Senin, 05 September 2016

Asal Usul Nasi Krawu

Saat itu di Madura dikisaran tahun 1960-an masih belum ada yang memasarkan/menjual nasi krawu di Madura, mungkin saja pangsa pasarnya kurang di minati. Konon, seorang yang bernama MUNIMAH yang kerap dapat sebutan Mbuk Mah bermigrasi ke kota Gresik dan mencoba memasarkan NASI KRAWU yang kita kenal selama ini.

Share:

Sabtu, 03 September 2016

Tiga Peristiwa Penting Yang Terjadi di Bangkalan Pada Tahun 1891

Setelah Tjakraningrat IV berhasil di tangkap dan diasingkan di Kaap de Goede Hoop dan Keraton Sembilangan dapat dikuasai oleh Belanda, maka pada tahun 1747 Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Keraton Sembilangan ke Keraton Bangkalan atau tepatnya di daerah Kodim 0829 (sekarang).

Dipilihnya daerah Kodim tersebut selain aksesnya lebih mudah dan juga lebih menguntungkan pihak Belanda karena dekat dengan lokasi Benteng Erpfrins sehingga apabila terjadi pemberontakan-pemberontakan maka dengan mudah bisa diatasi.

Banyak Peristiwa yang tidak semua orang tahu terutama yang terjadi di tahun 1891 sembilan tahun menjelang Abad XIX kalau QT amati dan cermati bersama, sebegitu dahsyatnya peristiwa yang mengguncang Daerah Madura Barat ini. Entah itu secara kebetulan atau memang dengan sengaja ingin meluluh lantakkan bagian Daerah Madura Barat.

Tiga Peristiwa yang terjadi pada tahun 1891 tersebut adalah : 

01.  Dibakarnya atau dihancurkannya Bangunan Kraton di Markas Kodim 0829 Bangkalan yang sekarang ini.

02.  Dibakarnya/dimusnahkannya Kraton Sembilangan.
03.  Dibangunnya Gudang Senjata / ARSENAL di Batoporron.

Khusus nomor 1 dan 2 yang paling menarik karena dengan dibakarnya atau dimusnahkannya kedua Kraton tersebut maka habis sudah peninggalan masa masa kejayaan Dinasty Tjakraningrat ini.


Disamping itu dengan dibakarnya/dimusnahkannya kraton Bangkalan dan Sembilangan yang oleh belanda dianggap "bouwvalling" (tidak dapat didiami karena rusak) maka diganti dengan rumah Kabupaten biasa untuk mempermudah strategi Belanda dalam menghilangkan embel embel Kerajaan di Bangkalan dan akhirnya menggantikannya dengan status Regent dimana belanda dengan mudah mengontrol serta mengendalikan Bangkalan melalui Asisten Resident ini. 

Anggapan bouwvalling disini sebenarnya ditujukan kepada rakyat, apa yang merupakan kebesaran ketika sebelum pemerintahannya dan agar rakyat tidak mengenal lain kebesarannya atau keindahan dari pemerintahannya sendiri. Inilah rupa-rupanya pemerintahan penjajahan. Orang arab bilang “Naudhubilla min dhalik” (mudah-mudahan kita dijauhkan dari pada itu).


Disamping itu untuk memperkuat Wilayah Madura dan sekitarnya maka di tahun itu juga di daerah Kamal tepatnya di Batoporron maka dibangunlah sebuah Gudang Amunisi. Hal tersebut untuk memperkuat Barisan Madura dengan persenjataan dan itupun sampai sekarang masih berfungsi sebagai Kekuatan Cadangan Amunisi Kawasan Wilayah Armada Timur di Indonesia.


Oleh : Indra Bagus Kusuma
Photo Koleksi : Bangkalan Memory

Share:

Jumat, 26 Agustus 2016

Urutan Silsilah Keturunan Keluarga di Madura

Silsilah keluarga sangatlah kita perlukan dan sangat penting bagi kita orang indonesia. Hal ini dikarenakan, kita sebagai bangsa yang bermartabat dan bangsa yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerabat-kerabat kita baik sebelum kita maupun setelah kita. Hal ini didasari oleh budaya bangsa kita yang selalu mengajarkan pentingnya mengenal keluarga-keluarga dekat kita.




Share:

Sabtu, 28 Mei 2016

Sekilas tentang Jaran Kencak

Pada tahun 1806, Raden Tumenggung Sosrodiningrat/ Pangeran Cakraningrat III (Panembahan Siding Kapal) yang berkuasa si Madura Barat Sampang memindahkan sebanyak 250.000 orang sampang madura ke pulau jawa bagian tapal kuda seperti Bondowoso, Situbondo,Lumajang, Jember, Probolinggo, dan Pasuruan. Orang madura yang menjadi punduduk di Lumajang juga menggemari kesenian bernama jaran Kepang ini, karena seokor kuda dengan kostum perang khas pewayangan jawa bertarung berdiri menggunakan dua kaki dengan pawangnya, setelah kemerdekaan republik Indonesia jaran kepang lebih di kenal dengan jaran pencak dan menjadi Jaran Kencak yang dikenal hingga saat ini.

Share:

Minggu, 01 Mei 2016

Sekilas Tentang Peneng atau Plombir di Bangkalan

Peneng mulai diperlakukan di Indonesia sejak tahun 50an, demikian juga di Kota Bangkalan baru diberlakukan pada tahun 60-an. Ketika itu bentuknya masih berupa surat yang harus dibawa disaat bepergian menggunakan sepeda (kalau saat ini mungkin sama dengan STNK kendaraan bermotor). Baru memasuki tahun 70-an sudah berubah menjadi stiker, hal ini dimaksud untuk mempermudah pemeriksaan.

Share:

Selasa, 12 April 2016

Sekilas Tentang Kerkhov van Kertasada Kalianget Sumenep.

Ekspedisi Kertasada Kalianget - Sumenep
Mengungkap Kompleks Pemakaman Belanda Kuno Yang Terlupakan

Suatu saat kami diminta oleh seorang Keluarga di Negeri Seberang untuk menelusuri keberadaan Makam Kuno Belanda di Kertasada Sumenep. Akhirnya kami putuskan untuk aksi pada hari Minggu 3-4-2016.


Share:

Rabu, 06 April 2016

Senin, 28 Maret 2016

Berloberen / Rokat Cahe, Tradisi Masyarakat Saronggi Sumenep

Ritual berloberan/Rokat Cahe juga menjadi bagian tradisi masyarakat Saronggi yang kerap dilakukan pada saat kemarau panjang.Ritual Berloberan yang kali ini dilaksanakan di Desa Langsar Kecamatan Saronggi Sumenep itu, pada prinsipnya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pada musim kemarau seperti ini diturunkan hujan, mengingat wilayah yang cukup gersang ini, adalah tumpuan hidup atas rezeki dari tanah pertanian mereka.


Share:

Jumat, 25 Maret 2016

"Pe sapean", Jajanan Khas madura

Bagi masyarakat Bangkalan, pasti sudah mengenal dengan Jajanan yang bentuknya unik dan sangat khas dengan tradisi di Pulau Madura, ya betul sekali.. jajanan tersebut bernama "Pe Sapean". Pe Sapean merupakan jajanan tradisional yang diolah dan dibuat mirip dengan Sapi Kerap lengkap dengan kelelesnya. 

Jika anda pernah menikmati jajanan ini, berarti anda termasuk orang yang beruntung. Sebab jajanan sejak tahun 70an ini kini mulai jarang kita jumpai. Ketika itu jajanan tersebut sangatlah laris terutama dikalangan anak-anak, karena selain harganya relatif murah, juga bentuknya memang menarik.

Jajanan Pe Sapean memiliki tekstur keras, sehingga kita akan mendapatkan sensasinya kalau kita memakan jajanan tersebut. Jika anda pernah menikmati jajanan ini, berarti anda termasuk orang yang beruntung.



Adapun resep dari Jajanan Pe Sapean ini adalah sebagai berikut :

Bahan : 
Tepung Beras/Tepung Gaplek
Gula Gentong/Gula Merah
Pewarna makanan
Wijen

Cara Membuat :
Tepung Beras dicapur Gula Merah lalu aduk sampai rata, setelah itu kita bentuk menjadi Pe Sapean dan beri warna pada badan sapi atau bagian-bagian yang perlu diwarnai selanjutnya taburi sedikit wijen agar jajanan tersebut lebih menarik. Setelah itu lalu di oven/panasi sehingga Pe Sapean akan menjadi keras. 


Di daerah Bangkalan, jajanan ini sekarang sudah jarang kita temui, meskipun ada hanya didaerah tertentu saja (pasar kesorjan) dan penjualnyapun sekarang sudah tua. Bagaimana pun juga inilah Jajajan Tradisional Khas warisan leluhur kita yang hanya bisa dijumpai di Madura tercinta.
Share:

Minggu, 20 Maret 2016

Asal Usul Desa Banyuajuh Kecamatan Kamal


Pulau madura terdapat wilayah-wilayah atau desa-desa terpencil yang beraneka ragam. Pada masing-masing wilayah atau desa tersebut tentunya memiliki kisah dan cerita yang berbeda-beda antara desa yang satu dengan desa yang lainnya, oleh karena itu kita selayaknya menghormati perbedaan-perbedaan diantara masing-masing desa tersebut dan harus memahami semua perbedaan tersebut agar tidak terjadi kesenjangan sosial diantara desa tersebut.

Desa Banyuajuh berasal dari kata “Banyu” dan  “Ayu”. Dalam Bahasa madura dapat diartikan  “Aeng Raddin”. Jika dalam bahasa Indonesia diartikan air yang jernih, bersih dan juga enak di pandang oleh mata. Awal dari terbentuknya desa Banyuajuh itu bermula pada sebuah desa yang memiliki seorang tokoh ulama yang besar yang bernama KH. Abd Mufid.  Ulama ini berasal dari Desa Kwanyar,  Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Akan tetapi tidak ada yang tahu pasti tanggal berapa tepatnya beliau dilahirkan di desa tersebut.

KH. Abd Mufid ini adalah seorang putra dari KH. Hasan yang juga berasal dari Desa Kwanyar. KH. Abd Mufid merupakan seorang tokoh ulama besar yang sangat disegani oleh para penduduk sekitar karena kepatuhannya kepada Allah SWT. Beliau juga sangatlah ramah pada masyarakat disana.

Desa BANYUAJUH  bermula ketika KH. Abd Mufid sedang bertapa di sebuah gua yang tidak ada penghuninya. Beliau bertapa berhari-hari tanpa makan dan minum. Saat beliau bertapa KH. Abd Mufid ini mendegarkan sebuah bisikan dari teliga beliau bahwa akan ada sumber mata air yang jernih keluar secara alamiah yang akan bisa membantu masyarakat sekitar, saat masyarakatnya sedang dalam kesulitan mendapatkan air.

Setelah beliau mendengarkan bisikan tersebut KH. Abd Mufid merenung dan kemudian bergegas pergi mengelana sampai berhari-hari mencari dan menemukan sebuah petunjuk dan beliau berhenti di sebuah kampung yang menyurut orang-orang kampung tersebut merupakan sebuah kampung yang suci dan tidak ada orang yang berani mengusik di kampung itu oleh sebab itu beliau langsung mengambil potongan bambu dan langsung beliau menancapkannya pada tanah dengan perlahan-lahan.

Seketika itu bambu tersebut langsung keluar air dan mengalir tanpa henti. Air tersebut keluar terus menerus tanpa henti dan air yang muncul tersebut airnya sangatlah bersih dan jernih sehingga beliau mencoba merasakan bagaimana rasanya air tersebut sambil berwudhu di sana.

Karena airnya terus menerus mengalir dari tempat tersebut maka beliau memerintahkan warga-warga sekitar untuk membuatkan bendungan air agar air yang mengalir dapat dimanfaatkan dan di kelola dengan baik supaya nanti ketika pada musim kemarau telah tiba masyarakat disana tidak kekurangan air bersih. Masyarakat sekitar menyebutnya “kolla”.

Kolla itu merupakan sebuah tempat dengan ukuran sekitar kurang lebih 5 x 7 meter dengan bentuk balok karna kolla itu sering dimanfaatkan oleh masyarakat disana. Maka, bendungan tersebut di buat dengan rapi dan dibuat menggunakan batu-batu sekitar dan  di susun tanpa menggunakan alat perekat.

Karena masyarakat di sana berpenduduk sangat banyak maka bendungan air tersebut (kolla) dibuat lebih dari satu agar saat musim kemarau tiba masyarakat tidak saling berebut air. Saat pembuatan kolla tersebut warga saling bergotong royong tanpa ada yang paksaan, karena masyarakat sekitar menyadari bahwa kolla tersebut kepentiangan bersama. Ketika kolla tersebut selesai maka warga sangatlah berterima kasih pada seorang ulama yang namanya KH. Abd Mufid.

Karena dari itu KH. Abd Mufid di segani dan disanjung oleh masyarakat disana, bukan hanya menemukan sumber mata air tersebut, namun masyarakat menyanjung karena beliau patuh kepada Allah SWT dan tidak pernah sekalipun meninggalkan yang namanya sholat, puasa atau pun sholat sunnah.

Dan KH. Abd Mufid memberikannya nama pada kampung tersebut yaitu “DESA BANYU AYU”.  Karena beliau sangatlah patuh pada gusti Allah dan rajin sholat maka masyarakat disana menitipkan putra-putri nya dan menyuruhnya mengaji dan belajar sholat kepada KH. Abd Mufid agar nantinya putra-putrinya dapat menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Beliau sangatlah terhormat sehingga nama beliau terdengar sampai seluruh desa yang ada di Kota Bangkalan oleh karena itu banyaklah orang-orang yang diluar desa tersebut untuk menitipkan putra-putrinya pada KH. Abd Mufid, karena terlalu banyak putra-putri yang dititipkan maka beliau, akhirnya beliau membuatkan pondok pesantren beserta masjid-masjidnya, dan nama pondok pesantren tersebut adalah pondok “Nurul Dzolam”.

Seiring dengan berjalannya waktu  KH. Abd Mufid pun wafat, dengan begitu masyarakat sekitar membuatkan makam khusus yang berada di tepat di tengah-tengah desa Banyu Ayu dan dibuatkannya rumah kuburan.  Karena KH. Abd Mufid wafat para masyarakat disana sangatlah merasa kehilangan dan tidak ada lagi yang akan mengurus desa tersebut beserta pondoknya.  Para masyarakat disana khawatir takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan terjadi pada desa tersebut maka masyarakat meminta pada santri-santri tersebut agar secepatnya menemukan pengganti dari KH. Abd Mufid. Dengan demikian santri tertualah yang menjadi pengurus pondok tersebut karena di anggap yang paling mengerti tentang ajaran islam.

Lama kelamaan nama dari desa Banyu Ayu berubah menjadi “BANYUAJUH”  karena perubahan zaman yang modern di era ini.

Sumber mata air yang ada di desa banyuajuh ini dari dulu hingga saat ini masih tetap mengalirkan air walaupun pada musim kemarau. Pada saat ini air yang mengalir dipercaya  oleh masyarakat sekitar sebagai obat penyembuh segala penyakit.

Apa yang dilakukan KH. Abd Mufid ini, merupakan wujud aksi dalam rangka memberi pertolongan atau bantuan pada sesama manusia agar msyarakat mengerti arti dari sebuah kekompakan dalam sebuah kelompok masyarakat, disatu sisi beliau mengajari agar para penduduk sekitar memahami pentingnya arti kebersamaan.

Dengan demikian, setidak-tidaknya apa yang dilakukan KH. Abd Mufid, merupakan usaha beliau dalam memberikan jalan bagi masyarakat untuk keluar dari krisis kekeringan, yang akhirnya akan memberikan hasil positif bagi diri sendiri maupun orang lain (Idr).


Sumber : 
Pembakuan Nama Rupa Bumi Kabupaten Bangkalan Tahun 2012

Share:

Selasa, 15 Maret 2016

Tradisi Lombe (Kerapan kerbau)

Jika di pulau Madura dikenal dengan Tradisi Kerapan Sapi, pasti kita sudah banyak yang tahu dan pernah menyaksikannya. Tapi saya yakin tidak banyak yang mengetahui salah satu kekayaan budaya asli dari Madura di daerah kepulauan di ujung timur ini. Kecuali jika ada para tretan yang pernah berada di Pulau Kangean.

Lombe Kangean Foto : Doddy Yanuar Aryanto

Yaa.. Lombe adalah tradisi Kerapan Kerbau khas berasal dari Pulau Kangean Madura. Gugusan kepulauan yang masuk wilayah Kabupaten Sumenep ini mempunyai keunikan budaya yang nyaris belum terekspose.

Keunikan dari kerapan kerbau atau LOMBE, jika kerapan sapi menggunakan Joki untuk memacu lari dari sapi-sapi tersebut, maka tidak dengan kerapan kerbau ini. Untuk memacu kecepatan lari dari kerapan kerbau ini menggunakan joki yang menunggang kuda yang ikut berlari mengikuti pasangan kerbau ini.

Inilah kekayaan budaya kita yang belum pernah diekspose sebelumnya. Sebagai tambahan, info dari tretan Kangean bahwa event Lombe ini biasanya akan dilaksanakan pada bulan April. Jika ada penasaran, silakan jelajahi Kangean Madura..
Share:

Selasa, 09 Februari 2016

Melacak Sejarah Agama Islam Di Madura Barat

Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. 

Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang. Sementara di lain cerita, putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal).

Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel. 
Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel. Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.

Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.

Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia lima orang putra, yaitu: 

01. Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; 

02. Kyai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan; 
03. Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen; 
04. Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan 
05. Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran.
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah Beberapa saat sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam bahasa Madura disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.

Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia. 

Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.



Oleh:
Akhmad Rofii Damyati, MA
Share:

Senin, 08 Februari 2016

Asal Usul Desa Keteleng Kecamatan Tragah Bangkalan

Pada zaman dahulu lokasi ini masih berupa hutan yang lebat yang berupa kayu-kayu hutan yang besar-besar, karena kayu-kayu yang besar tadi tidak ada yang menebang sampai sekitar lokasi ini sudah bermunculan pemukiman penduduk, daerah ini belum ada yang berani untuk di jadikan tempat tinggal.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk disekitar hutan ini maka kebutuhan bahan untuk membuat tempat tinggal semakin sulit, dan pada akhirnya masyarakat sekitar mulai berani menebang kayu-kayu besar tadi untuk dijadikan bahan pembuat rumah. Karena jenis kayu yang ada di hutan Ini sangat keras dan berat akhimya warga yang mau menebang mengurungkan niatnya.


Hari bertambah hari, bulan bertambah bulan dan tahun bertambah tahun, akhirnya jumlah penduduk dlsekitar hutan ini semakin bertambah banyak. Demikian juga kebutuhan akan tempat tinggal dan ladang untuk keperluan akan kehidupan mereka sangat dibutuhkan.

Akhirnya semua warga sepakat membabat hutan tersebut untuk dijadikan tempat tinggal dan ladang untuk bercocok tanam. Karena jenis kayu dlhutan ini sangat keras, kuat dan berwama hitam maka setelah dibabat dan menjadi desa dinamakan Desa Keteleng yang dalam bahasa Madura berasal dari kata "Kayu Hitam/Celleng".



Sumber : Pembakuan Nama Rupa Bumi Kabupaten Bangkalan Tahun 2012
Share:

Sabtu, 06 Februari 2016

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu