Minggu, 17 November 2013

Perebutan Kekuasaan Gresik dengan Madura

Pada waktu menjelang terjadinya kemelut antara Gresik dan Madura, Bupati Kasepuhan Gresik bernama Joyonegoro (1732-1748) sedang menghadiri undangan ke Kraton Mataram Islam dengan anggota rombongan yang cukup besar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Tjakraningrat IV untuk menduduki Gresik pada tahun 1738 M dengan mengerahkan tentara yang dipimpin oleh Demang Dewa Raga dengan menumpang perahu pada malam hari mendarat di pelabuhan Gresik menuju kota dan berhasil menduduki pendopo 

Kabupaten Gresik dengan menjarah segala yang ada didalam pendopo termasuk istri-istri bupati dan anak Bupati Joyonegoro yang diboyong ke Madura. Selanjutnya Demang Dewa Raga menyatakan dirinya sebagai penguasa Gresik atas nama Tjakraningrat IV maka para sentono (abdi dalem) kabupaten Gresik dipaksa cukur rambutnya dan memakai pakaian adat Madura sebagai tanda tunduk patuh termasuk Kyai Ngabei Puspodirjo, Kyai Ngabei Murtorejo, Kyai Ngabei Surodirjo, Kyai Ngebei Joyodirjo dan Demang Mertojoyo.

Mendengar wilayah kekuasaanya dikuasai oleh orang Madura, maka Bupati Joyonegoro segera kembali ke Gresik bersama Bupati Ponorogo Adipati Suradiningrat, waktu itu Bupati Ponorogo yang juga berada di ibukota Kerajaan Mataram Islam merasa simpati dan memberi bala bantuan tentara pada Gresik, akhirnya sampailah rombongan bupati termasuk para pejabat kabupaten Kyai Ngabei Suronegoro, Kyai Ngabei Astronegoro, Kyai Ngabei Wirodirjo, Kyai Ngabei Ronggopuspoarjo, Kyai Ngabei Yudonegoro, Kyai Ngabei Ronggo Puspowijoyo, Kyai Ngabei Puspotaruno sampai di Kedungsekar (atau Dusun Sekaran). Selanjutnya rombongan menyusun kekuatan dengan membentuk benteng pertahanan di Dusun Ngabetan.

Sekitar satu bulan lamanya Bupati Joyonegoro bertahan di Ngabetan keberadaan benteng ini diketahui oleh Dewa Raga penguasa Madura di Gresik tersebut menyerbu markas Bupati Gresik maka korban berjatuhan tidak dapat dihindarkan dalam pertempuran tidak ada yang mengalah sehingga diadakan gencatan senjata. 

Maka Bupati Joyonegoro dan pasukannya bertahan mundur kembali ke Kedungsekar dan membuat benteng pertahanan di Kedungsekar pula. Sementara itu pihak pasukan Madura membuat persinggahan sementara di Dusun Bogomiring.

Datang balabantuan tentara dari pulau Madura ke Bogomiring setelah merasa kuat meninggalkan benteng pertahanan menuju benteng pertahanan Bupati Joyonegoro di Kedungsekar. Pasukan Gresik yang dibantu pasukan Ponorogo mempertahankan 

Kedungsekar dari serangan tentara Madura. Ternyata pasukan Madura mengalami kesulitan untuk mendekati benteng Kedungsekar karena disekitar benteng adalah areal persawahan ditambah lagi sungai disekitar persawahan mempersulit gerak pasukan Madura. 

Ketika pasukan Madura mencoba mendekat ke Kedungsekar pasukan Gresik dengan mudah menghadangnya, akhirnya pasukan Madura memutuskan untuk mengurungkan niatnya merebut benteng Kedungsekar.

Kabar kegagalan pasukan Madura untuk menghancurkan benteng Kedungsekar ini membuat Tjakraningrat IV marah, maka segera menambah pasukannya namun demikian Joyonegoro dan pasukannya masih terlalu sulit untuk dikalahkan walaupun dengan jumlah pasukan Gresik tidak lebih sedikit dibanding pasukan Madura.

Tjakraningrat IV selanjutnya mengumpulkan para hario dan panji yang terkenal sebagai jawara-jawara perang. Demang Dewa Raga yang semula hanya memantau dari jauh jalannya perang diperintahkan oleh Tjakraningrat IV agar memimpin langsung perang sedangkan pasukan tidak diperkenankan meninggalkan medan perang kecuali 

dalam keadaan sakit dan luka-luka. Para hario dan panji berangkat menuju Kedungsekar namun perang sudah berkobar yang mengakibatkan pasukan Madura kocar-kacir. Terlambat bantuan para jawara ini berpapasan dengan pasukan Madura yang mengotong mayat temannya dan yang sedang terluka. 

Dalam situasi perang ini maka Bupati Joyonegoro menyimpulkan bahwa pasukan Madura tidak akan berani lagi untuk menyerang benteng pertahanan Kedungsekar. Maka Joyonegoro mempersilahkan pasukannya Ponorogo untuk pulang ke daerahnya sedangkan beliau siap-siap menuju Gresik. 

Dalam kondisi persiapan menuju Gresik ternyata pasukan Madura yang dipimpin langsung Demang Dewa Raga beserta para hario dan para panji kembali menyerbu benteng Kedungsekar. Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan namun untuk kesekian kalinya pasukan Madura mundur dari Dusun Kedungsekar.

Bupati Joyonegoro masih menganggap kekuatan pasukan Madura masih sangat kuat untuk dapat dilumpuhkan tentaranya maka Joyonegoro beserta pasukannya yang berada di Kedungsekar itu bertekat untuk mengatur stategi lain dengan meninggalkan benteng menyelusuri arah timur menuju Dusun Pakal (wilayah Kabupaten Surabaya) tidak lama kemudian pindah ke Dusun Sememi.

Selama di Dusun Sememi ini ternyata Bupati Joyonegoro mendapat tawaran dari Kompeni Belanda (VOC) untuk membantunya dalam upaya mengembalikan kekuasaan bupati yang sekarang pendopo sedang diduduki oleh Demang Dewa Raga atas nama Bupati Madura bernama Tjakraningrat IV itu.

Atas tawaran VOC ini maka disambut gembira oleh Bupati Joyonegoro dengan menerima tawaran tersebut. Selanjutnya dilakukan persiapan menggempur pasukan Tjakraningrat IV oleh pasukan koalisi antara Gresik, pasukan Bupati Surabaya dan pasukan Kompeni Belanda.

Mendengar kekuatan Bupati Joyonegoro semakin kuat maka Demang Dewa Raga dan prajuritnya panik sehingga banyak diantaranya yang melarikan diri. Pada situasi yang memprihatinkan ini Tjakraningrat IV mengumpulkan para begal dan bajak laut berjumlah 

sekitar seribu orang untuk diberangkatkan ke Gresik membantu pasukan yang dipimpin Demang Dewa Raga, setelah sampai di alon-alon Gresik mereka berbaur dengan pasukan Madura yang seduh lama bertahan di kota kadipaten Gresik.

Pihak Kompeni Belanda dibawah pimpinan Kolonel Moestich bersama Bupati Surabaya Tumenggung Sosronegoro menyiapkan dua ribu prajurit untuk membantu Bupati Gresik Joyonegoro. Pasukan Surabaya dipimpin oleh Mas Ngabei Prawirosuroyo sedangkan pasukan Kompeni Belanda sebanyak tiga peleton dipimpin oleh Kolonel Moestich.

Pasukan koalisi ini berkumpul di Dusun Sememi selanjutnya bergerak ke arah barat menuju Dusun Gantang terus bergerak ke arah utara hingga di Dusun Cerme Kidul ternyata pergerakan ke arah utara pasukan koalisi ini diketahui oleh pasukan musuh melalui informasi dari telik sandi mereka.

Setelah mengetahui pergerakan pasukan koalisi mengarah ke kota Gresik dari arah selatan maka Demang Dewa Raga menggerakkan pasukannya dari kota Gresik menuju Dusun Jambu arah barat dari Dusun Tambak Beras. Terjadilah pertempuran sengit dimedan pertempuran Dusun Cerme Kidul. 

Situasi pertempuran yang menegangkan ini ditambah lagi dengan pasukan Kompeni Belanda yang dipimpin Kolonel Moestich menembaki pasukan Madura sehingga banyak diantaranya yang berlumuran darah, pertempuran ini berlangsung hingga menjelang malam hari pasukan Madura terdesak terus menerus hingga mundur kembali di Dusun Jambu. 

Dalam situasi menguasai medan perang maka pasukan koalisi mengejar terus pasukan Madura hingga bertahan mundur sampai ke Dusun Kembangan. Dalam situasi panik ini Demang Dewa Raga melaporkan kondisi yang memprihatinkan tersebut kepada atasannya di Madura yaitu Tjakraningrat IV dengan harapan agar berkenan mengirim bantuan lagi pasukan dari Madura.

Sementara menunggu bantuan tentara dari Madura pasukan Dewa Raga diserbu pasukan Koalisi yang sudah sampai di Dusun Kembangan. Dalam penyerbuan ini mengakibatkan Demang Dewa Raga tewas terbunuh sehingga pasukan Madura mundur melarikan dari dari medan perang Kembangan menuju ke alon-alon Gresik yang selanjutnya menuju pelabuhan untuk pulang kembali ke Madura.



Mundurnya pasukan Tjakraningrat IV hingga ke pelabuhan maka pendopo Bupati Gresik kembali ke pangkuan Bupati Joyonegoro, setelah banyak keterlibatan pasukan Kompeni Belanda maka beberapa pejabat penting VOC atau Kompeni Belanda mulai banyak yang berkunjung ke Gresik kota dagang terkenal ini yang telah lama ingin dikunjungi oleh Belanda... [DI]

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu