Selasa, 22 April 2014

"Thuk - Thuk" Alat Musik Dari Madura

Thuk-thuk merupakan sebuah peralatan tradisional masyarakat Madura yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang diperlukan untuk memanggil dan mengumpulkan penduduk maupun perangkat-perangkat desa. Thuk-thuk yang ada pada gambar merupakan thuk-thuk yang berasal dari Madura, khususnya daerah Sumenep. Thuk-thuk ini bukanlah bentuk dari thuk-thuk yang asli, akan tetapi merupakan duplikatnya saja. Dibuat di Sumenep pada tahun 1992, milik seorang Budayawan bernama Edi Setiawan.

Pada pembuatan ukiran, maka hasil karya seniman sangat dipengaruhi oleh tempat, situasi dan kondisi dimana seniman itu berada. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila bentuk thuk-thuk asal Sumenep ini dibuat menyerupai bentuk perahu. Hal ini disebabkan karena seniman pembuat thuk-thuk bertempat tinggal dan berasal dari suatu wilayah kepulauan yang sudah tentu kehidupan utama bagi penghuninya adalah kehidupan lautan. Dengan demikian seniman ukir daerah Sumenep, ukirannya juga berkisar pada motif perahu atau yang berkaitan dengan perahu.


Selain berbentuk perahu, thuk-thukjugadihias dengan motif binatang naga. Naga bagi masyarakat Madura mempunyai arti sebagai lambang dari dunia bawah. Selain itu, pada masing-masing ujung badan thuk-thuk diperindah dengan ukiran kepala naga, mulutnya ferbuka lebar sehingga terlihat keempat taringnya yang tajam dan lidahnya yang menjulur keluar. Selain itu, masing-masing kepala naga juga diberi hiasan berupa mahkota dengan motif paruh burung phonix dan sulus daun yang distilir membentuk ekor burung phonix. Selain motif burung phonix, mahkota tersebut juga diperindah dengan motif bunga melati.

Adapun motif burung dan bunga melati bagi masyarakat Madura bukanlah merupakan sembarang motif yang diukir begitu saja oleh pengukirnya, akan tetapi motif tersebut memiliki makna tertentu sebagai filosofi masyarakat Madura. Motif burung khususnya burung phonix bagi masyarakat Madura merupakan motif sebagai lambang kehidupan, kebahagiaan dan lambang burung sorga serta sebagai lambang dari dunia atas. Begitu pula halnya dengan motif bunga melati yang dianggap sebagai

lambang dari sikap bangsa Madura yang cinta terhadap alam semesta dan juga mencerminkan rasa nasionalisme serta sebagai simbol dari keindahan dan romantik.

Bagian badan thuk-thuk diberi hiasan berupa ukiran badan dan ekor naga bersisik, sedangkan pada bagian kaki thuk-thuk, diukir membentuk huruf “M” dan diperindah dengan hiasan berupa kuntum bunga melati. Selain dari itu, bagian kaki juga dihias dengan ukiran dua ekor Kuda Terbang. Motif Kuda Terbang ini merupakan “kebanggaan” bagi masyarakat Sumenep yang disebut juga sebagai Kuda Sembrani.

Fungsi Thuk - Thuk

Thuk-thuk seperti ini biasanya diletakkan pada setiap balai desa, yaitu sebagai kentongan yang berfungsi untuk memudahkan komunikasi antar penduduk dan perangkat-perangkat desa. Selain di balai desa, biasanya di setiap pedukuhan memiliki thuk-thuk atau kentongan yang bentuknya lebih kecil dari bentuk thuk-thuk yang ada di balai desa. Suatu saat apabila desa tersebut kedatangan tamu dan saat itu Kepala Desa tidak berada di tempat, maka thuk-thuk tersebut akan dipukul sehingga mengeluarkan suara yang keras dan nyaring. Bunyi thuk-thuk tadi nantinya akan terdengar ke seluruh lingkungan pedesaan.

Apabila saat itu Kepala Desa sedang berada pada salah satu dukuh, maka perangkat desa yang berada pada dukuh dimana Kepala Desa berada, akan membalas bunyi thuk-thuk dengan memukul thuk-thuk yang ada di dukuhnya. Dengan demikian segera dapat diketahui dimana Kepala Desa berada.


Alat pemukul thuk-thuk juga terbuat dari kayu, dimana bagian umumnya dibalut dengan kain. Untuk menggunakan alat pukul ini, harus dilakukan berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya untuk memanggil Kepala Desa, maka thuk-thuk hanya dipukul sekali saja dan untuk memanggil carik (Sekretaris Desa), maka thuk-thuk dipukul sebanyak dua kali. Dengan demikian wajarlah apabila penduduk dan perangkat-perangkat desa, mengetahui dan paham dengan makna dari jumlah bunyi thuk-thuk yang dipukul.

Terdapat suatu sikap orang Madura terdapat seni ukir dimana di kalangan orang yang mampu (kaya) sangat bangga bila banyak memiliki barang-barang yang berukir. Hal ini desebabkan oleh adanya kesan bahwa niakin banyak barang-barang berukir yang dimiliki seseorang, maka makin kayalah orang tersebut dan akan naiklah statusnya, wibawadan martabatnya dalam masyarakat.

Cara Pembuatan Thuk - Thuk

Adapun kayu yang biasa digunakan untuk membuat thuk-thuk adalah jenis kayu nangka. Jenis kayu nangka sebagai pilihan disebabkan oleh karena jenis kayu nangka dapat menghasilkah suara yang keras dan nyaring.

Cara membuat thuk-thuk sangat memerlukan ketelitian, kesabaran dan ketekunan, oleh karena itu mereka bekerja dengan sangat hati-hati agar dapat menghasilkan thuk-thuk yang sesuai dengan yang dikehendaki.

Cara membuat thuk-thuk, mula-mula kayu bulat besar dipotong sesuai dengan panjang badan thuk-thuk yang dikehendaki, yaitu sekitar 240 Cm. Kemudian kayu besar tersebut dibelah dua sehingga menjadi dua buah papan besar. Kedua papan tersebut lalu diukir secara simetris sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Dalam mengukir, khususnya ukiran Madura kemungkinan lebih banyak dikerjakan dengan palu dan pahat dari pada dengan penyol (pisau pengeruk dan meraut).

Setelah diukir, kedua papan tersebut dibentuk menyerupai bentuk perahu dan kemudian kedua papan di bagian tengahnya dibuat rongga, be gitu pula bagian atasnya dibuat rongga sehingga apabila kedua papan tersebut disatukan (ditemukan), maka bagian dalam dan atas thuk-thuk terdapat rongga sebagai sumber suara. Rongga bagian atas thuk-thuk berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang rongga sekitar 50 Cm dan lebarnya sekitar 3 Cm.

Tahap selanjutnya adalah membuat ukiran kepala naga dengan sistem knock-down atau sistem bongkar pasang. Ukiran kepala naga ini akan dipasang atau diletakkan pada kedua ujung thuk-thuk. Begitu pula bagian kaki thuk-thuk juga dibuat ukiran dengan sistem knock-down atau bongkar pasang.

Setelah semua bagian thuk-thuk selesai dibuat dan diukir, maka tibalah saatnya-pada tahap pemberian warna. Dahulu dalam pemberian warna dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan pewarna alam. Misalnya untuk warna merah diperoleh dari bahan daun jati, warna kuning diperoleh dari buah kunyit dan warna hijau dipetoleh dari daun lamtoro (petai cina).

Saat ini pemberian warna pada thuk-thuk, tidak lagi menggunakan zat pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi telah menggunakan cat.

Pada thuk-thuk terlihat adanya kombinasi pemberian warna berupa warna hijau, kuning keemasan, merah dan hitam. Bagi masyarakat Madura, pemberian warna merah diartikan sebagi lambang keberanian dan warna kuning keemasan diartikan sebagai lambang dari kebesaran, keagungan dan kesempurnaan. Sedangkan warna hitam diartikan sebagai lambang dari kelanggengan, kekekalan, ketenangan dan kemantapan dan warna hijau diartikan sebagi lambang dari kelembutan dan pengharapan... [DI]


Photo Koleksi : Bangkalan Memory



Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu