Kamis, 26 Desember 2013

Simbol Kerukunan Umat Beragama di Bangkalan

Kompleks kuburan kuno itu terhampar kokoh di puncak bukit kecil berketinggian 25-30 meter di atas permukaan air laut. Sekelilingnya dikitari pagar batu andelis warna putih, disusun rapi, tanpa menggunakan perekat semen bak bangunan candi-candi tua di Pulau Jawa. Ada enam cungkup ukuran besar, sedang, dan kecil berdiri tegar di bagian tengahnya. Desain arsitekturnya yang unik artistik tak hanya menawarkan keelokan situs karya seni yang antik, namun juga menyiratkan nuansa sakral, angker, sekaligus teka-teki misteri. 

Pasarean Aermata atau Makam Ratu Ibu, demikian penduduk Madura menyebut situs sejarah di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, itu. Sejak ratusan tahun lalu, situs yang satu ini tak hanya populer karena keunikan seni arsitekturnya, tetapi juga karena kadar kekeramatannya. Itu sebabnya, Pasarean Aermata tak pernah sepi dari kunjungan para ahli tirakat. 


"Setiap bulannya bisa mencapai 1.000 orang lebih," kata Moh Jasam (78), juru kunci pasarean. Kehadiran mereka tak hanya didominasi oleh para peziarah dari Pulau Madura dan Jawa, tetapi juga datang dari belahan Indonesia Timur seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan bahkan dari Nanggroe Aceh Darussalam.


Bagusnya, meski belum optimal, popularitas situs bernuansa cagar budaya itu kini mulai terendus ke mancanegara. Terbukti, dalam satu dasawarsa terakhir ini, Pasarean Aermata mulai kerap dikunjungi pelancong dari luar negeri. "Mereka ada yang datang dari Malaysia, Brunei Darusaalam, Singapura, dan bahkan Banglades," tambah Jasam sambil memperlihatkan buku tamu dengan sederet nama asing.

Aroma keunikan Pasarean Aermata memang meniupkan daya pikat tersendiri bagi para pelancong. Betapa tidak, di dalam kompleks makam kuno itu bersemayam potensi sejarah dengan latar belakang kehidupan para raja Madura Barat abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Jelasnya, di balik deretan tiga cungkup utama, berbaring jasad raja-raja dari Keraton Plakaran, Bangkalan, pada era pemerintahan Dinasti Panembahan Cakraningrat alias Raden Praseno, hingga tujuh turunan. Di antaranya adalah kuburan Panembahan Cakraningrat II alias Raden Undakan (1648-1770), Panembahan Cakraadiningrat V alias Raden Sidomukti (1646-1770), Panembahan Cakraadiningrat VI alias Raden Tumenggung Mangkudiningrat (1770-1780), dan Sultan Cakraadiningrat I alias Raden Abdurahman (1780-1815).


Tiga penguasa Keraton Bangkalan (Kerajaan Plakaran) lainnya, yakni Panembahan Cakraningrat I alias Raden Praseno (1624-1648), Panembahan Cakraningrat III alias Pangeran Suroadingrat (1707-1718), dan Panembahan Cakraningrat IV alias Pangeran Jurit (1718-1745) tidak dikuburkan di Pasarean Aermata. "Kuburan Raden Praseno ada di Imogiri. Maklum, Keraton Plakaran di Arosbaya di zaman Kerajaan Mataram dulu merupakan daerah taklukan Sultan Agung," kata Jasam. Sementara Pangeran Suroadiningrat gugur di tengah laut ketika memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Demikian juga kuburan Pangeran Jurit ada di Afrika Selatan, setelah dia dibuang Belanda ke Benua Afrika.


Nuansa keelokan, keunikan, dan kelangkaan seni arsitektur Pasarean Aermata mulai tampak transparan ketika pelancong memasuki pintu gerbang masuk di kaki bukit. Tatanan tangga yang panjang berkelok-kelok bak liukan ular raksasa, menjulang landai menuju puncak Bukit Buduran, tempat bertenggernya tiga cungkup makam para raja dari Kraton Plakaran. Uniknya, seperti kebanyakan candi kuno di Pulau Jawa-Borobudur, Prambanan, dan Mendut misalnya mata rantai tangga plus pagar pembatas di kanan-kirinya tersusun rapi dalam bentuk tumpukan batu andelis tanpa menggunakan lem perekat semen.


Keunikan serupa juga tampak pada susunan batu andelis pada pintu gerbang kedua, cungkup peringgitan tempat menerima tamu (pengunjung), cungkup tempat penyimpanan senjata dan sisa perabotan peninggalan kerajaan, cungkup para juru kunci, serta tiga cungkup utama tempat bersemayamnya jasad para raja. Demikian pula aksesori hiasan memolo dan kemuncak yang bertebaran di puncak atap masing-masing cungkup, pagar keliling kompleks pasarean, plus pagar kanan-kiri tangga masuk, juga bertengger elok tanpa menggunakan lem perekat semen. "Bangunan seperti ini jadi mengingatkan saya pada model bangunan Candi Borobudur," kesan Ketua Pencinta Alam Ki Poleng Bangkalan Drs Mas Imam Luthfi. 



Puncak keelokan estetika Pasarean Aermata sebagai situs peninggalan purbakala di Pulau Madura justru terletak di balik tiga cungkup utama, yakni cungkup makam Kanjeng Ratu Syarifah Ambami (1546-1569), permaisuri dari Panembahan Cakraningrat I yang juga turunan kelima dari Waliullah Sunan Giri alias Raden Samudro, cungkup makam Panembahan Cakraningrat II dan V, serta cungkup makam Panembahan Cakraadiningrat VI dan VII.


Latar belakang dinding pada masing-masing cungkup bertakhtakan taburan seni ukir amat rumit, indah artistik, dan hebatnya terbuat dari hamparan batu pualam putih (semacam batu oniks/marmer). Tidak hanya itu, semua warangka kuburan yang membungkus makam Kanjeng Ratu Syarifah Ambami, Panembahan Cakraningrat I dan V, Panembahan Cakraadiningrat VI dan VII, berikut makam para bangsawan keturunan para petinggi kerajaan itu, juga penuh bertabur ukiran antik. 





Hebatnya, jika kegelapan malam tiba, konfigurasi ragam bentuk ukiran itu tampak memantulkan kilatan cahaya putih kemilau. "Itulah salah satu kehebatan estetika dan daya tarik Pasarean Aermata," ungkap Mas Imam Luthfi.
Di antara rumitnya konfigurasi seni ukir yang ada, tersimpan simbol misteri yang melambangkan kerukunan antar-umat dari tiga agama besar yang berkembang saat itu, yakni Islam, Buddha, dan Hindu. 


 

"Jika pengunjung teliti, simbol kerukunan itu, meski samar, tampak transparan," tandas Imam. Benarkah? Ternyata benar. Sebab, di antara hamparan ragam bentuk seni ukir itu, tersisip ukiran bunga teratai, miniatur Ganesha, serta ukiran kaligrafi yang bertaut sambung-menyambung satu sama lainnya. "Asal tahu saja, ukiran bunga teratai itu merupakan simbol kebesaran agama Buddha, miniatur patung Ganesha simbol Hindu, sementara kaligrafi dalam bentuk tulisan Allah dan Muhammad simbol kebesaran Islam," ungkap Imam. "Nah, pertautan ketiga simbol dalam bentuk relief ukiran itu sama halnya dengan melambangkan kerukunan antara umat Islam, Buddha, dan Hindu di Bumi Madura tempo dulu," tambah dia.





Melalui telaah simbol keagamaan di balik misteri seni ukir itu, dapat dipastikan bahwa petuah, nasihat, dan imbauan agar para umat beda agama di Bangkalan bersanding dalam kehidupan yang rukun dan tenteram, tak hanya santer ditiupkan, tetapi berembus sejak era pemerintahan Panembahan Cakraningrat I pada lima abad yang silam. 


Bagusnya, roh kerukunan yang dibiaskan melalui simbol misteri seni ukir Pasarean Aermata itu tetap berkesinambungan hingga era abad milenium ini. Terbukti, sejauh ini tak pernah terbetik kabar adanya perseteruan, apalagi konflik fisik antara pemeluk Islam, Nasrani, Buddha, Hindu, Tridharma, dan berbagai aliran kepercayaan (kebatinan) di ranah Madura, khususnya Kabupaten Bangkalan... [DI].


Photo Koleksi : Bangkalan Memory

Share:

Sabtu, 14 Desember 2013

Permainan Ketapel

Nama permainan ini diambil dari nama alatnya yang terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai huruf “Y” atau dahan kayu bercagak/bercabang. Permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki berumur antara 7 hingga 14 tahun. Ketapel adalah sebuah mainan sederhana namun bisa menjadi sebuah senjata sederhana yang hebat, sebuah ketapel apabila dimainkan oleh orang yang sudah terampil tidak hanya mampu membunuh seekor burung merpati.

Ketepel berukuran tinggi 25 cm. Pada kedua ujung kayu dipasang karet kolor hitam atau merah panjang 55 cm, ujung-ujung karet disambungkan dengan potongan kulit. Alat ini dipakai untuk menembak sesuatu seperti binatang atau buah-buahan. Sebagai peluru digunakan batu kecil yang dipasang pada kulit. Ketepel dibidikkan dengan membentangkan karet kolor, dan kulit yang telah berisi kerikil dipegang dengan tangan kiri. Selanjutnya kulit lepas, bila si anak tangkas dalam membidiknya maka batu akan dapat mengenai sasaran.


Sebuah ketapel tidak hanya dimainkan oleh orang Indonesia saja, di luar negeripun sudah sejak lama orang tau ini, bahkan seorang dewasa pun banyak yang menggunakan alat sederhana ini sebagai pengganti mainan dan senjata lainya, sebab jika memiliki senjata lainnya memerlukan izin tertentu, dengan memiliki senjata ketapel tidak perlu repot dengan surat izin yang merepotkan. Banyak diluar negeri membuat sebuah ketapel dengan sentuhan modern dan seni tinggi yang unik, membuat sebuah gagang ketapel dengan kayu oak dan pinus akan sangat indah hasilnya. Ketapel diluar negeri masih banyak diperjual belikan secara online baik ketapel yang sederhana ataupun yang modern... [DI]


Photo Koleksi : Berbagai Sumber



Share:

Sultan R. Abdul Kadirun (1815-1847 M)


Secara umum beliau disebut R. Abdul Kadirun walaupun dalam Prasasti yang terukir di Mihrab Masjid Agung Bangkalan, terukir Maulana Abdul Kadir bin Almarhum Maulana Abdurrahman. Beliau adalah Putra kedua Sultan Abduh (Sultan R. Abdurrahman Cakraadiningrat I) dari 13 bersaudara. Ibunya adalah R. Ayu Saruni Permaisuri ke 2 Sultan R. Abdurrahman, Cangga (Cucu Buyut) dari Pangeran Cakraningrat II (Panembahan Siding Kamal). Perlu dijelaskan bahwa R. Ayu Saruni, Pasareannya ada di Buju’ Aghung Dedelan (Pasarean keluarga Kerajaan di luar Kraton, sekarang Jl. KH. Moh. Toha RT.2 / RW. 06 dalam lingkungan Pondok Al-Ikhlas Bangkalan). Asuhan KH. Zainuddin, SH.

Catatan sejarah tentang Tahun Kelahiran Sultan R. Abdul Kadirun tidak tertulis dengan pasti tapi penulis memberanikan diri menghitung mundur, tahun lahir beliau berasal dari tahun wafat beliau, bahwa Sultan R. Abdul Kadirun wafat pada tahun 1847 M, dalam usia 69 Tahun.

Sultan R. Abdul Kadirun
Jadi, Insya Allah Beliau dilahirkan pada tahun 1778 Masehi (1847-69). Sejak muda Beliau selalu mendapat tugas-tugas berat dari ayah beliau, misalnya pada tahun 1880 Masehi pada usia yang masih sangat muda (22 tahun), Sultan R. Abdul Kadirun atau disebut juga R. Tumenggung Mangkudiningrat, telah memimpin Pasukan Bangkalan sebanyak 500 orang dalam perang melawan Inggris pada Perang Cilincing di Batavia, sekarang Jakarta. 

Tak lama kemudian dalam usia 23 tahun karena keberanian dan jasa-jasanya, Beliau mendapat Gelar Pangeran disertai hadiah-hadiah berupa Talam Emas itu terjadi dalam tahun 1801 Masehi, dua tahun kemudian pada usia 25 tahun, Beliau dipersiapkan sebagai Raja Muda (Ratoh Megang) untuk menggantikan ayah Beliau, dengan Gelar Pangeran Adipati, itu terjadi pada tahun 1803 Masehi.

Sebagai seorang Raja Muda pada tahun 1803 Masehi dengan membawa kekuatan Pasukan Bangkalan sebanyak 1000 orang, Beliau berangkat ke Daerah Cirebon, berperang dan berhasil menekan perlawanan R. Bagus Idum, yang sangat sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga beliau mendapat Penghargaan berupa Keris Indah bergagang Emas Bertabur Intan, yang sekarang tersimpan di Museum Betawi Jakarta Pusat. Pada tahun 1815 Masehi, Sultan R. Abdurrahman Cakraadiningrat 1 wafat. Dalam usia yang ke 37 tahun, Sultan R. Abdul Kadirun naik tahta kerajaan Madura Barat III, disaat itu pula Bangsa Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Kompeni Belanda (Senin, Syawal 1743 Tahun Jawa) atau Tahun 1815 Masehi.

Gubernur Jendral Baron Van Der Capellen tahun 1824 Masehi meminta bantuan Sultan R. Abdul Kadirun untuk mengirim Pasukan Bangkalan Madura dalam Perang Bone di Sulawesi. Pasukan ini dipimpin oleh putra ke-8 Beliau, yaitu Pangeran Suryo Adiningrat (Pangeran Sorjah), dengan Kekuatan 900 Pasukan Bedil, 600 orang prajurit bersenjata tombak, 80 orang Pasukan Berkuda, 2 buah meriam. 

Bahwa kecakapan tempur Pasukan Bangkalan Madura ini, saat itu benar-benar menggetarkan seluruh jawa. Pasukan ini berangkat ke Sulawesi Selatan dan bekerja sama dibawah komando Mayor Van Geen, dalam perang itu pula Calon Putra Mahkota Sultan R. Abdul Kadirun, Pangeran Adipati Seco Adiningrat IV (R. Moh. Yusuf) dan menantu Sultan Pangeran Atmojo Adiningrat. Pangeran Suryo Adiningrat mendapat Pangkat Letnan Kolonel dan Mayor.

Tujuh bulan berada di Bone, Pasukan Bangkalan Madura ini, ditarik kembali ke Madura dan 2 tahun kemudian tahun 1883 Masehi kembali Pasukan Bangkalan Madura dikirim ke Jogjakarta dalam Perang Diponegoro. Enam bulan berperang disana, Pangeran Seco Adiningrat IV (R. Moh. Yusuf putra ketujuh Sultan), menjadi Kolonel dan Pangeran Suryo Adiningrat , Pangeran Atmojo Adiningrat berpangkat Letnan Kolonel. 

Tahun 1831 Masehi, Korps Barisan dibentuk di Madura dan 2 tahun kemudian 1833 Masehi kembali Pasukan Bangkalan Madura diberangkatkan dalam perang Jambi, kali ini pemimpin pasukannya adalah Pangeran Adinegoro (Ibrahim). Putra ke-18 dari Ibu Nyai Djai, tahun 1846, Pasukan Bangkalan Madura berangkat dalam ekspedisi yang pertama di bawah pimpinan Pangeran Adinegoro dalam Perang Bali. 

Dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa pemerintahan Sultan R. Abdul Kadirun, seolah-olah disibukkan oleh masa-masa perang, tidak berarti Beliau meninggalkan tugas Kepemerintahannya yang lain, satu contoh bahwa sebagai seorang Satrio Pinandito (Ulama dari Umaroh yang bersatu dalam pribadi Beliau), Sayyidin Panotogomo, Beliau telah membuka Masjid Kraton Kerajaan untuk kepentingan Ibadah Rakyat Umum (Masjid Agung Bangkalan yang dipakai sampai sekarang). 

Uraian tentang hal tersebut diatas dapat dibaca dalam buku Sultan R. Abdul Kadirun hubungannya dengan Masjid Agung Bangkalan, karya tulis (R. Moh. Sasra). 



Beliau mendasarkan watak kepemimpinannya pada Asta Brata, 8 sifat Kepemimpinan dari sudut pandang Budaya Jawa (tertulis dalam buku : Alm. Sumarsaid Murtono), yaitu : 


01.  Demawan (Indra) 
02.  Tegas (Yama) 
03.  Ramah Tamah (Suya) 
04.  Kasih Sayang (Candra) 
05.  Cermat (Bayu) 
06.  Pemberi Kegembiraan (Kuwera) 
07.  Cerdas (Baruna) 
08.  Keberanian (Brahma)


(untuk mengetahui arti dan makna lambang Kesultanan dan lambang Tjakra mohon baca postingan ARTI LAMBANG KESULTANAN DAN PRASASTI TJAKRA)




Beliau mengendalikan Pemerintahan, yang bersifat MONARKI (Sistem Pemerintahan Kerajaan), selama lebih kurang 32 tahun dan beliau adalah Raja Generasi ke-II Panembahan Lemah Duwur (R. Pratanu) di Kerajaan Madura Barat Bangkalan pada Pasarean Beliau terdapat Lambang Prasasti Cakra bersudut 8, yang berarti WOLU (Wohing Laku = Buwena Lako atau Lakonnah Badan/Bahasa Madura), yang menurut uraian Almarhum R. Ario Saleh Saeryowinoto, manusia harus mempunyai watak yang 8 (delapan) yaitu:

01.  Prilaku Bumi – Teduh dan melindungi yang tertindas
02.  Prilaku Air – Pendingin Suasana
03.  Prilaku Angin – Sejuk
04.  Prilaku Samudra – Watak Sabar, Nerimo
05.  Prilaku Candra / Bulan – Membuat orang lain tentram
06.  Prilaku Matahari – Memberi warna kehidupan
07.  Prilaku Api – Tegas menentukan benar dan salah
08.  Prilaku Gunung – wibawa karena disegani, bukan “ditakuti” 


Akhirnya pada hari Kamis Legi II Syafar, 1775 tahun Jawa atau tanggal 28 Januari 1847 Masehi, Sultan R. Abdul Kadirun Cakradiningrat II atau Sultan R. Abdul Kadirun, berpulang ke Rahmatullah pada usia 69 tahun, jenazah beliau dikebumikan di Pasarean Congkop (Makam Raja Bangkalan dan Keluarganya), di belakang Masjid Agung Bangkalan. 



Gapura masuk kedalam areal Congkop / Pemakaman Raja Bangkalan dan Keluarganya

Bangunan Congkop tempat disemayamkan Sultan R. Abd. Kadirun beserta Keluarganya

Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.

Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa.



Sebagai seorang Sultan, Beliau didampingi seorang permaisuri (Garwa) Patmi), R. Ayu Masturah (Ratoh Ajunan), cucu panembahan Cakraningrat V (Panembahan Sedho Mukti) dan 7 (tujuh) orang Garwa Ampiyan (Selir) :
01.  Ratu Timur (R. Ayu Saina) 
02.  Nyai Reno 
03.  Nyai Jai 
04.  R. Kenoko 
05.  R. Citrowati 
06.  R. Siya 
07.  R. Ajeng Trisnowati (Mas Ajeng Ratnowati) 

Dari ke-8 Garwo/Istri ini, diturunkan putra-putri Beliau sebanyak 46 (empat puluh enam) seperti yang tercantum dibawah ini : 

01. R. Ayu Pangeran Atmojodiningrat (Ngaisa) 
02. R. Ayu Raiya 
03. Pangeran Noto Adiningrat (Hosen) 
04. R. Ayu Tmg. Mangkuadiningrat (Raisa) 
05. R. Ayu Ario Jaying Rasminingrat 
06. R. Ayu Stina 
07. Pnb. Cakra Adiningrat VII (R. Moh. Saleh) 
08. Png. Suryo Adiningrat (Abdussaleh) atau Pangeran Sorjah 
09. Ratu Paku Buwono VII (R. Ayu Srija) 
10. R. Ayu Tmg. Cokro Negoro (Sariganten) 
11. R. Bakir, ibunya Ratu Timur (R. Ayu Saina) 
12. Png. Sosro Adiningrat, ibunya Ratu Timur R. Ayu Saina 
13. R. Ayu Tmg. Purwo Negoro (Nurisa), Ibunya Ratu Timur 
14. Satu Putra, Meninggal, Ibunya Nyai Reno 
15. R. Ayu Supiya, Ibunya Nyai Reno 
16. R. Ayu Maryam, Ibunya Nyai Reno 
17. Satu Putra, Meninggal, Ibunya Nyai Jai 
18. Png. Adinegoro (Ibrahim), Ibunya Nyai Jai 
19. R. Ayu Tmg. Purwo Negoro (Janiba), Ibunya R. Kenoko 
20. R. Ayu Tmg. Broto Adinegoro (Janiba), Ibunya R. Kenoko 
21. R. Ali 22. R. Ayu Tmg. Cokro Kusumo (Asia) 
23. R. Ayu Srina 
24. Png. Cokro Negoro (Hasan) 
25. Png. Cokro Kusumo (Abdur Rasyid) 
26. R. Ayu Ario Suro Dipuro (Stia) 
27. R. Ayu Rusya 
28. R. Ayu Ario Mloyo Musumo (Halima) 
29. R. Ayu Ario Brotoningrat (Matrya) 
30. R. Ayu Ario Cokrodiputro (Manten) 
31. Png. Cokrowinoto (Jamilun) 
32. Seorang Putra Meninggal, Ibunya R. Citrowati 
33. Png. Mangku Adinegoro (Abdussamad alias Kondur), Ibunya Mas Ajeng Retnowati 
34. Png. Prawiro Adinegoro (Amir) 
35. Png. Prawiro Adiningrat (Sleman) 
36. R. Ayu Ario Surodipuro (Nurani) 
37. R. Ayu Sulodilogo atau Brotoningrat (Sripa) 
38. Png. Suryonegoro (Hasyim), Bupati Pertama Bangkalan 
39. Seorang Putra Meninggal, Ibunya R. Siya 
40. Seorang Putra Meninggal, Ibunya R. Ajeng Trisnowati (Mas Ajeng Ratnowati) Pasareannya ada di Congkop – Bangkalan 
41. Png. Sastronegoro (Santara) 
42. Png. Sosro Winoto (Kadimin) 
43. R. Ayu Ario Purwowinoto (Slama) 
44. Png. Suryowinoto (Abdurrahman) 
45. R. Ayu Ario Joyokusumo (Grambang) 
46. R. Ayu Kembar 




Share:

Rabu, 11 Desember 2013

Selasa, 10 Desember 2013

Sejarah SMA Negeri 2 Bangkalan

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bangkalan merupakan lembaga pendidikan Tingkat Menengah Atas (SMA) yang kedua setelah SMA Negeri 1 Bangkalan di Kabupaten Bangkalan. Sekolah yang berlokasi di Jalan Soekarno Hatta No. 18 Bangkalan ini didirikan pada tanggal 1 April 1978 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan Nomor 0292 Tahun 1978 pada tanggal 2 September 1978.

Seiring perjalanan waktu dimana dengan terbitnya Kurikulum SMU 1994, maka nama sekolah inipun berubah nama menjadi SMU Negeri 2 Bangkalan, dimana dalam perkembangannya pada tanggal 25 Januari 2005 Status Akreditasi Sekolah meningkat dengan nilai "A" berdasarkan Nomor Surat Keputusan kreditasi Nomor 4/5/BASDA-P/2005.




Dengan demikian maka tanggal 1 April 1978 ditetapkan sebagai "Hari Ulang Tahun" SMA Negeri 2 Bangkalan. Hingga kini SMA Negeri 2 Bangkalan telah berusia 35 tahun (1978 sampai dengan 2013). Adapun Nomer Identitas Sekolah yakni Nomor : 300102, dan Nomor Statistik Sekolah (NSS) adalah Nomor : 301052901002



SMAN 2 Bangkalan
Jl. Soekarno Hatta 18
Bangkalan- Jawa Timur, Indonesia
Phone +62 31 3095326
Fax +62 31 3095326
Share:

Senin, 09 Desember 2013

Sejarah SMA Negeri 1 Bangkalan

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bangkalan merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah atas (SMA) yang pertama dan tertua di Kabupaten Bangkalan. Sekolah ini didirikan pada Bulan Juli 1962 atas Inisiatif Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan, yaitu R.P. Moh. Noer, dengan nama SMA NEGERI BANGKALAN

Sejak tahun 1978 berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Bangkalan sehubungan dengan berdirinya SMA Negeri 2 Bangkalan. Sejalan dengan terbitnya Kurikulum SMU 1994, maka nama sekolah inipun berubah nama menjadi SMU Negeri 1 Bangkalan.Yang perlu dicatat dan diketahui bahwa pendirian SMA Negeri Bangkalan ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21/SKlB.IH/1962 tanggal 1 Agustus 1962 dan diberlakukan terhitung sejak tanggal 1 Agustus 1962. 





Dengan demikian maka tanggal 1 Agustus ditetapkan sebagai "Hari Ulang Tahun" SMA Negeri 1 Bangkalan. Hingga kini SMA Negeri 1 Bangkalan telah berusia 46 tahun (1962 sampai dengan 2008). Adapun Nomor sekolah kita adalah No. 213, Nomer Rutin 166204, dan Nomer Statistik Sekolah (NSS) adalah 301052901001



Kontak Person : 
SMAN 1 Bangkalan
Jl. Pemuda Kaffa 10
Bangkalan- Jawa Timur, Indonesia
Phone +62 31 3095132
Fax +62 31 3095132
Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu