Senin, 25 Agustus 2014

Ekspedisi Benteng Pulau Karang Jamuang atau Nyamoghen di Bangkalan

Namanya sering disebut-sebut jika ada cuaca buruk. Ya, Pulau Karang Jamuang atau dikenal dengan nama "Nyamoghen" berada di Barat Laut Pulau Madura ini memang sering jadi tempat transit para nelayan tradisional jika terjebak cuaca buruk di perairan Selat Madura. Pulau seluas 4 hektare ini jaraknya sekitar 35 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Perak dan dapat ditempuh menggunakan perahu motor selama 2,5 jam.

Karang Jamuang terletak diambang luar pada posisi 06o-53’-34” Lintang Selatan dan 112o -43’-46” Bujur Timur dengan kedalaman perairan 12 meter LWS. Letaknya yang strategis di mulut pintu masuk Surabaya menyebabkannya memiliki sejarah panjang. Terekam pula jejak-jejak administrator pelabuhan kolonial Belanda di sana berupa puing bangunan mess petugas pemandu pelayaran. 


Tampaknya Pemerintah Belanda memang menganggap penting pulau ini. Buktinya, plengsengan jaman Belanda hingga kini masih berdiri kokoh di sana. Panjangnya hampir 2 kilometer mengelilingi pulau. Ini untuk menjaga agar ombak tidak menggerus pulau tersebut.




Disamping itu di pulau tersebut terdapat sebuah tangkis laut atau break water yang terhubung dengan Tanjung Piring, manakala air laut surut maka tangkis laut atau break water yang disusun seperti domino, meskipun di beberapa titik terdapat kerusakan akibat ulah manusia dan gelombang. Jalan ini hanya tampak pada saat air laut surut sehingga kita bisa berjalan menuju Pulau tersebut tetapi harus ekstra hati-hati karena tangkis tersebut selain ada yang rusak, tangkis tersebut sangat licin.


Di pesisir Utara pulau ini, terdapat 3 bunker pertahanan pantai peninggalan Belanda. Namun sekarang hanya tersisa 1, itupun telah berkarat dan tak terurus.


Semenjak ditinggal Belanda, pulau ini tetap berfungsi sebagai pemandu pelayaran. Sebuah mercusuar dengan ketinggian sekitar 40 meter dibangun di sana bersamaan dengan dibangunnya kantor navigasi untuk panduan kapal-kapal yang ingin masuk ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Gresik, dimana sarana dan Prasarana yang tersedia disana diantaranya perlengkapan komunikasi antara lain :
  1. VHF radio telephone, frequency channel 12, power 25 watt, standby selama 24 jam non stop.
  2. Sebuah kapal pilot type MP I dengan sarana komunikasi VHF radio telephone pada frequency channel 16-12-14, power 10 watt.
  3. Menara suar listrik setinggi 40 meter dengan jarak tampak 21 mill laut.




Sedikitnya ada 10 orang yang tinggal di sana. Seluruhnya bukan penghuni lokal, melainkan petugas pemandu pelayaran dari Dirjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Sehari-harinya mereka bertugas mengoperasikan menara suar dan memandu perjalanan kapal.

Namun di balik fungsinya sebagai pemandu kapal yang lewat Selat Madura, Pulau Karang Jamuang punya pesona lain. Vegetasi dan pasir putihnya cukup menawan dinikmati. Sejumlah burung bangau menjadikan hutan Bakau di sisi Selatan pulau ini sebagai habitatnya. Selain itu tampak pula spesies reptil Biawak yang biasa berjemur di sekitar bunker meriam peninggalan Belanda. Pasirnya yang putih di pesisir Selatan juga terlihat eksotis.

Daya tarik ini ditambah, dimana di perairan Utara Karang Jamuang ini biasanya banyak orang baik dari Bangkalan maupun dari Surabaya yang datang untuk memancing di akhir pekan karena melimpahnya berbagai jenis ikan yang layak dipancing terdapat pula ikan Hiu kecil di sana... [DI]




Photo Koleksi : Bangkalan Memory dan Berbagai Sumber


Share:

Asal Usul Desa Batangan Tanah Merah Bangkalan

Desa Batangan, menurut cerita turun-temurun dari penduduk setempat berasal dari  kata (Bahasa) Madura “Bhethang” yang mempunyai arti Bangkai. Konon jaman dahulu, di Desa Batangan adalah tempatnya para “Blater” atau tokoh masyarakat yang sangat disegani karena ketangguhannya dalam usuran “Charok”. Kata “Charok” sendiri merupakan suatu istilah yang dapat diartikan sebagai suatu penyelesaian masalah melalui kekerasan atau perkelahian menggunakan senjata tajam celurit.

Pada zaman dahulu di Desa Batangan sering terjadi pencurian yang mengakibatkan banyak kerugian harta benda bagi penduduk setempat, khususnya hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi. Kejadian tersebut berlangsung hampir setiap malam, sehingga meresahkan masyarakat. Akhirnya masyarakat berinisiatif untuk menjebak dan menangkap maling tersebut secara ramai-ramai melalui kegiatan ronda malam.


Akhirnya, setiap berjalan beberapa malam penduduk setempat berhasil menangkap gembong pencuri yang meresahkan tersebut. Karena kemarahan dan kebencian yang sangat mendalam dari penduduk setempat, pencuri tersebut dihakimi dengan cara di bunuh dan dimutilasi. Kemudian potongan tubuh tersebut di gantung di suatu pohon besar dan dibiarkan sampai membusuk atau menjadi bangkai (Bhethang) dan akhirnya tinggal tulang belulang.

Berdasarkan kejadian tersebut, muncullah istilah “Abhethangan” atau berbau bangkai. Sehingga akhirnya, penduduk setempat menamakan desa tersebut dengan Disah Bhethangan atau kalau di Indonesiakan menjadi Desa Batangan. Jadi, Desa Batangan dapat diartikan sebagai suatu tempat kejadian pembunuhan secara sadis para penjahat/pencuri dengan cara dimutilasi dan kemudian potongan tubuhnya di gantung sehingga menjadi bangkai dan tinggal tulang-belulangnya saja.


PENINGGALAN SEJARAH

Jejak-jejak sejarah asal-muasal Desa Batangan sampai saat ini masih dapat kita jumpai dan ditemukan di sana, berikut adalah jejak sejarah yang masih kita temukan di sana:

1. Kampong Glugur

Kampong Glugur menurut ceritanya merupakan tempat kejadian perkara pembunuhan dan pemutilasian gembong pencuri yang meresahkan masyarakat dalam cerita di atas. Glugur sendiri berasal dari kata gur-gur atau sisa-sisa. Artinya Kampong Glugur adalah suatu tempat kejadian dan penyimpanan sisa bangkai penjahat/pencuri yang meresahkan masyarakat.

2. Sungai Pancoran

Sungan Pancoran bukan berarti sungai yang memiliki pancuran, tetapi sungai pancoran oleh penduduk setempat diartikan sebagai sungai tempat penghancuran jasad. Pancoran sendiri berasal dari kata “Pa Anchoran” atau tempat penghacuran. Konon di sinilah tempat digantungnya potongan tubuh pencuri yang meresahkan penduduk seperti yang dikisahkan dalam cerita di atas. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sampai saat ini terkadang penduduk setempat, jika malam hari terkadang pernah/sering melihat potongan-potongan tubuh yang masih bergelantungan di pepohonan yang berada di pinggi sungai tersebut. Sehingga sampai saat ini, sungai tersebut masih terkenal angker.

3. Gua atau Saronggeh

Konon menurut cerita yang berkembang Saronggeh adalah tempat penyimpanan tulang-belulang dan bangkai para pencuri yang merupakan anak buah dari gembong pencuri yang tertangkap. Saronggeh sendiri menurut penduduk setempat diartikan sebagai lubang besar dan dalam. Sampai saat ini, kita masih bisa menemukan tempat tersebut, akan tetapi lubang masuknya sekarang sudah mengecil dan hanya bersisa sebagai aliran air atau sumber air. Masih menurut orang tua terdahulu, mulut  Gua atau Saronggeh tersebut cukup besar dan dapat dimasuki oleh orang dan di dalam gua dapat di jumpai tempat mandi (jedding).

Berdasarkan cerita di atas, dapat disimpulkan tentang asal muasal Desa Batangan Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, sebagai berikut:

1. Desa Batangan berasal dari kata “Bhethang” atau “Abhethangan” yang dapat diartikan sebagai suatu tempat kejadian pembunuhan sadis gembong pencuri yang meresahkan masyarakat dengan cara di mutilasi dan kemudian potongan tubuhnya di gantung sehingga menjadi bagkai (Bhetang) dan baunya menyebar ke segala arah (Abhethangan).

2. Jejak-jejak sejarah peninggalan tempat kejadian perkara masih dapat ditemukan sampai saat ini, yaitu: Kampong Glugur atau tempat kejadian perkara dan penyimpanan sisa-sisa (gur-gur) jasad, Sungai Pancoran atau tempat penghancuran (Pa Anchoran) jasad, serta Saronggeh atau lubang besar tempat penguburan jasad.

Cerita di atas merupakan cerita yang diperoleh secara turun-temurun dari penduduk setempat tanpa diketahui kapan kejadiannya dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, jika terdapat cerita yang lebih lengkap dengan disertai dengan waktu kejadian dan para pelakunya dapat dijadikan sebagai tambahan untuk kesempurnaan dari makalah ini. Semoga cerita singkat tentang asal muasal Desa Batangan Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan Madura dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin... [DI]

Sumber : Pembakuan Nama Rupa Bumi Kabupaten bangkalan Tahun 2012
Photo Koleksi : Bangkalan Memory


Share:

Sabtu, 23 Agustus 2014

Peninggalan Hindu Budha di Bangkalan

Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan sebutan Madura barat. Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada alasan geografis. Soalnya, Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung barat Pulau Madura. Dan, sejak dulu, Pulau Madura memang sudah terbagi-bagi. Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan legenda sendiri-sendiri.

Menurut legenda, sejarah Madura barat bermula dari munculnya seorang raja dari Gili Mandangin (sebuah pulau kecil di selat Madura) atau lebih tepatnya di daerah Sampang. Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng, yang masih merupakan putra Majapahit hasil perkawinan dengan putri Islam asal Campa. Lembu Peteng juga seorang santri Sunan Ampel. Dan, Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam pertama di Madura Barat.

Namun dalam perkembangan sejarahnya, ternyata diketahui bahwa sebelum Islam, Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim, yang merupakan yang berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang mengatakan, pada permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk Islam. Dan dia adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari Majapahit.

Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan – temuan arkeologis, baik yang bernafaskan Hindu dan Bhudda. Temuan tersebut ditemukan di Desa Kemoning, berupa sebuah lingga yang memuat inskripsi. Sayangnya, tidak semua baris kalimat dapat terbaca. Dari tujuh baris yang terdapat di lingga tersebut, pada baris pertama tertulis, I Caka 1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis, Cadra Sengala Lombo, Nagara Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5, Bhuwana: 1, Agong: 1) bila dibaca dari belakang, dapat diangkakan menjadi 1151 Caka 1229 M.

Lingga
Temuan lainnya berupa fragmen bangunan kuno, yang merupakan situs candi. Oleh masyarakat setempat dianggap reruntuhan kerajaan kecil. Juga ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan nama Somor Dhaksan, lengkap dengan candhra sengkala memet bergambar dua ekor kuda mengapit raksasa.

Berangkat dari berbagai temuan itulah, diperoleh gambaran bahwa antara tahun 1105 M sampai 1379 M atau setidaknya masa periode Singasari dan Majapahit akhir, terdapat adanya pengaruh Hindu dan Bhudda di Madura barat.

Sementara temuan arkeologis yang menyatakan masa klasik Bangkalan, ditemukan di Desa Patengteng, Kecamatan Modung, berupa sebuah arca Siwa dan sebuah arca laki-laki. Sedang di Desa Dlamba Daja dan Desa Rongderin, Kecamatan Tanah Merah, terdapat beberapa arca, di antaranya adalah arca Dhayani Budha.

Arca Dhayani Budha
Temuan lainnya berupa dua buah arca ditemukan di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di pusat kota Bangkalan. Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan ditemukan bekas Gapura, pintu masuk kraton kuno yang berbahan bata merah.

Arca Siwa
Di samping itu, berbagai temuan yang berbau Siwais juga ditemukan di makam-makam raja Islam yang terdapat di Kecamatan Arosbaya. Arosbaya ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam Oggo Kusumo, Syarif Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen). Pada jarak sekitar 200 meter dari makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan arca Bhirawa berukuran besar.

Arca Ganesha
Arca Bhirawa
Demikian pula dengan temuan arkeologis yang di kompleks Makam Agung Panembahan Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen makam berupa belalai dari batu andesit.

Dengan temuan-temuan benda kuno yang bernafaskan Siwais di makam-makam Islam di daerah Arosbaya itu, memberi petunjuk bahwa Arosbaya pernah menjadi wilayah perkembangan budaya Hindu. Penemuan benda berbau Hindu pada situs-situs Islam tersebut menandakan adanya kontinuitas antara kesucian. Artinya, mandala Hindu dipilih untuk membangun arsitektur Islam.

Arosbaya merupakan pusat perkembangan kebudayaan Hindu di Madura Barat (Bangkalan) semakin kuat dengan temuan berupa bekas pelabuhan yang arsitekturnya bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya sebuah pelabuhan Cina... [DI]


Photo Koleksi : Berbagai Sumber
Share:

Jumat, 22 Agustus 2014

Ekspedisi ke Pulau Pulau Nyamoghan 19 Oktober 1945


Jatuhnya markas Kompeitai ke tangan Pemerintah RI menandai berakhirnya kekuasaan Jepang di Surabaya. Perasaan Lega dan bangga menyelimuti masyarakat Surabaya, karena markas tersebut merupakan simbol kekuasaan dan kekejaman Jepang. Perasaan tersebut sirna ketika mendengar dari nelayan Madura bahwa di Pulau terpencil antara Gresik dan Madura masih terdapat orang dari pasukan Jepang dengan senjata lengkap.


Marine Keamanan Rakyat selanjutnya mengontak pimpinan Jepang yang berada di darat agar pasukannya yang berada di Pulau Nyamukan segera menyerah ke Pemerintah RI.


Pulau Karang Jamuan / Nyamoghan


Pulau Karang Jamuan / Nyamoghan


Ditemani 2 orang perwira Angkatan Laut Jepang, maka berangkatlah Ekspedisi kapal S-115 dan kapal-kapal lainnya dibawah pimpinan Perwira J. Sulamet. Ketika rombongan mendekati pantai, tentara Jepang siap mengadakan perlawanan. Dengan isyarat bendera diberitahukan bahwa diatas kapal terdapat 2 Perwira Jepang yang membawa perintah dari pucuk pimpinan Jepang, sehingga mereka membatalkan perlawanannya. Pertempuranpun dapat dihindari dan dari misi tersebut berhasil ditawan 419 orang Jepang dengan 217 pucuk senjata dari berbagai jenis.


Sumber : Museum Tugu Pahlawan
Photo Koleksi : Cahya Ilahi

Share:

Rabu, 20 Agustus 2014

Rontoknya Dua Pesawat Terbang Belanda



Pada tanggal 4 Agustus 1947, sekitar pukul 06:00 dua pesawat tempur Belanda mengadakan pengintaian ke Kota Bangkalan dan sekitarnya. Setelah berputar-putar lebih dari setengah jam lamanya, lalu ia kembali ke pangkalannya melalui Jaddih ke Selatan dan melewati diatas pertahanan kita di Desa Buluh/Pedeng yang dipimpin Letnan Jamaluddin yang masuk Kompi I dibawah pimpinan Kapten RP. Abdul Fatah dari Batalyon I. Dalam pertahanan itu telah disiagakan 1 pucuk mitraliur 12,7 mm, 2 pucuk pom-pom caliber 20 mm.

Begitu pesawat musuh melintasi pertahanan kita, komando tembak terus diberikan oleh Ruslan sebagai Wakil Komando Seksi. Satu pesawat musuh tertembak jatuh, kurang lebih 300 meter didepan pertahanan kita tepatnya di daerah Telang Kamal, sedang  yang satunya lagi jatuh dilaut Gresik.


Peristiwa Pertempuran pasukan Resimen 35 di Pedeng Socah

Tidak lama kemudian Pesawat Mustang-mustang Belanda dengan formasi zig-zag berputar-putar diatas pertahanan kita sambil menjatuhkan bom-bom dan roket-roket. Kemudian setelah pertempuran berlangsung kurang lebih 20 menit, pesawat-pesawat musuh mengubah formasi, satu persatu menghujani tembakan dengan mitraliurnya, sehingga dipihak kita jatuh beberapa korban, yakni Jalman, Sudirman, Adram, Polidin dan Imran. Sedangkan Sersan Wiromad mederita luka-luka. Pertempuran itu memakan waktu lebih 1 jam.

Satu jam setelah pertempuran diatas, pesawat-pesawat tempur Belanda datang lagi terus menembaki kubu-kubu pertahanan kita, praktis dari kita sudah tidak ada perlawanan lagi, mungkin karena menipisnya persediaan amunisi serta menghindarkan korban lebih banyak.

Pertahanan ditinggalkan sambil membawa korban yang  gugur dan luka-luka ke Rumah Sakit Bangkalan (Rumah Sakit Lama/sekarang Koramil).  Hanya Komandan seksinya sendiri tetap tinggal ditempat (Pedeng) sambil memikirkan senjata-senjata yang tidak mungkin dipindahkan lagi karena berat dan anak buahnya sudah panik serta kendaraan-kendaraan untuk mengangkut ke tempat lain tidak ada. Jalan satu-satunya yang dapat ditempuh adalah mengambil alat-alat yang terpenting dari senjata-senjata itu berikut peluru-pelurunya dibuang ke sumur.


Rumah Sakit Lama/sekarang Koramil tahun 1946

Peristiwa rontoknya dua pesawat terbang Belanda tersebut, benar-benar merupakan suatu yang luar biasa yang telah menimbulkan kebanggaan dan mampu mempertebal semangat juang prajurit, dan meninggalkan kepercayaan rakyat kepada tentaranya

Bangkai pesawat mustang yang jatuh di Telang/Kamal berhasil diketahui sehari setelah pertempuran di Pedeng Socah yakni tanggal 5 Agustus 1947 oleh pihak Belanda. Sedangkan pesawat satunya yang jatuh di perairan Gresik belum diketahui keberadaannya.





Sejak peristiwa rontoknya dua pesawat terbang Belanda tersebut, benar-benar merupakan suatu yang luar biasa yang telah menimbulkan kebanggaan dan mampu mempertebal semangat juang prajurit, dan meninggalkan kepercayaan rakyat kepada tentaranya.

Dan inilah bangkai pesawat belanda yang jatuh di Telang Kamal pada tanggal 4 Agustus 1947.

Untuk memperingati keberhasilan menembak jatuh pesawat Mustang milik Belanda tersebut pada tanggal 1-4 Agustus 1987, maka dibangunlah tugu tetenger di daerah Buluh Atas dan dilakukan Napak Tilas Perjuangan dari Kamal - Klampis, karena di daerah Klampis tersebut terdapat Tugu Peringatan "Perahu Layar" sebagai Tetenger, dimana di daerah tersebut para pejuang diantaranya turut pula Sesepuh Madura Bapak RP. H. Moehammad Noer menyeberang sampai ke Perairan Tuban dan bergabung dengan para pejuang lainnya di Jawa. Sandi untuk pejuang madura dikenal dg sandi "JOKOTOLE" demikian penuturan dari Mbah Mustanirah satu-satunya pejuang Wanita yg turut dalam peristiwa ini..




Monumen Perjuangan masyarakat Madura yang terletak di Desa Bator Kecamatan Klampis Bangkalan ini diresmikan oleh Rahmat Saleh sewaktu menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada tanggal 10 Mei 1990... [DI]



Lukisan Peristiwa Hijrahnya Pasukan Resimen 35 ke Tuban

Monumen Perahu Lajar di Klampis



Sumber :

Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura

Photo Koleksi : KITLV, Cahya Ilahi, Bangkalan Memory



Share:

Sabtu, 16 Agustus 2014

Asal Usul Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan

Dengan perkawinan batin dengan Adipodai (suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan Jokowedi, kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.

Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata–senjata seperti, keris, pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang.

Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya  yaitu Pangeran Adirasa  yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole menerima nasehat–nasehat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang.

Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang  pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.

Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa). Apabila ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasehat–nasehat ia juga mendapat kuda hitam bersayap (Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung Garuda dan sebuah Cemeti dari ayahnya sendiri Adipojay.

Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat rintangan dari penjaga–penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat  dan membawa dua sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya untuk mengambil menantu yang termuda diantara dua sesaudara itu. Dua sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang sesaudara itu diterima oleh Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut mimpinya, karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit.

Setelah mendapat ijin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu ditunjuk sebagai pembantu empu–empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah naninya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat hidup kembali.

Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima saja keputusan Rajanya.

Selang beberapa hari kemudian pesta perkawinan Joko Tole dengan putri Raja bernama Dewi Ratnadi berlangsung di pusat kerajaan dengan begitu meriah. Saat berlangsungnya pesta pernikahan di antara mereka ada yang komentar. Orang-orang yang benci kepada Joko Tole mengatakan, bahwa pengantin yang bersanding itu sangat lucu, karena mempelai putra tampan dan gagah, sementara mempelai putri dalam keadaan buta. Sedangkan orang-orang yang senang kepada Joko Tole mengatakan, bahwa mereka tidak puas, karena jasanya Joko Tole yang begitu besar terhadap kerajaan Majapahit ternyata dinikahkan dengan putrinya yang buta. Dan menurut mereka yang senang kepada Joko Tole. maka komentarnya Joko Tole wajar dan pantas, bila dijodohkan dengan putri raja yang cantik itu.

Setelah pesta pernikahan usai, lalu Joko Tole bersama istrinya minta izin kepada Raja untuk pulang ke Madura, kemudian Raja memberi izin keduanya, sehingga berangkatlah menuju Sumenep yang ada di pulau Madura. Kepergiannya diiringi oleh para prajurit dan para pembantu wanita dari Dewi Ratnadi. Joko Tole menunjukkan kesayangannya ‘kepada’ istrinya sekalipun dalam keadaan buta. Selama dalam perjalanan menuju Sumenep Joko Tole tetap setia buktinya selalu mencarikan buah-buahan untuk istrinya tercinta. Tidak menyangka, bahwa Joko Tole begitu sayang dan setia kepada Dewi Ratnadi, kata istrinya tadi.

Sesampainya disuatu tempat di dekat pantai pulau madura (tepatnya di daerah Socah), isterinya minta ijin untuk mandi, karena ditempat itu tidak ada air, maka seketika itu Joko Tole mengambil tongkat Dewi Ratnadi yang kemudian ditancapkannya ke dalam tanah dan setelah tongkat tersebut dicabut maka langsung keluar air dan menyemprotkan wajah Dewi Ratnadi. Dengan suara keras Dewi Ratnadi teriak “Aaaacchhhh”, sungguh aneh dan ajaib. “Apa benar Dewi?” kata Jokotole kepada istrinya. “Lihatlah kedua mata saya kanda, sekarang dinda bisa melihat kanda Jokotole”.


Dan Jokotole melihat kedua mata istrinya, ternyata memang benar kalau bisa melihat. Perasaan gembira yang luar biasa dirasakan Joko Tole. Keduanya bersyukur atas nikmat yang tidak terduga-duga datangnya. Setelah selesai mandi, maka istrinya bisa berganti pakaian dengan sendirinya, karena sudah bisa melihat. Air bekas tancapan tongkat tersebut akhirnya menjadi sumber air yang sangat jemih dan bersih, sehingga tempat itu sampai sekarang disebut; Soca, artinya mata. Dengan demikian sampai sekarang tempat tersebut dinamakan SOCAH.

Setelah kejadian tersebut, kemudian Jokotole beserta istri tercintanya melanjutkan perjalanannya kembali ke Sumenep dan setiba di Sumenep Joko Tole disambut dengan riang gembira oleh kedua orang tuanya, segenap familinya, bahwa masyarakat setempat, apalagi Joko Tole pulang dengan membawa seorang istri bernama Dewi Ratnadi yang cantik mempesona.. [DI]



Photo Koleksi : Bangkalan Memory



Share:

Minggu, 10 Agustus 2014

Asal mula pembuatan garam di Madura

Pada abad ke-15, tentara Bali datang ke Madura, maksud kedatangannya untuk membalas dendam kepada keturunan Jokotole. Tentara Bali berlabuh di pantai Sumenep. Jokotole telah berhasil menaklukkan raja Blambangan yang pada waktu ia berperang melawan Majapahit. Namun tentara Bali yang menganggap raja Blambangan itu nenek moyangnya, dapat dikalahkan oleh orang Madura. Bala tentara Bali yang masih hidup melarikan diri ke desa Pinggir Papas (Gir Papas, menurut orang Madura). 

Desa ini terletak diantara kota Sumenep dan Kalianget. Kira-kira enam kilometer dari kota Sumenep. Di desa Pinggir Papas inilah bala tentara Bali itu menyerah kepada raja Sumenep, yakni Pangeran Wetan. Oleh Raja Sumenep mereka diampuni dan mendapat tanah untuk membangun desa. Diantara tentara Bali tersebut ada seorang panglima perang, bernama Anggosuto. Panglima perang inilah yang pertama kali mempunyai pikiran untuk membuat garam dari air laut yang dijemur.




Video Pembuatan Garam Madoera di Soemenep


Sesudah dengan cara tersebut terbukti dapat menghasilkan garam untuk keperluan sehari-hari, pembuatan garam berkembang pesat di desa Pinggir Papas. Bahkan lama-kelamaan menjadi sumber penghasilan bagi penduduk desa Pinggir Papas. Sampai saat ini pembuatan garam terus berlangsung di Madura dan telah menjadi pekerjaan tetap bagi masyarakat Pinggir Papas. Untuk memperingati dan mengenang kembali riwayat hidup nenek moyangnya, mereka berziarah ke makam Panglima Anggosuto yang telah dikeramatkan. Dan setiap tahun, yaitu pada bulan Juli dan Agustus, mereka mengadakan upacara peringatan. Upacara peringatan itu disebut NYADAR (upacara tradisional Hindu-Budha yang ada di Madura)... [DI]


Photo Koleksi : KITLV 
Share:

Rabu, 06 Agustus 2014

Makam Sunan Bangkalan atau Raden Jakandar

Raden Jakandar atau lebih dikenal Sunan Bangkalan (Sayyid Al Maghribi) adalah ulama keturunan Keluarga Kerajaan Pajajaran. Dari pernikahannya dengan Dewi Nawangsasi, putri Ki Ageng Tarub, dikaruniai dua orang Putri yaitu Dewi Hisah (Istri Sunan Gunung Jati) dan Dewi Hirah (Istri Sunan Bonang). Makam beliau berada di pinggiran Bangkalan, tepian pantai Ujung Piring.



Dari sumber kitab kecil yang berjudul Tarich al-Auliya susunannya K.H. Bisyri Musthofa Rembang menjelaskan bahwa silsilah para wali di nusantara tidak lepas dari 4 (empat) tokoh besar, antara lain :

1). Sayyid Jamaluddin Husain as-Samarqandiy
2). Raden Arya Galuh Pajajaran
3). Raja Kuntara Cempa Kamboja
4). Prabu Brawijaya V Raja Majapahit

A. Silsilah dari Asmaraqondiy

Sayyid Jamaluddin Husain atau Maulana Muhammad Jumadil Kubro atau Ahmad Syah as-Samarqandiy adalah putra Abdulloh Khon, putra Amir Abdul Malik, putra Sayyid Alwi,, putra Sayyid Ali, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Abdulloh, putra Sayyid Ahmad al-Muhajir al-Faqih al-Muqoddam, putra Sayyid Isa al-Bashriy, putra Sayyid Muhammad ar-Rumiy, putra Sayyid Ali al-’Aridhiy, putra Sayyid Ja’far as-Shodiq, putra Sayyid Muhammad al-Baqir, putra Sayyid Ali Zainul Abidin, putra Sayyid Husain, Putra Kholifah Ali bin Abu Tahlib dengan Sayyidah Fathimah binti Nabi Muhammad SAW.

Dua orang putra dari Sayyid Jamaluddin Husain yang berdakwah di nusantara adalah Maulana Ishaq dan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy.

B. Silsilah dari Jawa

Arya Penanggungan memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Arya Baribin, 2). Arya Teja (Adipati Tuban, dan 3). Ki Ageng Tarub.

Arya Baribin memiliki dua orang anak, yaitu : Raden Ayu Maduretno, dan Raden Jakandar (Sunan Bangkalan Madura).

Arya Teja (Adipati Tuban) memiliki dua orang anak, yaitu : Dewi Candrawati (Diperistri oleh Sunan Ampel), dan Raden Sahur Tumenggung Wilatikta Tuban (Ayahanda Raden Syahid Sunan Kalijaga).

Ki Ageng Tarub memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Dewi Nawang Sih, 2). Dewi Nawang Sasi, dan 3). Dewi Nawang Arum.

Dewi Nawang Sasi menikah dengan Raden Jakandar (Sunan Bangkalan) putra Arya Baribin yang memiliki dua orang anak, yaitu : 1). Dewi Hisah (Istrinya Sayyid Abdul Qodir Sunan Gunung Jati), dan 2). Dewi Hirah (Istrinya Raden Mahdum Ibrohim Sunan Bonang).

Dewi Nawang Arum menikah dengan Raden Sahur Tumenggung Wilatikta putra Arya Teja memiliki dua orang anak, yaitu : Raden Syahid (Sunan Kalijaga), dan Dewi Sari (Istrinya Sunan Ngudung)

C. Silsilah dari Cempa

Raja Kuntara Cempa Kamboja memilki tiga orang anak, yaitu : 1). Dwarawati Murdaningrum (diperistri oleh Prabu Kartawijaya atau Prabu Brawijaya Majapahit), 2). Dewi Candra Wulan (diperistri oleh Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy), dan 3). Raden Cingkara.

D. Keturunan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy

Maulana Malik Ibrohim dengan Dewi Candra Wulan putrinya Raja Cingkara memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Raja Pendita, 2). Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan 3). Siti Zainab.

Raja Pendita Menikah dengan Raden Ayu Madu Retno putrinya Arya Baribin memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Haji Utsman (Sunan Manyuran Mandalika), 2). Utsman Haji (Sunan Ngudung), dan 3). Nyai Gede Tanda.

Raden Rahmat (Sunan Ampel) memiliki dua orng istri, yaitu : Dewi Candrawti putrinya Arya Teja Adipati Tuban, dan Dewi Karimah putrinya Ki Bang Kuning.

Dengan Dewi Candrawati beliau memiliki lima orang anak, yaitu : 
1). Siti Syari’ah (Menikah dengan Haji Utsman Sunan Manyuran), 
2). Siti Muthmainnah (Menikah dengan Sayyid Muhsin Sunan Wilis), 
3). Siti Hafshah (Manikah dengan Sayyid Ahmad al-Yamaniy),
4). Raden Mahdum Ibrohim (Sunan Bonang), dan
5). Raden Qosim (Sunan Derajat Sidayu).

Dan dengan Dewi Karimah beliau memiliki dua putri, yaitu :
1). Dewi Murtasiyah (Menikah dengan Sunan Giri), dan
2). Dewi Murtasimah (Menikah dengan Raden Fatah Sultan Demak).

E. Keturunan Maulana Ishaq bin Sayyid Jamaluddin Husain

Maulana Ishaq berdakwah di daerah Pasai memiliki dua orang anak, yaitu : Sayyid Abdul Qodir (Sunan Gunung Jati Cirebon) dan Dewi Saroh (diperistri oleh Sunan Kalijaga). Kemudian Maulana Ishaq berdakwah ke Blambangan Banyuwangi menikah dengan Dewi Sekar Dadu putrinya Minak Sembuyu Adipati Blambangan memiliki seorang putra yang bernama Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri).

F. Silsilah Perpaduan Antara Asmaraqandiy dengan Jawa dan Cempa

1). Sunan Ngudung (Utsman Haji putra Raja Pendita putra Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy) menikah dengan Dewi Sari putrinya Raden Sahur Tumenggung Wilatikta) memiliki dua orang anak, yaitu : 1). Dewi Sujinah (Istrinya Sunan Muria), dan 2). Raden Amir Haji (Sunan Kudus).

2). Sunan Bonang (Raden Mahdum Ibrohim) putra Sunan Ampel menikah dengan Dewi Hirah putrinya Raden Jakandar memiliki satu orang putri bernama Dewi Ruhil yang menikah dengan Amir Haji Sunan Kudus.

3). Sunan Gunung Jati (Sayyid Abdul Qodir putra Maulana Ishaq) menikah dengan Dewi Hisah putrinya Raden Jakandar memiliki dua orang anak, yaitu : Sayyid Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar Jepara), dan Dewi Shufiyah (Istrinya Raden Qosim Sunan Derajat)

4). Sunan Kalijaga (Raden Syahid) putra Raden Sahur (Tumenggung Wilatikta Tuban dengan Dewi Nawang Arum putrinya Ki Ageng Tarub), Raden Sahur putra Arya Teja (Adipati Tuban), putra Arya Penanggungan, putra Arya Galuh, putra Arya Randu Kuning, putra Arya Metahun, putra Arya Banjaran (Sudara Prabu Mundi Wangi Pajajaran dan sekaligus menjadi patih di kerajaannya), putra Mundi Sari (Pajajaran). Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh putrinya Maulana Ishaq memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Raden Sa’id (Sunan Muria), 2). Dewi Ruqoiyah, dan 3). Dewi Shofiyah

G. Silsilah Keturunan Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Terakhir

Prabu Brawijaya atau Kartawijaya atau Kertabhumi adalah putra dari Raden Suruh (Adipati Majalengka), putra Prabu Mundi Wangi (Raja Pajajaran), putra Mundi Sari, putra Raden Laliyan (Pajajaran), putra Rawis Renggo (Jenggala), dan untuk seterusnya lihat silsilah Raden Arya Galuh.
Prabu Brawijaya memiliki anak banyak sekali, karena di dalam satu riwayat diceritakan bahwa istrinya berjumlah lebih dari 25 orang. Dan adapun anaknya yang dapat disebutkan, maka beberapa diantaranya adalah :

Dari Istri Permaisuri adalah Raden Arya Damar (Adipati Palembang). Dari Istri Dwarawati Murdaningrum putrinya Raja Kuntara Cempa adalah : 
1). Putri Hadiy (Istrinya Adipati Dayaningrat Pengging), 
2). Raden Lembu Peteng (Madura), dan 
3). Raden Gugur.

Dan dari Istri Putri Cempa yang lain keturunan China putrinya Ma Hong Fu (Kyai Batong) adalah Raden Jin Bun atau Raden Hasan atau Raden Fatah (Sultan Demak Bintara)

Dari Istri Ponorogo adalah : Betara Katung dan Adipati Luwanu. Dari Istri Bagelain adalah : Raden Jaran Penoleh (Sampang Madura).

Raden Fatah (Sultan Demak) menikah dengan Dewi Murtasimah putrinya Sunan Ampel memiliki lima orang anak, yaitu :
1). Pangeran Purba
2). Pangeran Trenggana
3). Raden Bagus Sida Kali
4). Raden Kanduruhan
5). Dewi Ratih

JADI KESIMPULANNYA ADALAH :

Raden Ayu Maduretna (istrinya Raja Penditho); Raja Penditho adalah bersaudara dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ratu Maduretno puteri dari Susuhunan Prabu Mangkurat di Solo dan merupakan permaisuri dari R. TUMENGGUNG SURODININGRAT dengan gelaran PANGERAN ADIPATI SETJOADININGRAT/PANEMBAHAN TJAKRAADININGRAT V (Panembahan Sidho Mukti) di Bangkalan...[DI]






Photo Koleksi : Bangkalan Memory


Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu