orang-orang dari Sampang dan Banqkalan yang berada di perantauan yang bertujuan untuk menguatkan ikatan kekerabatan dan ikatan persaudaraan antar sesama daerah asal. 

Perkumpulan kedaerahan ini adalah fenomena yang umum didapati pada kaum perantauan dari dan di daerah manapun untuk saling bertukar pengalaman dan berbagai alasan primordial lainnya seperti untuk mempererat kekerabatan dan keakraban sesama perantau dari daerah asal yang sama. Demikianpun dengan to’-oto’ pada saat mulai berdirinya, seperti yanq dikemukakan oleh salah seorang informan (yang kebetulan adalah seoranq ketua kelompok to’- oto’) bahwa ketika pertama kali mendirikan to’-oto’ niatnya adalah mengumpulkan saudara dan sanak famili yang masih satu daerah yang tersebar di wi1ayah Surabaya agar ikatan kekerabatan mereka tidak hilang serta untuk membatasi budaya lain masuk.

Di dalam pertemuan-pertemuan tersebut selain dilakukannya saling tukar pikiran mengenai berbagai hal, saling berbagi perasaan sebagai sesama kaum pendatang di kota serta saling bersilaturahmi, kemudian muncul usulan dari yang hadir untuk saling membantu antar sesama yang hadir dalam masalah ekonomi. Usulan disetujui oleh yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk selanjutnva dikoordinasikan oleh penyelenggara pertemuan. 

Semula sumbangan dari masing-masing yang hadir bersifat sukarela sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk kemudian disimpan oleh koordinator perkumpulan atau orang yang ditunjuk sebagai pemegang uang untuk mencatatnya dalam sebuah buku untuk kemudian diberikan dan atau dipinjamkan kepada angaota kelompok yang paling membutuhkan. Sesudah berjalan cukup lama akhirnya muncul ide agar kegiatan saling membantu ini dilembagakan dalam suatu kegiatan semacam arisan; yakni dengan menentukan batas minimum uang yang disumbangkan sedangkan akumulasi uang sumbangan yang terkumpul diberikan kepada setiap anggota kelompok secara bergiliran berdasarkan prioritas kebutuhan, yakni apabila ada warga yang membutuhkan uang atau untuk kepentingan yang mendesak maka ia dapat giliran memperoleh uang terlebih dahulu.

Waktu pertemuannya pun kemudian disepakati secara periodik dalam jangka waktu tertentu. Demikianlah dari suatu kegiatan sosial yang bersifat informal kemudian berkembang sebagai kegiatan ‘formal’ dalam arti memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama.Dalam perkembangan selanjutnya ketika manfaat ekonomis dari arisan to’-oto’ ini semakin dirasakan para anggota dan semakin populer di kalangan para pendatang, mulailah bermunculan kelompok-kelompok to’-oto’ baru yanq sengaja didirikan oleh orang-perorang maupun oleh kelompok kekerabatan tertentu. 

Dalam konteks ini sifat keangqotaannyapun mengalami perubahan, dari yang semula orang-orang yang masih sekerabat dekat atau sekelompok setane’an menjadi tidak dibatasi oleh hal-hal tersebut Masing-masing orang bisa menentukan sendiri ke kelompok mana ia akan bergabung. Pertimbangan-pertimbangan yang mempengaruhi kecenderungan seseorang, memasuki kelompok to’-oto’ tertentu biasanya adalah figur ketua kelompok to’-oto’ tersebut serta ‘kredibilitas’ kelancaran kelompok tersebut. 

Seorang informal mengatakan :
“… kalau mau ikut to’-oto’ lihat ketuanya dulu. Kalau ketuanya berwibawa, jujur dan bisa mengatur anggotanya maka to’-oto’nya akan maju. Kalau ketuanya sembarangan saja to’oto’nya cepat bubar…”.

Jadi dalam menentukan kelompok mana yang akan dimasuki seorang calon anggota diandaikan telah memiliki rasionalitas tertentu, baik oleh rasionalitas nilai maupun rasionalitas formal-instrumental.

Sebagai suatu bentuk Wolompok arisan, berbeda dengan arisan pada umumnva, to’-oto’ mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut :
  • Kalau pada umumnya arisan-arisan di pulau jawa lebih banyak dikerjakan oleh wanita yang memegang keuangan keluarga, namun pada kelompok to’oto’ beranggotakan para pria yang notabene adalah kepala keluarga.
  • Kalau pada arisan umumnya diperlukan waktu hanya beberapa jam dari Jam pelaksanaannya, maka pada to’-oto’ dibutuhkan waktu hingga dua hari.
  • Dalam hal hidangan makanan dan hiburan, biasanya pada arisan dihidangkan sewaiarnva, tetapi pada kegiatan to’-oto’ dihidangkan dalam berbagai macam makanan dan diundangnya grup-grup kesenian tertentu seperti sandur. 

Hal ini tergantung dari jenis to’-oto’ yang dilaksanakan. Dalam hal ini dibedakan ada 3 (tiga) jenis to’- oto’ yakni : to’-oto’ lit-dulit yang paling sederhana karena tanpa hiburan dan dengan hidangan yang secukupnya sehingaa membutuhkan biaya yang lebih sedikit. Selanjutnva to’-oto’ piringan yang menggunakan hiburan seperti tape recorder, orkes maupun karaoke dan dengan bermacam suguhan yang diletakkan di atas piring dengan demikian membutuhkan biaya yang relatif lebih banyak. 

Sedangkan biaya yang lebih banyak lagi akan dikeluarkan apabila jenis to’-oto’ yang diselenggarakan adalah to’-oto’ sandur karena mengundang grup kesenian khas Madura sandur (seni tayub atau tandhak yang khas Madura. Selain itu dalam to’-oto’ jenis ini juga menghidangkan makanan yang lebih beragam dan dengan prosesi kegiatan yanq lebih rumit dan formal yang ditandai dengan dikenakannya pakaian adat Madura oleh ketua, para pengurusnya dan pengurus kelompok lain yang diundang.
  • Dalam arisan umumnya jumlah iuran anqqota sudah ditentukan nilai nominalnva dan dibayarkan secara rutin sebesar nilai nominal tersebut, sedangkan dalam to’-oto’ meskipun besarnya uang nominal iuran sudah ditentukan tetapi kenyataan yanq ada lebih mirip buwuhan, yakni seorang anggota memberikan uanq di atas nominal uanq vanq diberikan oleh penyolenggara to’-oto’ (tuan rumah) dibanding ketika yang bersangkutan datang ke rumahnya saat dirinya menjadi ‘tuan-rumah’ to’-oto’ pada peri ode yang telah lalu. Kelebihan uang dari jumlah simpanan pokok disebut tumpangan yang bisa dipahami sebagai semacam pinjaman lunak antar anggota yang wajib di kembalikan pada waktunya nanti.
  • Anggota kelompok tertentu bisa berpartisipasi pada kegiatan to’-oto’ yanq diadakan anggota kelompok yang lain, atas selain ketua kelompok dimana ia tergabung secara resmi. Hal ini sering disebut dengan istilah tumpangan antar kelompok. Sehingga ketika ia sendiri menyelenggarakan to’-oto’, orang yang memperoleh tumpangan tadi pada saatnya nanti akan bertandang ke rumahnya untuk membalas tumpangannya tadi, sehingga dengan demikian ia berharap akan momperoleh ‘hasil’ yang lebih banyak lagi yang tidak semata-mata dari kelompoknya.
Besarnya uang yang diterima oleh seorang penvelenggara to’-oto’ berbeda-beda tergantung dari besarnya uang angsuran dan jumlah anggota kelompok serta sering-tidaknya ia mengikuti to’-oto’ kelompok lain. Besarnya iuran pada masing-masing kelompok berbeda berdasarkan kemampuan ekonomi rata-rata anggota kelompok tersebut yang sebelumnya disepakati bersama oleh ketua dan anggotanya. 

Dalam satu periode putaran (yakni sesuai dengan jumlah anggota) jumlah iuran tetap sedangkan besarnya tumpangan bebas dengan nilai minimal sebesar pokok angsuran. Dalam putaran periode berikutnya besarnya iuran pokok bisa ditingkatkan jumlahnya setelah melalui musyawarah anggota. Jumlah anggota kelompok juga bervariasi tergantung sudah lama atau belum kelompok tersebut berdiri serta sejauh mana kredibilitas ketua dan kelompok tersebut di kalangan orang-orang Madura di Surabaya. 

Jumlah anqgota masing-masing kelompok to’-oto’ berkisar antara 20 orang sampai 70 orang. Kelompok yanq anggotanya sedikit (kurang dari 20 orang) biasanva adalali kelompok yanq relatif belum lama berdirinva sedangkan kelompok yang beranggotakan lebih dari 50 anggota biasanya adalah kelompok yang sudah lama bertahan, beberapa di antaranya ada yang sudah berusia 30 tahun.

Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu kelompok serta anggota kelompok lain yang ikut ‘nimbrung’ dalam kelompok tersebut semakin banyak jumlah uang yanq diperoleh anggota yang mengadakan atau mendapat giliran melaksanakan kegiatan to’-oto’. 

Berdasarkan informasi seorang pedagang mebel antik Madura diketahui bahwa besarnya perolehan uang bervariasi mulai dari yang jumlahnya hanya ratusan ribu rupiah sampai puluhan juta rupiah, informasi terakhir dari informan tersebut. disebutkan bahwa kerabatnya pernah memperoleh uang sekitar 60 juta rupiah dalam satu kali pelaksanaan to’-oto’. Uang yang diperoleh tersebut, setelah dikurangi biaya administrasi untuk sekretaris dan bendahara (ketua tidak menerima upah) serta untuk biaya operasional seperti menyewa kursi, sound sistem dan lainnya, akan digunakan untuk berbagai keperluan yang dianggap penting seperti menambah modal usaha dalam berdagang, membangun atau memperbaiki rumah serta berbagai keperluan lain yang dianggap mendesak. 

Dalam beberapa kasus (meskipun jarang) perolehan uang tersebut juga digunakan sebagai ongkos naik haji. Hal yang terakhir ini bisa dipahami sebab memang bagi orang-orang Madura naik haji adalah obsesi umum orang Madura. Bergelar haji berarti memiliki gengsi sosial yang tinggi, yang sekaligus mencerminkan keberhasilan seseorang secara ekonomi, mengingat untuk bisa naik haji dibutuhkan uang yang tidak sedikit.

Berdasarkan informasi dari para anggota dan pengurus to’-oto’, jumlah kelompok yang terdapat di Surabaya saat ini diperkirakan sekitar 77 kelompok to’-oto’ yang tersebar di berbagai wilayah, dengan konsentrasi terutama di wilayah Surabaya Utara yang merupakan kantong-kantong pemukiman kaum pendatang dari Madura. Meskipun demikian karena terdapat anggota kelompok-kelompok tersebut berdomisili serara tersebar di barbagai wilayah Surabaya, maka pelaksanaan kegiatan to’-oto’ juga tersebar di berbagai wilayah tersebut sesuai dengan alamat. anggota yang mendapat giliran.

Berdasarkan observasi diketahui bahwa pada saat ini kegiatan to’-oto’ ini sudah menyebar ke berbagai kota di Jawa Timur seperti Malang dan Madiun, juga didapati di Jogjakarta, di Jakarta bahkan di kota Banjarmasin atau kota-kota lain yang terdapat cukup banyak migran yang borasal dari Sampang dan Bangkalan. Bahkan di Sampang dan Bangkalan pun kegiatan to’-oto’ ini dicoba diintrodusir oleh sebagian warganya, tetapi berdasarkan kesaksian beberapa informan, kegiatan di tempat asal kaum migran ini justru tidak jalan atau tidak lancar sebagaimana halnya kegiatan to’oto’ di daerah rantau... [DI]


Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/
Share:

"Thuk - Thuk" Alat Musik Dari Madura

Thuk-thuk merupakan sebuah peralatan tradisional masyarakat Madura yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang diperlukan untuk memanggil dan mengumpulkan penduduk maupun perangkat-perangkat desa. Thuk-thuk yang ada pada gambar merupakan thuk-thuk yang berasal dari Madura, khususnya daerah Sumenep. Thuk-thuk ini bukanlah bentuk dari thuk-thuk yang asli, akan tetapi merupakan duplikatnya saja. Dibuat di Sumenep pada tahun 1992, milik seorang Budayawan bernama Edi Setiawan.

Pada pembuatan ukiran, maka hasil karya seniman sangat dipengaruhi oleh tempat, situasi dan kondisi dimana seniman itu berada. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila bentuk thuk-thuk asal Sumenep ini dibuat menyerupai bentuk perahu. Hal ini disebabkan karena seniman pembuat thuk-thuk bertempat tinggal dan berasal dari suatu wilayah kepulauan yang sudah tentu kehidupan utama bagi penghuninya adalah kehidupan lautan. Dengan demikian seniman ukir daerah Sumenep, ukirannya juga berkisar pada motif perahu atau yang berkaitan dengan perahu.


Selain berbentuk perahu, thuk-thukjugadihias dengan motif binatang naga. Naga bagi masyarakat Madura mempunyai arti sebagai lambang dari dunia bawah. Selain itu, pada masing-masing ujung badan thuk-thuk diperindah dengan ukiran kepala naga, mulutnya ferbuka lebar sehingga terlihat keempat taringnya yang tajam dan lidahnya yang menjulur keluar. Selain itu, masing-masing kepala naga juga diberi hiasan berupa mahkota dengan motif paruh burung phonix dan sulus daun yang distilir membentuk ekor burung phonix. Selain motif burung phonix, mahkota tersebut juga diperindah dengan motif bunga melati.

Adapun motif burung dan bunga melati bagi masyarakat Madura bukanlah merupakan sembarang motif yang diukir begitu saja oleh pengukirnya, akan tetapi motif tersebut memiliki makna tertentu sebagai filosofi masyarakat Madura. Motif burung khususnya burung phonix bagi masyarakat Madura merupakan motif sebagai lambang kehidupan, kebahagiaan dan lambang burung sorga serta sebagai lambang dari dunia atas. Begitu pula halnya dengan motif bunga melati yang dianggap sebagai

lambang dari sikap bangsa Madura yang cinta terhadap alam semesta dan juga mencerminkan rasa nasionalisme serta sebagai simbol dari keindahan dan romantik.

Bagian badan thuk-thuk diberi hiasan berupa ukiran badan dan ekor naga bersisik, sedangkan pada bagian kaki thuk-thuk, diukir membentuk huruf “M” dan diperindah dengan hiasan berupa kuntum bunga melati. Selain dari itu, bagian kaki juga dihias dengan ukiran dua ekor Kuda Terbang. Motif Kuda Terbang ini merupakan “kebanggaan” bagi masyarakat Sumenep yang disebut juga sebagai Kuda Sembrani.

Fungsi Thuk - Thuk

Thuk-thuk seperti ini biasanya diletakkan pada setiap balai desa, yaitu sebagai kentongan yang berfungsi untuk memudahkan komunikasi antar penduduk dan perangkat-perangkat desa. Selain di balai desa, biasanya di setiap pedukuhan memiliki thuk-thuk atau kentongan yang bentuknya lebih kecil dari bentuk thuk-thuk yang ada di balai desa. Suatu saat apabila desa tersebut kedatangan tamu dan saat itu Kepala Desa tidak berada di tempat, maka thuk-thuk tersebut akan dipukul sehingga mengeluarkan suara yang keras dan nyaring. Bunyi thuk-thuk tadi nantinya akan terdengar ke seluruh lingkungan pedesaan.

Apabila saat itu Kepala Desa sedang berada pada salah satu dukuh, maka perangkat desa yang berada pada dukuh dimana Kepala Desa berada, akan membalas bunyi thuk-thuk dengan memukul thuk-thuk yang ada di dukuhnya. Dengan demikian segera dapat diketahui dimana Kepala Desa berada.


Alat pemukul thuk-thuk juga terbuat dari kayu, dimana bagian umumnya dibalut dengan kain. Untuk menggunakan alat pukul ini, harus dilakukan berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya untuk memanggil Kepala Desa, maka thuk-thuk hanya dipukul sekali saja dan untuk memanggil carik (Sekretaris Desa), maka thuk-thuk dipukul sebanyak dua kali. Dengan demikian wajarlah apabila penduduk dan perangkat-perangkat desa, mengetahui dan paham dengan makna dari jumlah bunyi thuk-thuk yang dipukul.

Terdapat suatu sikap orang Madura terdapat seni ukir dimana di kalangan orang yang mampu (kaya) sangat bangga bila banyak memiliki barang-barang yang berukir. Hal ini desebabkan oleh adanya kesan bahwa niakin banyak barang-barang berukir yang dimiliki seseorang, maka makin kayalah orang tersebut dan akan naiklah statusnya, wibawadan martabatnya dalam masyarakat.

Cara Pembuatan Thuk - Thuk

Adapun kayu yang biasa digunakan untuk membuat thuk-thuk adalah jenis kayu nangka. Jenis kayu nangka sebagai pilihan disebabkan oleh karena jenis kayu nangka dapat menghasilkah suara yang keras dan nyaring.

Cara membuat thuk-thuk sangat memerlukan ketelitian, kesabaran dan ketekunan, oleh karena itu mereka bekerja dengan sangat hati-hati agar dapat menghasilkan thuk-thuk yang sesuai dengan yang dikehendaki.

Cara membuat thuk-thuk, mula-mula kayu bulat besar dipotong sesuai dengan panjang badan thuk-thuk yang dikehendaki, yaitu sekitar 240 Cm. Kemudian kayu besar tersebut dibelah dua sehingga menjadi dua buah papan besar. Kedua papan tersebut lalu diukir secara simetris sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Dalam mengukir, khususnya ukiran Madura kemungkinan lebih banyak dikerjakan dengan palu dan pahat dari pada dengan penyol (pisau pengeruk dan meraut).

Setelah diukir, kedua papan tersebut dibentuk menyerupai bentuk perahu dan kemudian kedua papan di bagian tengahnya dibuat rongga, be gitu pula bagian atasnya dibuat rongga sehingga apabila kedua papan tersebut disatukan (ditemukan), maka bagian dalam dan atas thuk-thuk terdapat rongga sebagai sumber suara. Rongga bagian atas thuk-thuk berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang rongga sekitar 50 Cm dan lebarnya sekitar 3 Cm.

Tahap selanjutnya adalah membuat ukiran kepala naga dengan sistem knock-down atau sistem bongkar pasang. Ukiran kepala naga ini akan dipasang atau diletakkan pada kedua ujung thuk-thuk. Begitu pula bagian kaki thuk-thuk juga dibuat ukiran dengan sistem knock-down atau bongkar pasang.

Setelah semua bagian thuk-thuk selesai dibuat dan diukir, maka tibalah saatnya-pada tahap pemberian warna. Dahulu dalam pemberian warna dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan pewarna alam. Misalnya untuk warna merah diperoleh dari bahan daun jati, warna kuning diperoleh dari buah kunyit dan warna hijau dipetoleh dari daun lamtoro (petai cina).

Saat ini pemberian warna pada thuk-thuk, tidak lagi menggunakan zat pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi telah menggunakan cat.

Pada thuk-thuk terlihat adanya kombinasi pemberian warna berupa warna hijau, kuning keemasan, merah dan hitam. Bagi masyarakat Madura, pemberian warna merah diartikan sebagi lambang keberanian dan warna kuning keemasan diartikan sebagai lambang dari kebesaran, keagungan dan kesempurnaan. Sedangkan warna hitam diartikan sebagai lambang dari kelanggengan, kekekalan, ketenangan dan kemantapan dan warna hijau diartikan sebagi lambang dari kelembutan dan pengharapan... [DI]


Photo Koleksi : Bangkalan Memory



Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu