Selasa, 22 Desember 2020


 Inna lillahi wa inna ilayhi roji'un

Turut berduka cita atas meninggalnya Admin  Bangkalan Memory

Indra Bagus Kusuma

Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT.. Amiin...

Share:

Sabtu, 02 Maret 2019

Duk-Duk, Musik Ritual di Desa Patengteng, Modung Bangkalan

Bicara tentang musik tentunya bisa membuat perasaan hati kita menjadi sedikit adem ayem dan bisa membuat perasaan kita tenang dan terhibur, tidak terkecuali musik tradisional yang ada di Madura, khususnya di Bangkalan. Dan tentunya perkembangan musik tradisional yang ada di Patenteng Modung Bangkalan ini cukup memberikan warna tersendiri sehingga musik yang diberi nama "Musik Duk-Duk" ini menyajikan nuansa yang berbeda dengan musik yang lainnya.  

Musik Duk-Duk merupakan musik kombinasi beberapa jenis alat musik perkusif yang dimainkan oleh 7 orang pemusik sehingga dapat dipadukan secara harmonis. 

Instrumen musik dibentuk melalui 3 jenis instrumen pokok yang antara lain: 
  • Sepasang Ning-Nong (instrumen logam berpencu sejenis bonang dalam gamelan jawa) yang dibunyikan dengan alat pemukul dari kayu yang ujungnya dibalut karet ban bekas. Relevansi nada dari sepasang instrumen ini tergolong pentatonic dan sangat dekat dengan nada 3 dan 1 laras slendro dalam karawitan jawa;
  • lima buah Kentungan (jawa= kenthongan) dari bahan kayu jati, yang terdiri atas gudug (berukuran paling besar), tingkating, penerus, tung-tung dan tik-tuk (berukuran paling kecil, berfungsi sebagai penjaga beat);
  • Gung (Gong)  berdiameter sekitar 75 cm yang terbuat dari bahan perunggu.

Menurut penuturan narasumber dan beberapa warga setempat, musik Duk-Duk dapat disajikan dalam acara rokat (jawa= ruwatan) desa, waktu pengambilan air dari mata air di luar desa untuk dicampurkan atau dikawinkan dengan mata air asal desa sendiri, hal ini dilakukan dengan harapan agar seluruh desa bisa terhindar dari kekeringan. Acara semacam ini diadakan hanya pada saat menjelang bulan puasa.


Pertunjukan Duk-Duk juga dapat dikategorikan dalam bentuk teater total sebagaimana kecenderungan budaya musik komunal lainnya di Indonesia. Sebab musik ini juga disertai tarian dan juga didalamnya terdapat penceritaan di setiap episodenya. Dahulu, musik mulai dibunyikan untuk memberi semacam tanda atau undangan bagi penonton. Ketika penonton sudah berdatangan maka tarian topeng dan cerita pun mulai disajikan dengan iringan. Dalam konteks tersebut, musik tidak berdiri sebagai sajian yang otonom atau mandiri sebab merupakan kesatuan dengan tari dan sastra. Tarian, dilakukan oleh 2 hingga 5 orang penari yang masing-masing mengenakan topeng memerankan tokoh dan karakter yang berbeda


Terdapat 5 topeng yang meliputi sepasang topeng tokoh satria berwajah warna koneng atau kuning (lelaki dan perempuan), sepasang topeng tokoh pembantu warna putih (abdi atau punakawan), sebuah topeng tokoh raksasa berwarna hijau (butha).

Demikian halnya dengan gerakan pada tari-tari kerakyatan lainnya yang terdapat pada masyarakat di luar pengaruh keraton, gerakan dalam tarian topeng ini juga lebih cenderung sederhana dengan perulangan yang konsisten.

Pada suatu saat tertentu, kontinuitas musik dan gerakan tari dapat membawa penari masuk kedalam keadaan trans. Perbedaan dapat dilihat pada cepat atau lambatnya gerakan yang sesungguhnya reaksi mengikuti atau menyesuaikan tempo permainan musik. Busana yang dikenakan para penari pun bukan busana khusus, melainkan pakaian sehari-hari.Seluruh penari adalah pria, termasuk penari yang memerankan tokoh putri. Hal demikian ini dapat diasumsikan sebagai akibat dari pengaruh Islam, dimana masa dulu kaum hawa memang seringkali kurang mendapat tempat untuk menjadikan seni sebagai wadah aktualisasi diri.

Penceritaan yang dibawakan melalui tarian topeng tak lepas dari kisah-kisah yang populer pada masa Hindu-Budha dulu. Menurut beberapa sumber, keberadaan tari topeng dalam Duk-Duk memang telah lama ada di Madura sebelum kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Kusuma yang berasal dari Sampang sebagai sarana syiar Islam. Sejak masa itulah, kisah-kisah yang dibawakan menjadi banyak berubah mengarah pada kepentingan syiar.

Keberadaan topeng sendiri, yang sesungguhnya merupakan bagian dari budaya totem diperkirakan telah ada pada beberapa abad yang lalu. Keberadaan topeng dalam seni pertunjukan terntu tak lepas dari pengaruh persebaran ajaran Hindu-Budha di nusantara.

Desa Patengteng yang merupakan tempat dimana kesenian Duk-Duk ini hidup, memang memiliki kaitan erat dengan sejarah terjadinya prahara antara kerajaan Daha dan Tumapel (Kediri dan Singasari).

Konon pasukan Tar-Tar yang dikalahkan oleh Majapahit, dipukul mundur dan tercerai-berai.Sebagian dari mereka terdampar sampai di Desa Patengteng yang dulunya bernama Mencai.  

Nama Patengteng, ditengarai sebagai nama yang berasal dari bahasa Cina, yaitu Paiting ting. Penuturan ini juga diperkuat dengan adanya beberapa daerah lain yang juga banyak mempunyai nama dari bahasa Cina seperti Sribun, Botai dan Pankenong. Pecahan kelompok etnis yang menghuni Mencai selanjutnya dikenal sebagai kaum yang bercocok tanam padi dengan menggunakan sumber air yang ada.

Melihat berbagai hal yang melatar-belakangi keberadaan Duk-Duk, pertunjukan tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu yang tertua yang pernah ada di Madura.Sebagai seni ritual, kesederhanaan dan monotonnya sajian Duk-Duk tidak lagi mampu ditangkap, dipahami dan disarikan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, malahan dianggap sebagai sesuatu yang samasekali tak menarik apalagi berharga dimata masyarakat pemiliknya sendiri. Pun semakin terpinggir dan tak mampu bersaing lagi melewati jaman. 

Narasumber: Hj. Ruslan Abdul Gani (pemuka agama), Pak Sahar (tokoh masyarakat dan pembina seni), Sugimin (guru kesenian dan staf Pemda. Kab. Bangkalan), Zoelkarnain Mistortoify (dosen Jurusan Etnomusikologi, Fak. Seni Pertunjukan ISI Surakarta), Hidrochin Sabarudin (Budayawan Bangkalan), serta  beberapa individu lain yang merupakan bagian dari masyarakat desa Patengteng.

Melalui postingan ini, marilah kita tingkatkan kepedulian kita terhadap peninggalan budaya yang ada di Kabupaten Bangkalan, agar jangan sampai musik tradisional "Duk-Duk" ini pudar dan akhirnya hilang dari buka bumi ini karena tidak ada lagi generasi muda yang meneruskannya (Doink)



Sumber : 
~ corpsethnic.wordpress.com
~ liputan6.com
~ patengteng.blogdesa.net
Share:

Jumat, 01 Maret 2019

Sepenggal Cerita Tentang Batik Patengteng Modung Bangkalan

Sebenarnya tidak ada sejarah yang pasti mengenai batik. Namun keindahan batik ini kabarnya sudah ditorehkan sejak 2000 tahun silam di Timur Tengah, Asia Tengah, dan India. 
Di peradaban mesir kuno, teknik membatik digunakan untuk membungkus mumi dengan kain linen. Kain linen ini dilapisi cairan lilin, kemudian digores dengan benda tajam semacam jarum atau pisau untuk menorehkan motifnya. 

Pada Jaman Dinasti Tang (tahun 618-690) di Cina, teknik seperti ini juga sudah dijumpai. Bahkan pada jaman Dinasti Sui (tahun 581-618) teknik ini sudah dipraktekan lho. Karena Cina adalah bangsa pedagang yang berkeliling dunia, teknik ini kemudian menyebar ke banyak benua seperti Asia, Amerika, Afrika, bahkan sampai ke Eropa.

Kemudian para pedagang yang berasal dari India-lah yang membawa teknik ini ke Indonesia. Pada abad ke-6, teknik ini dibawa ke pulau Jawa. Teknik ini kemudian mulai tersebar luas dan dikembangkan oleh masyarakat Jawa.

Berdasarkan Rens Heringa, pada bukunya Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java (1996), batik pertama kali ada di Indonesia sekitar tahun 700an. Diperkenalkan oleh orang India, pada saat Raja Lembu Amiluhur (Jayanegara), yang merupakan raja kerajaan Janggala menikahkan putranya dengan seorang putri India.

Menurut catatan perkembangan batik di Madura, Batik Patèngtèng sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu tepatnya ketika kerajaan Daha dan Tumapel (Kediri dan Singasari) mulai bergolak. Sebagian orang-orang Tumapel maupun Daha yang terpinggirkan mereka mengungsi dengan menyusuri sungai-sungai yang ada diantaranya Sungai Brantas hingga berakhir diujung laut Selat Madura.

Sampai akhirnya menemukan Pulau Madu Oro yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Madura. Pertama kali yang dilihat adalah daerah Patèngtèng dengan kampung Mencay yang juga sebagai tempat pelarian tentara China ketika mereka dikalahkan oleh tentara dari Tumapel maupun Daha. 

Ditempat tersebut mereka beranak Pinak dan membaur dengan masyarakat sekitarnya dengan mengenalkan istilah ambatik. Kata batik berasal dari bahasa Jawa, "ambhatik" dari kata "amba" berarti lebar, luas, kain; dan "titik" berarti titik atau "matik" (kata kerja dalam bahasa Jawa berarti membuat titik) dan kemudian berkembang menjadi istilah batik, yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat titik-titik tertentu pada kain mori.




Batik Patengteng mempunyai peranan penting dalam karya seni batik yang ada di Madura. Menurut penuturan warga setempat, batik Patengteng menjadi contoh bagi para pengrajin batik Madura sehingga  dijadikan acuan dalam pembuatan batik. Warga juga mengungkapkan bahwa dahulu para pengrajin batik terutama di Tangjung Bumi yang sekarang terkenal batiknya, konon mereka belajar batik ke Desa Patengteng sehingga dapat mendapatkan menghasil karya seni yang bagus, bahkan motif yang sangat khas. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, batik Patengteng hanya terdengar ceritanya, karena generasi penerus terutama pengrajin batik patengteng sudah tidak ada lagi yang dapat meneruskannya (memang cukup disayangkan).

Padahal batik Patengteng dulunya terkenal dimana-mana karena menjadikan batik Patengteng sebagai sumber ekonomi bagi warga setempat dalam meningkatkan kesejahteraannya, hal lain disebabkan juga di daerah tersebut dilalui jalur kereta api bahkan menjadi stasiun pemberhentian kereta api waktu itu sehingga batik Patenteng laris manis di pasaran dan bisa meningkatkan perekonomian di Desa tersebut... (IDR)

Share:

Minggu, 24 Februari 2019

Asal Muasal Arca Shiwa di Dusun Mincay Desa Patenteng

Desa Patengteng merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Modung Kabupaten Bangkalan yang perlu mendapatkan perhatian kita semua dalam hal peninggalan sejarah dimana Desa Patengteng berkaitan erat dengan terjadinya prahara antara antara kerajaan Daha dan Tumapel (Kediri dan Singasari).

Menurut informasinya bahwa konon pasukan Tar-Tar setelah dikalahkan oleh Majapahit dan dipukul mundur hingga akhirnya tercerai berai, bahkan sebagian dari mereka ada yang terdampar sampai di Desa Patengteng yang dulunya bernama Mincay. 

Nama Patengteng sendiri diduga sebagai nama yang berasal dari bahasa China, yaitu Paiting ting. Sebaran kelompok etnis yang menghuni Mincay selanjutnya dikenal sebagai kaum yang bercocok tanam padi dengan menggunakan sumber air yang ada. Pasukan Tar-Tar tersebut merupakan sekelompok orang China. 

Selanjutnya orang-orang cina tersebut bermaksud untuk mendirikan sebuah kerajaan kecil didusun Mincay. Lambat laun akhirnya orang China tersebut mulai mendirikan kerajaan. Kepercayaan yang dianut oleh sekelompok orang China tersebut adalah agama Hindu. Mereka mulai membuat sebuah arca yang bentuknya berbeda-beda dan menyerupai dewa. Dalam agama Hindu, Trimurti (atau Tritunggal Hindu) adalah tiga aspek Tuhan yang beraliran Waisnawa yang memuja Wisnu secara khusus.

   


Arca-arca tersebut dipercayai sebagai dewa yang bisa memberikan kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidupnya. Ritual yang dilakukan adalah menyembah arca-arca tersebut dengan maksud berdoa untuk meminta keselamatan dari segala bahaya. Akan tetapi ritual dan tradisi yang dilakukan oleh sekelompok orang China tersebut kurang diterima baik oleh warga setempat dusun Mincay dan beberapa dusun lainnya di Desa Patengteng tersebut. 

Hal ini mengakibatkan masyarakat di dusun Mincay merasa resah dan takut dengan keberadaan sekelompok orang China tersebut yang akan menyebarkan agama Hindu kepada warga di dusun Mincay Desa Patengteng. Warga dusun Mincay yang mayoritas beragama Islam  berusaha untuk membujuk orang-orang China tersebut untuk beralih memeluk agama Islam dan kalau tidak mau maka warga Desa Patengteng akan membunuhnya, namun mereka menolaknya bahkan orang-orang China tersebut malah membunuh warga Dusun Mincay.

Akibatnya masyarakat Dusun Mincay marah dan terjadilah pertumpahan darah di dusun tersebut yang mengakibatkan kedua belah pihak ada yang terluka dan meninggal. Karena jumlah warga Dusun Mincay lebih banyak akhirnya orang China tersebut menyerah, namun sebelum mereka ditangkap mereka berkata "sebelum kami dibunuh, ijinkan kami untuk memeluk arca yang kami sembah terlebih dahulu". Arca yang dimaksud adalah patung emas yang besar yang dipercaya dapat melindunginya dari bahaya. Sebelum dibunuh oleh warga Desa Patengteng, akhirnya orang China tersebut meloncat ke dalam kobaran api yang sangat besar dan akhirnya meninggal.

Proses kematian dengan meloncat ke dalam kobaran api yang besar tersebut dipercayai oleh orang China yang beragama Hindu bahwa mereka akan langsung berengkarnasi setelah meninggal. Tetapi, ada pula sebagian memilih untuk melarikan diri dari Desa Patengteng karena takut akan dibunuh oleh warga setempat.

Di dusun Mincay tersebut banyak ditemukan kuburan orang China yang letaknya dimana-mana. Namun menurut salah penuturan warga Dusun Mincay yang pernah menggali kuburan orang China tersebut ternyata didalamnya tidak terdapat apa-apa (mungkin sudah menjadi tanah karena kejadiannya memang sudah lama sekali). Selain ditemukan beberapa kuburan, juga ditemukan beberapa arca Shiwa yang diduga arca laki-laki, kemudian juga ditemukan sepasang Lingga Yoni dan juga sebuah lumpang (lesung).  



Dahulunya lumpang tersebut dipercaya oleh warga Dusun Mincay dapat memberikan keturunan. Dengan cara pasangan suami istri datang ketempat lumpang tersebut dengan membawa air dan memasukkan air tersebut kedalam lubang lumpang yang ada alu (semacam pemukul). Dari air yang dimasukkan kedalam lumpang tersebut kemudian ditaruh dimangkuk dan diminum dengan berdoa ingin diberi keturunan. Sekarang ini, kebiasaan tersebut sudah tidak dipercayai lagi dan sudah ditinggalkan, meskipun ada juga yang 1 atau 2 orang mempercayainya.

Saat ini ketiga benda bersejarah tersebut masih berada ditempatnya masing-masing yaitu dusun Mincay desa Patengteng meskipun kini kondisinya sudah tidak untuh seperti dahulu lagi. Benda peninggalan tersebut menjadi saksi bisu bahwa di Desa Patengteng khususnya di Dusun Mincay memiliki sebuah sejarah yang cukup menarik untuk digali kebenarannya lebih dalam lagi. 

Dengan ditemukannya benda-benda bersejarah tersebut, sudah seharusnya bagi kita untuk merawat dan menjaga benda tersebut sebagai bentuk kepedulian kita terhadap peninggalan sejarah karena merupakan salah satu cagar budaya di Kabupaten Bangkalan yang harus dilindungi khususnya di Dusun Mincay Desa Patengteng.. (IDR)


Sumber Photo : patengteng.blogdesa.net
Sumber Informasi : Penuturan warga setempat dan media online patengteng.blogdesa.net
Share:

Sabtu, 16 Februari 2019

Memoar Perjuangan Mayor R. Moch. Imbran

Pihak sekutu yang sebagian besar berkomposisi pasukan Inggris, mulai meninggalkan Jawa Timur pada medio 1946. Belanda kemudian mengambil alih pengawasan dari sekutu. Sementara pembersihan mereka gulirkan di sepanjang wilayah Jatim sejak mengambil alih, Pulau Madura belum juga bisa mereka “sentuh”.

Pulau garam ini memang tak punya sumber daya melimpah seperti di berbagai daerah Pulau Jawa lainnya. Tapi buat Belanda, penguasaan Pulau Madura tetap penting artinya, terutama untuk pengawasan rute pelayaran kapal-kapal mereka dari Jawa ke Bali.

Untuk menguasai pulau dengan luas 5.168 km persegi ini dalam genggaman, Belanda melakukan sejumlah upaya gangguan, hingga invasi pendaratan ke pantai barat Madura pada awal Juli 69 tahun lampau. 

Kala itu terjadi perlawanan sengit para kombaten Madura yang tak banyak diketahui khalayak yang terutama awam akan sejarah revolusi.

Sebagaimana dikutip dari "Kronik Revolusi Indonesia I", rongrongan Belanda diawali dengan pengeboman pesawat Belanda terhadap sebuah kapal milik republik, “Kangean” di Selat Madura, 4 Juli 1946.

Kapal penyeberangan itu membawa sejumlah pegawai republik dengan rute pelayaran Surabaya-Madura. Kapal itu dicecar serangan Belanda hingga tenggelam dan dikabarkan hanya dua penumpang yang selamat.

Gangguan Belanda juga memakan korban kapal Indonesia lainnya, di mana kapal penyeberangan “Pamekasan”, ditembaki dan diseret ke Surabaya yang juga terjadi di Selat Madura.

Seperti yang termaktub dari buku ‘Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura’, Hari-H invasi pendarat sekira 300 pasukan akhirnya tiba pada suatu pagi sekira pukul 08.00 WIB di hari Jumat, 5 Juli 1946.

Pendaratan pihak Belanda ke wilayah yang masih termasuk daerah Jawa Timur dengan status karesidenan itu, turut disertai enam tank amfibi dan dengan perlindungan tiga pesawat pemburu P-51 Mustang atau yang populer dikenal dengan sebutan “Cocor Merah”.


Tujuan pendaratan mereka dititikberatkan di Pantai Kamal, Bangkalan, Madura. Pasukan pendaratan Belanda itu sempat memijakkan kakinya ke Pantai Kamal, setelah lebih dulu dilakukan penembakan ke wilayah pantai yang saat itu, dijaga sejumlah pasukan TRI (Tentara Republik Indonesia) dari Seksi I, Kompi IV, Batalion III, Resimen V Madura Barat.

Pasukan itu di bawah komando Letnan R. Mohammad Ramli yang memang ditugaskan Mayor R. Mohammad Imbran untuk mengawal beberapa pos di Pantai Kamal, Dermaga Timur serta Jungrate.

Tiga tank amfibi Belanda yang pertama mendarat mendapat perlawanan sengit, meski regu pimpinan Letnan Ramli hanya bersenjatakan sejumlah senapan laras panjang dan satu pucuk meriam PSU dan senapan mesin kaliber 7,7 mm.


Kalah dalam hal persenjataan, Letnan Ramli memerintahkan anak-anak buahnya untuk mundur. Pun begitu, Letnan Ramli dengan bersenjatakan pistol genggam dan keris, terus melakukan perlawanan heroik hingga gugur di atas sebuah tank amfibi Belanda.

Heroisme lain saat melakukan perlawanan sengit juga dilancarkan Letnan Singosastro, perwira Resimen V TRI Madura lainnya – masih di area Pantai Kamal. Ketika masih berada di tengah tembak-menembak dan kehabisan peluru, Letnan Singosastro turut gugur di tempat akibat sejumlah tembakan serdadu Belanda.

Beruntung, perlawanan regu lainnya di berbagai sektor Pantai Kamal gagal ditembus Belanda dan memukul mundur lagi pasukan musuh ke arah laut. Terpaksa, Belanda menarik mundur sisa pasukannya dan kembali ke Surabaya.

Gagal dengan cara kontak fisik, sehari setelahnya Belanda menawarkan negosiasi. Hal itu disepakati sejumlah tokoh Madura dengan syarat, perundingan tak dilakukan di darat, melainkan di atas kapal dan tanpa senjata.

Belanda diwakili Mayor Smith dan pihak Indonesia didelegasikan Kahar Sosrodanukusumo, R.A. Ruslan Cakraningrat, RAA Sis Tjakraningrat, R. Abdul Rasyid dan Zainal Alim. 
Pihak Belanda menawarkan bantuan pangan untuk rakyat Madura yang saat itu hampir menderita kelaparan akibat blokade ekonomi Belanda. Tapi tawaran itu ditolak mentah-mentah.

Medio Februari 1947, Belanda melakukan invasi kembali dengan jumlah pasukan yang lebih besar dan berhasil menguasai Pulau Madura. Belanda baru angkat kaki setelah mengakui wilayah Republik di Tiga Wilayah, yakni Sumatera, Jawa dan Madura....!!!



Sumber : Perjuangan Mempertahankan Wilayah Madura, Batalyon Jokotole, Catatan kaki Letnan Kolonel Chandra Hasan 1947
Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu