Ke' Lesap menurut cerita
orang di Madura adalah putera dari Panembahan Tjakraningrat V dengan istri
seorang selir pada masa beliau masih belum dikawinkan resmi dengan isteri
Padminja. Didalam kalangan resmi ia
tidak diakui dan dipanggil orang dengan nama Lasap saja. Oleh ibunya ia diberi
tahu siapakah ayahnya. Ia senang bertapa digunung-gunung dan dikuburan-kuburan
yang menjadi pepunden orang. Kemudian ia bertapa ke Gunung Geger di Kecamatan
Geger di Bangkalan.
Dari pertapaannya itu, ia
tersohor menjadi tabib (sebenarnya dukun biasa saja) yang manjur. Diceritakan
tentang kemanjurannya, bahwa ia tidak
hanya dapat menyembuhkan penyakit-penyakit, akan tetapi dapat pula
memperlihatkan senjata-senjata yang merupakan senjata yang ampuh dan sakti.
Setelah hal tesebut
terdengar oleh Raja di Bangkalan, maka ia dipanggil ke Kota Bangkalan dan oleh
raja diberi rumah di dfesa Padjagan (kota Bangkalan) dan diperkenankan terus
memberikan pengobatan kepada orang-orang sakit yang meminta obat kepadanya,
sedang ia diberi penghasilan oleh Raja berupa tanah sawah yang boleh ia ambil
hasilnya dan diberinya pula ijin untuk memerintah beberapa soma untuk melayani
kebutuhannya sehari-hari.
Walaupun ia telah
mendapat kehormatan tersebut dari raja, ia masih tetap tidak puas, karena ia
punya keinginan yang sebenarnya untuk memerintah negara merdeka dengan tidak
ada gangguan dari siapapun. Maka suatu malam ia keluar dari rumahnya dan
melarikan diri menuju arah Timur sehingga akhirnya tiba di suatu goa di gunung
yang sekarang disebut Gunung Pajudan didaerah Kawedanan Guluk-Guluk Kabupaten
Sumenep dekat desa Batuampar Sumenep. Disanalah ia hidup sebagai pertapa sampai
beberapa tahun lamanya. Ia mempunyai senjata berupa sebilah golok yang disebut
orang Kudi terancang yang dapat disuruh untuk mengamuk sendiridengan tidak
dipegang tangan.
Pada suatu ketika, ia
telah yakin bahwa ia dapat menaklukkan seluruh tanah Madura mulai dari Sumenep
hingga Bangkalan, maka ia mulai melakukan pemberontakan menaklukkan desa-desa
yang ia datangi dan juga dengan mudah ia taklukkan sehingga di kota terjadi
pertempuran anrata tentara kerajaan Sumenep dan akhirnya kerajaan Sumenep ia
rebut. Raja (Bupati) Sumenep Pangeran Tjokronegoro III (Raden Alza) melarikan
ke Surabaja beserta semua keluarga keratonnya.
Ke' Lesap kemudian menuju
Pamekasan melalui jalan sebelah Selatan yaitu Bluto, Prenduandan seterusnya dan
akhirnya sampai ke Pamekasan. Pamekasanpun dengan mudah ia taklukkan karena
pada waktu itu rajanya yang bernama Tumenggung Ario Adikoro IV (Raden Ismail)
pulang dari Semarang terus berkunjung ke ayah mertuanya yaitu Panembahan
Tjakraningrat V di Bangkalan. Disitu ia mendengar dari ayah mertuanya supaya
jangan terus ke Pamekasan karena tanah Pamekasan telah ada di tangan musuh
yaitu Ke' Lesap asal dari Sumenep dan juda diceritakan pula secara panjang
lebar tentang pemberontakan yang dilakukan oleh Ke' Lesap.
Mendengar berita
tersebut, maka Adikoro IV murka dan bergetar seluruh tubuhnya. Diceritakan
bahwa ia adalah seorang pemberanin dan tenaganya yang tak mengenal kata mundur
atau takut. Ia menyembah dan mohon diri kepada ayahnya untuk bertempur melawan Ke' Lesap, karena ia memikirkan nasib rakyatnya yang sudah barang tentu berhamburan
dan bercerai berai kesana kemari seolah-olah anak ayam ditinggalkan induknya.
Ia berangkat dan naik
kuda dari Bangkalan menuju Blega, dan sesampainya disana ia berjumpa dengan
abdi-abdi keraton dari Pamekasan yang masih setia kepadanya untuk menjemput
beliau, abdi-abdi tersebut dipimpin oleh kakanda saudara sepupu dari ibunya
yang bernama Raden Mohammad Asjhar alias Wongsodiradjo Penghulu Bagandan di
Pamekasan. Sedang Patihnya telah gugur dalam peperangan.
Pada saat itu rakyat di
Blega telah berbalik takluk kepada Ke' Lesap yang saat itu telah ada di sekitar
Kota Sampang. Adikoro IV sampai di Sampang dijemput oleh beberapa orang rakyat
dari Pamekasan yang tinggal beberapa jam lamanya beristirahat disana atas
permintaan rakyatnya. Maka dia dan pengikut-pengikutnya disediakan hidangan
makan siang. Pada waktu mulai makan siang tesebut, datanglah utusan dari Ke' Lesap dengan membawa sepucuk surat yang
isinya untuk menantang perang.
Setelah surat itu dibaca,
suapan nasi yang hampir sampai kedalam mulutnya jatuh dari tangannya dan kembali
diatas piringnya dan piring yang masih penuh dengan nasi tersebut olehnya
dibanting ke tanah sehingga pecah, maka ia bertanya kepada orang banyak yang
sama-sama menjemputnya, siapa diantara mereka yang sudi ikut berperang melawan
Ke' Lesap. Maka semua orang yang mendengar pertanyaan dia tidak ada yang
memberi jawaban.
Penghulu Bagandan minta
kepada Adikoro IV supaya besok pagi saja keluar di medan peperangan, karena
menurut perkiraan Penghulu Bagandan itu merupakan hari naas bagi Beliau. Maka
Adikoro IV berkata pula dengan pertanyaan, siapa yang berani mati bersama-sama
dia berperang melawan Ke' Lesap. Maka Penghulu menjawab bahwa ia punya jiwa
raga memang pertama-tama disediakan untuk pemimpin negaranya untuk berkorban
mati lebih dahulu didalam melindungi rakyat dan kepala negaranya.
Maka Adikoro IV beserta
Penghulu Bagandan dan semua rakyat yang ada di tempat itu sama-sama berangkat
menuju musuh dan terus mengamuk sehingga dikalangan musuh banyak yang mati atau
melarikan diri. Ke' Lesap serta pengikutnya dapat dipukul mundur sehingga
sampai di daerah Lambanglor (Pegantenan) Kabupaten Pamekasan.
Oleh karena pihak musuh
terlalu banyak, sedangkan pengikutnya makin lama makin sedikit, maka pada suatu
saat dia mendapat luka dibagian perutnya sehingga ususnya keluar dan makinlama
makin kembung karena tertiup angin. Usus tersebut oleh dia dililitkan di
tangkai kerisnya yang disengkelit dibelakangnya, sedang ia terus mengamuk
dengan tombaknya. Maka pada suatu saat sewaktu ia mengamuk, ususnya tersinggung
pada kerisnya sendiri sehingga ia jatuh gugur. Begitu juga Penghulu Begandan
juga gugur bersama-sama Adikoro IV. Ke dua jenasah pimpinan tersebut dimakamkan
di Kampung Begandan Desa Bagih di sebelah Selatan dari rumah Kabupaten
Pamekasan dan hingga sekarang menjadi pepunden. (diceritakan bahwa di
Pamekasan, setelah peristiwa tersebut apabila ada perkawinan yang sedang
ditontonkan, maka mempelai laki-laki yang memakai keris yang disengkelitkan
dibelakangnya dengan memakai rangkaian bunga melati dan diuntarkan di tangkai
kerisnya sedemikian rupa sehingga merupakan usus yang ber-utar ditangkai keris
seolah-olah memperingatkan semangat seorang laki-laki sebagaimana semangat
peperangan yang dimiliki oleh Adikoro IV). Maka Ke' Lesap terus menuju ke
Bangkalan dan memukul Bangkalan sehingga Tjaraningrat V hampir kalah. Walaupun
pasukan Belanda datang dari Surabaja membantu Bangkalan, maka selalu Ke' Lesap
mendapat kemenangan.
Tjakraningrat mengungsi
ke Benteng pertahanan yang ada di Kota Bangkalan. Kemudian ia pindah mengungsi
ke Mladja (Melojo), sedangkan didalam benteng itu disediakan pasukan Belanda
dan Compagnie. Pada suatu malam Tjakraningrat bermimpi agar Ke' Lesap diberi
kiriman seorang perempuan dengan disertai bendera putih dengan maksud bahwa
Bangkalan telah menyerah. Strategi tersebut, keesokan harinya dijalankan.
Seorang telede (ronggeng) dari Gresik diberinya pakaian yang indah-indah dari
Kraton dengan diiringi bendera putih dikirimkan kepada Ke' Lesap ke
Pasanggrahan di desa Tondjung. Ke' Lesap memberi artian bahwa Bangkalan telah
menyerah, dan ia senang menerima perempuan tersebut dan langsung dibawa kedalam
pesanggrahannya. Sedangkan Tjakraningrat V dan abdi-abdinya menunggu apa yang
akan terjadi selanjutnya, maka mereka terkejut melihat tombak pusaka Madura
yang bernama si (Kijahi) Nenggolo gemetar bersinar dan keluar api. Maka
Tjakraningrat V terus nenuju paesanggrahan tesebut yang mana pada saat itu Ke' Lesap sedang berduaan Ranggeng tesebut. Kemudian Ke' Lesap berperang dengan
Tjakraningrat V, sampai akhirnya Tjakraningrat V menusukkan tombak Kijahi
Nenggolo tersebut ke Ke' Lesap sehingga ia mati seketika.
Sewaktu tombak
ditusukkan, maka rakyat bersama-sama Tjakraningrat V tersebut sama-sama besorak
didalam Bahasa Madura “Bhangka-la’an” yang berarti “telah matilah”. Maka sebagian
orang-orang tua memberi arti, bahwa nama Bangkalan berasal dari perkataan
“Lambang Kulon”, yang berarti “Sebelah Barat”.
Diceritakan pula bahwa
mayat Ke' Lesap setelah rebah ke tanah kemudian tidak kelihatan atau hilang dan
pada saat itu pula terdengar suara didalam Bahasa Madura yang bunyinya : “Ghu’
legghu’ klaban bada bhul-ombhul klalaras ghaddang dari temor dadja, tandhana sengko’ la datang pole se bhakal malessa
da’ba’na”. Yang artinya : “Nanti dikemudian tahun apabila ada datang
suatu bendera kelaras daun pisang yang kering dan robek-robek dari sebelah
Timur Daya, maka itulah tandanya bahwa aku telah datang kembali untuk membalas kepadamu”. Tentang sebenarnya itu perkataan atau tentang
maksudnya dari perkataan tersebut tidak seorangpun yang dapat menerangkan. Peristiwa
tersebut terjadi tahun 1750 M.... [DI]
Dikutib dari :
Oleh:
R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)
0 Comments:
Posting Komentar