Rabu, 06 November 2013

Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan: Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)


Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka Madura adalah Serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur–unsur prilaku kehidupan sehari – hari yaitu : 

Kesopanan

Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap tindakannya

Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya).

Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial

Kehormatan

Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah

Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).

Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air

Agama

Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.

Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.

Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun Tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak ahwal yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah Harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.

Stratifikasi Sosial / Pelapisan Sosial Masyarakat Madura

Oreng Kene’ / Dume’ = Sebagai Lapisan Terbawah,
Yaitu : masyarakat  yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani – nelayan – pengrajin dan orang yang tidak mpunya mata pencaharian tetap.

Ponggaba
Yaitu : orang yang bekerja di Instansi normal terutama di Kantor Pemerintah.

Parjaji, 
Yaitu : Lapisan masyarakat yang berada paling atas.

Parjaji ada 2 macam pengertiannya :

1).  Orang – orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya tingkatan Gelar Ke Bangsawanan nya seperti RA - RP - RB - R. Mas - R (Untuk laki-laki) R. Ayu/R. Ajeng, R. Roro (Untuk wanita)

2).  Orang – orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (Camat) - Wedana Patih -Kanjeng/Bupati, dsb.
Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren

Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren yang kita kenal ada 4 Tingkatan, Yaitu ( Dari yang ter-atas ) :

KEYAE
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya.

BINDARAH
Adalah orang – orang yang telah mendapatkan / men-tamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Keyae.
Ada Pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS terutama di Desa / Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae. 

SANTRE
Adalah orang–orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.

BANNE SANTRE
Seseorang yang tidak pernah Mondok/tidak pernah menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.


Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu