Raden Prasena, putera Pangeran Tengah dari
Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari
Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya
ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung,
yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan
sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah
uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas.
Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena
selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram.
Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan
adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat
keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih
keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia mempunyai tiga orang
anak, yaitu RA. Atmojonegoro, R. Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para
selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah
Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645
yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai
pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik
Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan
puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang
Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan.
seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga
lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi
pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan
penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri.
Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena
Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo
cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran
dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan
putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut
kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura
barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan
terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan
Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar
baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan
pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama
dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil
menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke
barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit
dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud
pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC
kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC
merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan
Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku
Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega
dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada
di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal
dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun
1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden
Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura
barat dengan gelar Cakraningrat III.
Suatau saat terjadi perselisihan
antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya
Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta
bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul
bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus
Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan
Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat
meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Tumenggung
Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV
diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang
sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000
prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah
meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung.
Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya
Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk
Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan
VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat
pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger
Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat
IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun
hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan
perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang
disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan
Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu,
Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati
Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat
tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam
jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke
Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat
diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat
pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkap.
Pada sebagian data dari Jawa tengah dikenal juga namanya Raden Prasmo... apa salah tulis ujaran Praseno yaaach... ☝👋👍
BalasHapus