Sabtu, 29 April 2017

Sejarah Aliansi Militer Madoera dan Belanda

Organisasi militer di Madura dikenal dengan nama Barisan. Barisan (pasukan) keberadaannya diterima dengan hubungan militer antara penguasa Madura dengan Belanda, dan Barisan sendiri berasal dari jasa militer yang disediakan oleh penduduk. Dijadikannya barisan sebagai sebagai suatu institusi khusus dengan maksud untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa kolonial. Sejarah aliansi militer antara Madura dan Belanda dimulai pada tahun-tahun awal Belanda masuk ke Jawa, yang pada saat itu pula kerajaan-kerajaan Madura sedang berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni Mataram. Usaha untuk melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Mataram itu mendapat perlindungan Belanda. Sebagai gantinya, kekuatan-kekuatan militer Madura diminta untuk mendampingan Belanda selama Perang Saudara ke 3 di Jawa (1746-1755), perang melawan Surapati di Jawa Timur (1767), perang melawan Inggris di Batavia dan Ciliwung (1800), Perang Bone (1825) dan yang terpenting Perang Diponegoro (1825-1830).

Share:

Sabtu, 08 April 2017

Struktur Organisasi Kerajaan Bangkalan

Tiap-tiap negara di Madura merupakan organisasi teritorial dan departemental. Divisi kewilayahan merupakan dasar dari struktur negara, namun karena luas Madura sempit tidak memungkinkan birokrasi yang luas. Setiap detail masalah-masalah kenegaraan bermuara ke atas, yakni raja (panembahan). Organisasi produksi, sistem pembayaran upeti, merupakan wilavah kecil tempat berfungsinva organisasi negara. Keberadaan organisasi negara dijaga dan hidup dari organisasi produksi yang diatur lewat pemungutan pajak, dan distribusinya lewat percaton, serta alokasinva lewat pelayanan kerja. Tambahan pula untuk organisasi teritorial dan departemental, paseban, keraton, dan barisan mendapat tempat kbusus dalam organisasi negara, yang langsung dibawah pengawasan panembahan.

Struktur Organisas Kerajaan Bangkalan

ORGANISASI TERITORIAL

Posisi Patih langsung di bawah panembahan. Patih adalah eksekutif senior, adapun panembahan adalah pejabat yang paling berkuasa dan pengawas eksekutif administratif. Tetapi, patih tidak mempunyai urusan dengan distribusi sumber-sumber, yang merupakan wewenang panembahan. Ditetapkan oleh panembahan, patih adalah bawahannya. Dengan adanya tekanan dari. Belanda, posisi patih akhirnya diperkuat. Pada pertengahan abad XIX, misalnya, patih di Bangkalan posisinya ditinggikan menjadi perdana menteri (rijksbestierder), dengan maksud memisahkan panembahan dari birokrasi. Lagipula, patih dijadikan sebagai kepala distrik di Ibukota Bangkalan.

Dalam kapasitasnya sebagai eksekutif senior di "negeri", patih dibantu oleh empat niaka (pejabat) yang mendapat pangkat demang. Sementara itu, dalam pengelolaan Distrik Bangkalan, distrik itu dibagi 13 yurisdiksi mantri kepala kampong, seorang mempunyai pangkat demang dan bertindak sebagai kepala dari para mantri kepala kampong. Di bawah tiap-tiap mantri kepala kampong adalah kepala-kepala desa, dinamakan "penggitik". Penggitik dibantu oleh mantri kebayan (kepala kurir) yang dibantu pula oleh lurah kebayan (kurir). Dua kota yang tidak merupakan ibu kota distrik di Kerajaan Bangkalan, yakni Sampang dan Balega, dikepalai oleh seorang kepala distrik yang disebut "Wedono". Wedono dibantu oleh mantri polisi yang bertindak sebagai penegak hukum dan ketertiban. Wilayah itu dibagi lagi menjadi subdistrik, yang dikepalai oleh "mantri kampong". Organisasi desa dikepalai oleh "kliwon", yang dibantu oleh "apel" yang jumlahnya tergantung pada luas wilayah desa.

Pada tahun 1862 organisasi teritorial seperti itu diberlakukan di seluruh Madura. Kerajaan Bangkalan wilayahnya dibagi menjadi tiga distrik, yakni Distrik Bangkalan, yang dikepalai oleh patih sendiri, dengan 13 kepala kampong, dan 324 desa; Distrik Balega dikepalai oleh Wedono, dengan beberapa mantri kampong, dan 136 desa; dan Distrik Sampang juga dikepalai oleh wiedono, dengan berapa mantri karnpong, dan 171 desa.

Dalam hubungan dengan staf kepegawaian dalam organisasi teritorial, terdapat beberapa fungsionaris yang mempunyai tugas-tugas tertentu, salah satunya yang menjadi satu dengan kantor-kantor distrik, misalnya mantri polisi, mantri pos dan mantri transportasi perahu.

ORGANISASI DEPARTEMENTAL

Divisi departernental terdiri dari gedong negeri, pengadilan keraton, dan penghuIu. Ketiga kantor itu juga diawasi oleh patih. Gedong negeri dikepalai oleh seorang wedono gedong. Kantor administrasi pendapatan negara itu bertugas mengurusi caton, pajak-pajak, dan tugas-tugas lain yang berhubungan dengan perbekalan dan keuangan. Untuk mendayagunakannya, pejabat-pejabat gedong ditempatkan di distrik subdistrik, atau di beberapa pos tertentu. Urusan-urusan peradilan dalam pengadilan peradilan keraton, di Surnenep dinamakan Pengadilan Simodono dan di Bangkalan Pengadilan Keraton. Pengadilan Kraton diketuai oleh Panembahan sendiri atau apabila ia berhalangan maka diganti oleh patih, dengan dibantu sejumlah penghulu dan orang lain yang ditunjuk.

Pada awal abad XIX, otonomi raja-raja pribumi yang berhubungan dengan pengadilan dilucuti oleh Belanda. Penguasa Kolonial meminta agar pengadilan kriminal diambil alih.

Pada tahun 1903 pengadilan kriminal di Bangkalan diambil alih oleh Belanda. Pengadilan Keraton hanya mengurusi perkara-perkara perdata, itupun Belanda masih membatasi kekuasaan Pengadilan Keraton.

Pada tahun 1868, Pengadilan Keraton hanya mempunyai wewenang mengadili masalah-masalah perdata orang Madura yang tidak lebih dari f20.

Kantor Penghulu mengurusi masalah-masalah agama dan masalah-masalah keluarga. Hubungan antara penghulu dan panembahan bersifat langsung daripada hubungan dengan patih. Kantor penghulu pusat ditempatkan di ibu kota, sedangkan kantor-kantor Cabangnya tersebar di distrik-distrik. Kepala penghulu bertindak sebagai pemimpin (imam) di masjid keraton yang letaknya di ibu kota. Di kantor penghulu, seorang kepala penghulu dibantu oleh satu atau dua ajun penghulu. Di kantor-kantor penghulu distrik dikepalai oleh penghulu distrik.

Dalam jajaran hierarki para penghulu, Orang-orangnya diambilkan dari para pemimpin keagamaan tradisional, khususnya dari hatib atau ketib masjid.

Bermacam-macam fungsionaris masjid, misalnya moadsin (modin, bilal) yang mengumandangkan azan dan qamat, dan marbot yang mengurusi air wudu' masjid, mernbersihkan masjid, dan menabuh bedug untuk keperluan salat. Tentu saja, personel-personel di kantor-kantor penghulu agak banyak.

Para Fungsionaris Keagamaan Tahun 1858

Kantor penghulu selain mengorganisasi masalah-masalah keagamaan juga menangani pengadilan agama oleh Belanda dinamakan Priesterraad yang mengurusi peraturan-peraturan perkawinan. Panembahan bertindak sebagai pengawas pengadilan itu, dengan demikian ia merangkap sebagai kepala pengadilan perdata dan agama. Tidak mengherankan, mengingat peranan dan perhatiannya, nama panembahan sering disebut-sebut dalam acara kebaktian di masjid.” Dia juga mengawasi perbendaan maskid, uang yang berasal dari ongkos perkawinan dan perceraian dan mengatur gaji pegawai-pegawai masjid, mengurus uang yang untuk dirinya sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai pengadilan agama, kantor penghulu menempatkan lebe atau modin di tiap-tiap desa.

Pemimpin-pemimpin keagamaan, resmi maupun tidak resmi, jumlahnya banyak dan oleh Belanda mereka itu tampak sebagai pendeta dan memanggil mereka "priest". Di Jawa, Belanda menaruh perhatian khusus terhadap para fungsionaris keagamaan, karena mereka dianggap "fanatik" dan merupakan potensial yang membahayakan kekuasaan kolonial. Tetapi pemimpin-pemimpin keagamaan di Madura dilaporkan memiliki pengaruh yang kecil terhadap penduduk dan tidak memusuhi Belanda, walaupun jumlah mereka besar.

KERATON

Keraton merupakan tempat "Paseban" dimana raja, orang-orang terkemuka dan para pejabat mengadakan pertemuan reguler yang sudah dijadwalkan. Dengan mengambil Bangkalan sebagai contoh lagi, Paseban diatur oleh kepala paseban yang berpangkat Mantri Besar.

Kepala Paseban bertindak sebagai penghubung antara Patih dengan Panembahan, sehingga lingkup aktivitasnya hanya di ibu kota. Paseban mempunyai personel dibawah mantri besar adalah Mantri Kabayan dan dibawah Mantri Kabayan adalah Lurah Kabayan.

Keraton sebagai tempat urusan rumah tangga raja, dilayani oleh pejabat khusus, yaitu Mantri Kraton atau Lurah kraton yang bertindak sebagai pemimpin yang mengepalai semua Mantri lainnya. Para Abdi yang melayani rumah tangga raja diantaranya adalah Mantri Opas (kepala penjaga keamanan), Mantri Kusir (kepala para kusir), Mantri Gamelan (kepala para pemain musik) dan Mantri Wayang (kepala pertunjukan wayang). Tiap-tiap mantri memiliki percaton. Mereka tidak saja melayani Panembahan, tetapi juga melayani keluarga-keluarga raja yang tinggal di istana yang jumlahnya lebih dari 300 orang.

DESA

Desa merupakan suatu unit organisasi produksi dan organisasi negara sekaligus. Dalam hal ini, ada tiiga macam desa yaitu, Desa Daleman, Desa Percaton dan Desa Perdikan.

Desa Daleman adalah desa milik raja karena mendatangkan penghasilan bagi panembahan. Desa Daleman biasanya terdiri dari tanah pertanian yang paling baik. Panembahan mengklaim mempunyai hak milik sepertiga dari hasil semua tanah pertanian di tiap-tiap Desa Daleman, sedangkan selebihnya menjadi hak milik para petani. Pajak hasil bumi yang dikenakan kepada para petani juga sepertiga in natura dari hasil panen. Pajak hasil bumi pada sawah di desa-desa Daleman dinamakan Piakan, satu istilah yang mengacu pada pembagian (piak) sawah menjadi dua yakni sepertiga untuk raja dan selebihnya untuk petani. Orang-orang di Desa Daleman mengerjakan sawah panembahan tanpa diberi apa-apa, mulai dari penanaman sampai waktu panen dan hanya menerima sedikit sekali bagian, yakni seperenam belas sampai seperlima belas dari hasil waktu panen itu. Pada waktu mereka mengantarkan hasil panen itu ke keraton, mereka hanya diberi bibit padi. Para pengolah sawah Daleman, tiga sampai lima orang untuk tiap-tiap Ancing, dibebaskan dari semua pajak. Mereka hanya diwajibkan membayar Obang Dedeg, sebagai pengganti penyerahan dedeg (dedag), sejumlah kira-kira 8 duit per tahun.

Desa Percaton atau Desa Apanage merupakan tulang punggung organisasi negara, sumber-sumber pendapatan panembahan, keluarganya dan para pejabat. Apendiks 6 memperlihatkan distribusi desa-desa di Distrik Sampang (termasuk Desa Daleman dan Desa Perdikan) untuk bermacam-macam pejabat pada tahun 1862. Di Desa Percaton ini, bentuk produksi melalui sistem pembayaran upeti menunjukkan ciri khasnya.

Desa Perdikan atau Desa Independen, seperti halnya Desa Daleman, di organisasi dalam satu sistem pembayaran upeti, tetapi dengan ketetapan-ketetapan khusus. Keistimewaan dari institusi Perdikan ini adalah dalam otonominya. Sistem pembayaran upetinya tidak dimasukkan ke dalam seluruh bagian organisasi kenegaraan dan Desa Perdikan mirip sebuah negara kecil yang mempunyai sistem pembayaran upeti sendiri. Pemegang Desa Perdikan bertindak sebagai tuan di desa itu dan mempunyai hubungan langsung dengan panembahan. Kepala desa dan pejabat-pejabat desa di Desa Perdikan lebih mengabdi kepada pemegang perdikan daripada kepada raja. Status Perdikan, berkenaan dengan peraturan-peraturan pajak, ditetapkan dalam sebuah "Piagem" yang diberikan oleh panembahan kepada pemegang perdikan, yang menyatakan apakah Desa Perdikan tersebut bebas dari semua pajak dan jasa atau hanya salah satu. Itu tidak berarti bahwa rakyat di desa itu dikesampingkan dalam tingkat apapun, kecuali pemegang perdikan sebagai pengganti panembahan di desa. Pemegang perdikan mempunyai peraturan-peraturan pajak seperti pemegang-pemegang percaton. Pajak-pajak non pertanian, seandainya diberi kuasa, juga akan akan dimiliki oleh pemegang perdikan. Jadi hubungan rakyat dengan pemegang perdikan, yang merupakan penguasa di desa itu, tidak terlalu istimewa kecuali bahwa pemiliknya juga di desa itu.

Di Madura, hierarki administratifnya desa dikepalai oleh Kliwon (kelebun, klebun atau penggitik) yang dipilih oleh pemegang apanage atau oleh kepala distrik. Dia berkewajiban mengawasi desa, mengumpulkan pajak-pajak dan setiap dua minggu sekali membuat laporan untuk kepala distrik atau kelapa sub distrik, seperti administrator-administrator desa semuanya. Dalam laporan tersebut disebutkan jumlah peduduk di desa itu.

Dibawah Kliwon adalah Apel, yang biasanya mengawasi unit teritorial desa. Di Sumenep, Apel Perkara sebagai utusan, seperti Kebayan di jawa. Apel Congket bertanggung jawab terhadap vaksinasi anak-anak. Pejabat-pejabat desa lainnya di Sumenep adalah Juru tulis (sekretaris) dan modin (penghulu desa). Jumlah Apel tidak ditentukan tetapi berbeda-beda tergantung dari jumlah penduduk dan luas wilayah desa. Pejabat-pejabat desa diangkat oleh Kliwon dari famili-familinya atau penduduk desa dengan persetujuan kepala distrik. Di Madura, pengatur-pengatur desa di bawah kliwon hanya sedikit, walaupun ada sawah percaton. Birokrasi desa tidak dibantu oleh dewan sesepuh, kenyataannya tidak ditemui lembaga seperti itu di Pulau Madura. Selain itu, beberapa pejabat desa ada yang diangkat untuk tugas-tugas tertentu, tetapi tidak termasuk dalam pemerintahan desa. Di Bangkalan, misalkan Kepala Kampong atau Kepala Patrollah yang bertugas sebagai pengawas penjaga malam (patrol). Kepala Patrol di bayar oleh penduduk desa atau oleh Kliwon sendiri dan di bebaskan dari pelayanan tenaga kerja, tetapi tidak dibebaskan dari pajak-pajak.

Birokrasi desa tidak mengatur kehidupan keagamaan di desa. Masyarakat desa sendiri yang mengatur ibadah zakat dan fitrah (zakat yang diberikan pada akhir bulan puasa), dengan pemimpin-pemimpin agama setempat sebagai Amil. Biasanya kyai yang berperan penting dalam masalah-masalah agama di desa, sedangkan Modin hanya berurusan dengan aspek legal keagamaan.

BARISAN

Organisasi militer di Madura dikenal dengan nama Barisan. Barisan (pasukan) keberadaannya diterima dengan hubungan militer antara penguasa Madura dengan Belanda, dan Barisan sendiri berasal dari jasa militer yang disediakan oleh penduduk. Dijadikannya barisan sebagai sebagai suatu institusi khusus dengan maksud untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa kolonial. Sejarah aliansi militer antara Madura dan Belanda dimulai pada tahun-tahun awal Belanda masuk ke Jawa, yang pada saat itu pula kerajaan-kerajaan Madura sedang berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni Mataram. Usaha untuk melpaskan diri dari pengaruh kekuasaan Mataram itu mendapat perlindungan Belanda. Sebagai gantinya, kekuatan-kekuatan militer Madura diminta untuk mendampingan Belanda selama Perang Saudara ke 3 di Jawa (1746-1755), perang melawan Surapati di Jawa Timur (1767), perang melawan Inggris di Batavia dan Ciliwung (1800), Perang Bone (1825) dan yang terpenting Perang Diponegoro (1825-1830).

Sejarah Barisan dapat dibagi menjadi empat fase. Fase pembentukan yaitu berbarengan dengan periode dengan periode perluasan kekuasaan Belanda di jawa, tahun 1816 sampai 1830. Pada tanggal 1 November 1816 Raja Bangkalan menandatangani kontrak dengan Belanda yang membebaskan Raja Bangkalan dari kewajiban membayar upeti tahunan kepada Belanda, tetapi sebagai gantinya mengirimkan pasukan untuk menjadi tentara kolonial di Jawa. Raja menyediakan 1.000 serdadu yang dikepalai oleh salah seorang keluarga dekat raja. Serdadu-derdadu itu diperbantukan untuk tiga setengah tahun di Jawa dan Madura, tetapi tidak diperbantukan di luar wilayah itu. Mereka dijatah pakaian, setiap bulan menerima gaji f6 dan 40 liter beras dan masih mendapat sedikit bayaran dari raja. Raja Sumenep juga mengadakan kontrak yang sama pada tanggal 4 Oktober 1817 dan menyediakan 1.080 serdadu untuk membantu pasukan kolonial di Surabaya. Kemudian menyusul ditandatangani lagi kontrak oleh Raja Bangkalan untuk mengganti waktu tiga setengah tahun menjadi lima tahun dan jika diperlukan para serdadu itu akan diperbantukan di luar Jawa dan Madura. Gaji bulanan dinaikkan dari 6 gulden menjadi 7,5 Stuiver (ketip).

Fase kedua, 1831-1858 adalah fase pelembagaan secara permanen barisan. Pada tahun 1831 ketiga raja di Madura masih menandatangani kontrak pembebasan pembayaran upeti kepada Belanda untuk tahun-tahun tertentu, sebagai pengganti pembentukan barisan di ketiga kerajaan itu. Raja Bangkalan menandatangani kontrak pada tanggal 17 Agustus dan tidak terkena peraturan mengirim serdadu-serdadu untuk tentara reguler selama dua tahun dan dibebaskan dari upeti sebesar f13.840 setiap tahun selama lima tahun. Raja Sumenep menandatangai kontrak tanggal 30 Agustus dalam bentuk yang sama, yaitu dibebaskan mengirimkan 1.080 serdadu untuk tentara reguler kolonial selama dua tahun dan dibebaskan penuh dari upeti selama lima tahun. Dan kontrak yang sama pula ditandatangani oleh Raja Pamekasan, dia dibebaskan dari upeti tahunan sebesar f7.010 selama lima tahun. Sebagai ganti pembebasan upeti, ketiga raja itu diwajibkan mengurusi barisan mereka.

Pada tahun 1831 kekuatan barisan terdiri dari infantri, pasukan kuda, artileri dan pasukan pioner. Di ketiga kesatuan barisan itu dipekerjakan 95 perwira dan 2.881 serdadu atau seluruhnya 2.976 personel. Sebenarnya kekuatan barisan tidak merata. Struktur dan besar kecilnya personel tergantung pada keadaan.

Struktur Barisan Tahun 1831

Fase ketiga adalah fase eksistensi barisan, dari tahun 1858 sampai 1885, dimulai dengan perombakan barisan di Pamekasan pada tahun 1858. Perombakan itu membawa barisan di bawah pengaturan langsung pemerintah kolonial, dengan kata lain terjadi pergeseran kontrol barisan dari tangan pribumi ke dalam kontrol kolonial secara penuh. Para perwira sekarang digaji dalam bentuk uang tunai, sedangkan serdadu-serdadu dibayar dengan hasil tanah percaton, meskipun diusahakan ke arah standarisasi penghasilan. Perombakan di Sumenep dan Bangkalan memakan waktu dua dasawarsa lebih. Pada tahun 1882 bersamaan dengan introduksi penguasaan langsung di Sumenep, barisan telah dirombah lebih menyerupai infanteri daripada sebuah kekuatan gabungan. Pasukan kuda dan artileri di Sumenep dan Bangkalan, pasukan pionir dan pasukan piekenier di Sumenep di hapuskan. Di Bangkalan perombakan ini selesai pada tahun 1885. Barisan di Sumenep dan di Bangkalan diambil alih langsung dibawah administrasi kolonial. Kemudian pada tahun itu pula Menteri Jajahan menolak usulan untuk menjadikan barisan sebagai tentara reguler batalyon ke-19.

Pada fase terakhir dalam sejarah barisan, dari tahun 1885 sampai akhir kekuasaan Belanda, tidak banyak terlihat perubahan setelah perombakan tahun 1885, kecuali dalam bentuk ikatan antara Belanda dengan barisan, dan dengan beberapa inovasi kecil di bidang administratif.

Daftar kontribusi barisan kepada penguasa kolonial Belanda banyak sekali, dan dianggap oleh Belanda sebagai tanda loyalitas raja-raja dan rakyatnya. Barisan diperbantukan dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di Kepulauan Indonesia seperti Perang Jambi dan Palembang (1833), Perang Padri di Sumatera Barat (1835-1837), Ekspedisi ke Bali (1846, 1848, 1849), Ekspedisi Bone pertama di Sulawesi (1859), Perang Aceh (1837,1875, 1876, 1877, 1886) dan Perang Lombok (1894).

Melalui jasa-jasa mereka, peranan barisan mendapat penghargaan dari kerajaan dan paling tidak dari masyarakat luas. Belanda melihat bahwa kesediaan orang-orang menyambut barisan rupanya karena adanya "semangat keprajuritan" dari orang Madura. Tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan yang mendatangkan penghasilan pokok. Bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan akan berarti pula : pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial. Bagaimanapun jabatan staf biasanya direkrut dari bangsawan, sedangkan jabatab komandan di rekrut dari anak atau keluarga dekat para raja sendiri. (IDR)



Judul Buku : Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura Tahun 1850 - 1940
Pengarang : Prof. Dr. Kuntowijoyo
Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu