Pada tahun 1891, Kota Bangkalan terus berkembang menjadi besar, menjadi pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura. Bahkan diijinkan untuk mendirikan instansi militer yang disebut “Corps Barisan” dengan berbagai persenjataan semi modern pada waktu itu. Antara lain senjata yang berupa meriam yang disulut dengan api, senjata api laras panjang, bedil dll. Pendek kata pada waktu itu di Bangkalan merupakan Gudang Senjata yang terlengkap, termasuk gudang bahan peledak bagi bala tentara Cakraningrat dan Belanda.
Asal mula bisa diijinkan untuk mendirikan gudang senjata itu dari jasa-jasa baik Pangeran Cakraningrat II, yang bergelar Sultan Bangkalan II pada tahun 1891. pada tahun itu bersama-sama dengan Pemerintah Inggris mengembalikan kekuasaannya di pulau-pulau Nusantara untuk Kompeni Belanda, termasuk Pulau Madura. Karena kelihaian taktik Sultan Bangkalan II mengatur strategi perang, perkembangan kraton Bangkalan pada waktu itu dikhawatirkan oleh kompeni Belanda. Walaupun Pemerintah Inggris ada kerjasama dengan Pemerintah Belanda, jika VOC membutuhkan bantuan bala tentara, persetujuan ijin harus dengan komandan tentara Inggris di Madura.
Yang banyak dimintai bantuan oleh VOC adalah bala tentara Bangkalan untuk memadamkan api pemberontakan di kota-kota lainnya.Seperti pemberontakan Raden Bagus Idum di Cirebon, Perang Bone, Perang Diponegoro, Jambi, Bali, dsb. Dan karena jasa-jasanya Pangeran Cakraningrat II, Kraton Bangkalan khususnya diberikan hadiah oleh Pemerintah Belanda, dengan mengembangkan kota Bangkalan menjadi pusat kota di Madura, serta karena kepercayaan kepada penguasa di Madura Barat, gedung persenjataan didirikan di Bangkalan.
Gudang Amunisi Batuporron Bangkalan |
Beberapa meriam kuno sekarang masih tersimpan, dan terawat rapi di Musium Bangkalan. Setelah 34 yahun Sultan Bangkalan memerintah, maka tahun 1847 beliau wafat dan diganti putranya Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV, dan selanjutnya bergelar Panembahan Cakraningrat VII. Namun sepeninggalnya tahta kerajaan terputus karena tidak menurunkan putera. Hal ini merupakan kesempatan pihak VOC untuk menghapus Kerajaan Bangkalan, dan akhirnya diganti dengan jabatan bupati dibawah kekuasaan langsung Belanda. Niat Belanda untuk menghapus kerajaan-kerajaan di Madura memang sudah lama, sejak melakukan penyerangan di Madura. Hanya pihak Belanda masih mencari jalan bagaimana cara menghapus kerajaan-kerajaan itu.
Sebelum kerajaan Bangkalan dihapus, lebih dulu kerajaan Pamekasan, pada tahun 1858. Kerajaan Sumenep pada tahun 1893, dan yang terakhir adalah Bangkalan pada tahun 1958. Setelah Belanda menghapus seluruh kerajaan yang ada di Madura, selanjutnya mengatur pemerintahan dengan mengangkat orang yang dipandang berjasa, dengan diberinya jabatan Bupati. Aturan Belanda ini memang berusaha mempersulit rakyat setempat, terutama pada anggota keluarga kerajaan. Masalahnya seperti Sampang dan Bangkalan didirikan langsung oleh Belnda dibawah kekuasaan Resimen Madura. Beberapa hektar tanah yang pernah oleh raja dihadiahkan kepada keluarganya, dicabut dan diganti uang ganti rugi.
Kedatangan Belanda tidak hanya bertujuan memperoleh barang-barang perdagangan, akan tetapi sekaligus bertujuan menancapkan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Tujuan-tujuan itu terangkum dalam jiwa dan praktek Imperialisme Kuno.
Kedatangan Belanda pada mulanya diterima dengan baik oleh Bangsa Indonesia di setiap pelabuhan yang dikunjungi, akan tetapi penerimaan yang baik justru dijadikan peluang oleh Belanda untuk memaksakan kehendaknya dalam bidang perniagaan. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika kunjungan kapal-kapal Belanda ke setiap pelabuhan, berakhir dengan pertikaian/permusuhan. Demikianlah, kunjungan 4 kapal Belanda (Amsterdam, Houtman, Soerabaija dan Grissee (Jonge, 1595 – 1610 : 199).
Setelah meninggalkan Sedayu tanggal 3 Desember 1596, kapal-kapal Amsterdam, Mauritius, Houtman dan Kaerel telah berlabuh di pelabuhan Arosbaya pada tanggal 6 Desember 1596. belanda segera mengirimkan utusan menghadap penguasa Arosbaya (Pangeran Tengah). Kedatangan Belanda diterima dengan baik oleh penguasa dan masyarakat Arosbaya. Hal ini terbukti dengan dikirimnya misi persahabatan dari Arosbaya ke kapal yang sedang berlabuh itu. Misi itu terdiri dari Patih Arosbaya (Kyai Ronggo) dan Penghulu Arosbaya (Pangeran Mussarip), yang segera mendatangi ke-4 kapal yang sedang berlabuh. Utusan Arosbaya yang seharusnya naik ke Kapal Mauritius, karena salah paham naik ke Kapal Amsterdam. Namun diluar dugaan, sebelum utusan Arosbaya naik kapal, secara mendadak mereka disambut dengan tembakan gencar. Ada 3 tembakan yang mengenai utusan Arosbaya, sehingga kedua utusan itu gugur.
Insiden penembakan yang terjadi di Kapal Amsterdam itu, menimbulkan pra kontra di kalngan penumpang Kapal Amsterdam. Para anak buah kapal (ABK) menyatakan bahwa utusan Arosbaya itu bermaksud menyerang Kapal Amsterdam, sebagaimana insiden yang terjadi di Sedayu. Sebaliknya para pedagang yang diwakili Van der Does mengatakan bahwa utusan itu tidak bermaksud menyerang, karena dalam perahu masih terdapat seorang wanita dan seorang anak kecil. (Jonge, 1595 – 1610 : 200).
Adapun dalih yang dikemukakan oleh pihak Belanda, peristiwa tanggal 6 Desember 1596 itu telah menimbulkan sikap antipati terhadap bangsa asing (Belanda) di kalangan penguasa dan masyarakat Arosbaya (Madura). Penerimaan yang baik dari Arosbaya (Madura) telah dibalas dengan tindakan yang kejam dari Belanda.
Sikap antipati terhadap bangsa asing (Belanda) telah diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Perwujudan itu nampak pada peristiwa 5 Pebruari 1597, yakni penolakan kedatangan Belanda ke Arosbaya (Madura), meskipun alasannya untuk berniaga beras. Penolakan itu memuncak pada peristiwa penyerangan Kapal Warwijck dan Heemskerck. Banyak anak buah kapal berbangsa Belanda dibunuh dan sebagaian ditawan, termasuk kedua kapal tersebut.
Dengan demikian peristiwa tanggal 6 Desember 1597 telah menjadi inspirasi penguasa dan masyarakat Arosbaya (Madura), sehingga menimbulkan kesadaran, semangat dan dorongan untuk menantang Belanda (penjajah), kesadaran, semangat dan dorongan semacam itu sangat diperlukan dalam menghadapi kaum colonial pada waktu-waktu berikutnya. Berdasarkan sumber-sumber data yang mampu kami peroleh sampai saat ini, tidak/belum ditemukan data tertua yang memberitakan perjuangan rakyat Madura di Arosbaya Bangkalan, dalam menentang penjajah (Belanda). Heroisme orang Madura dalam perjuangan menentang penjajah, untuk pertama kalinya muncul di Arosbaya, yakni tanggal 6 Desember 1596 Masehi... [DI]
Dikutip dari Buku :
Menggali Hari Jadi Bangkalan sejak Periode Pra Islam sampai Cakraningrat IV.
0 Comments:
Posting Komentar