Selasa, 09 Februari 2016

Melacak Sejarah Agama Islam Di Madura Barat

Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. 

Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang. Sementara di lain cerita, putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal).

Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel. 
Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel. Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.

Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.

Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia lima orang putra, yaitu: 

01. Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; 

02. Kyai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan; 
03. Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen; 
04. Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan 
05. Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran.
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah Beberapa saat sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam bahasa Madura disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.

Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia. 

Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.



Oleh:
Akhmad Rofii Damyati, MA
Share:

Senin, 08 Februari 2016

Asal Usul Desa Keteleng Kecamatan Tragah Bangkalan

Pada zaman dahulu lokasi ini masih berupa hutan yang lebat yang berupa kayu-kayu hutan yang besar-besar, karena kayu-kayu yang besar tadi tidak ada yang menebang sampai sekitar lokasi ini sudah bermunculan pemukiman penduduk, daerah ini belum ada yang berani untuk di jadikan tempat tinggal.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk disekitar hutan ini maka kebutuhan bahan untuk membuat tempat tinggal semakin sulit, dan pada akhirnya masyarakat sekitar mulai berani menebang kayu-kayu besar tadi untuk dijadikan bahan pembuat rumah. Karena jenis kayu yang ada di hutan Ini sangat keras dan berat akhimya warga yang mau menebang mengurungkan niatnya.


Hari bertambah hari, bulan bertambah bulan dan tahun bertambah tahun, akhirnya jumlah penduduk dlsekitar hutan ini semakin bertambah banyak. Demikian juga kebutuhan akan tempat tinggal dan ladang untuk keperluan akan kehidupan mereka sangat dibutuhkan.

Akhirnya semua warga sepakat membabat hutan tersebut untuk dijadikan tempat tinggal dan ladang untuk bercocok tanam. Karena jenis kayu dlhutan ini sangat keras, kuat dan berwama hitam maka setelah dibabat dan menjadi desa dinamakan Desa Keteleng yang dalam bahasa Madura berasal dari kata "Kayu Hitam/Celleng".



Sumber : Pembakuan Nama Rupa Bumi Kabupaten Bangkalan Tahun 2012
Share:

Sabtu, 06 Februari 2016

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu