Selasa, 05 November 2013

Topeng Madura

Topeng merupakan alat upacara tradisional yang dimiliki oleh berbagai daerah di Indonesia. Seni Topeng tidak saja dikenal di Aceh, Batak, Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya, tetapi juga berkembang di Madura. Konon istilah "topeng dalang" sudah dikenal luas di Madura sejak abad XV-XVI untuk menamakan pertunjukan rakyat yang berbentuk teater topeng. Hubungan yang akrab antara istana-istana Jawa dan Madura nampaknya mendorong perkembangan seni topeng tersebut. Muncullah kemudian topeng ukiran dan tokoh baru yang disesuaikan dengan wajah tokoh wayang kulit.

Pada abad ke XIII Madura sudah menjadi salah satu pusat kegiatan budaya di Nusantara selain Kerajaan Sangasari. Sebuah inskripsi baru yang mewartai pembuatan makam para raja Madura di Asta (dekat Sumenep) bertarikh 1212 Caka (1290 M) menunjang data tersebut. Pada waktu itu telah berkembang jenis-jenis seni pahat, seni sastra dan seni musik Madura, bahkan istana telah memiliki perbendaharaan sejumlah pustaka sastra berjudul Rama, Arjuna Sasrabahu, Arjuna Wiwaha dan lain-lain. Bentuk-bentuk kesenian itu kemudian semakin diperkaya lagi dengan masuknya pengaruh Majapahit ketika Madura menjadi koloni Majapahit pada abad XIV.


Pada abad XVII topeng dalang yang semula merupakan pertunjukan rakyat itu kemudian berkembang menjadi salah satu jenis kesenian istana yang sangat populer dan sangat dibanggakan oleh para Raja Jawa dan Madura. Hubungan akrab antara istana-istana Jawa dan Madura nampaknya merupakan faktor pendorong utama bagi perkembangan topeng dalang dalam kerajaan di kedua daerah itu. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) bentuk topeng yang semula sederhana kemudian diperindah dengan membuat topeng ukiran. Detail rambut, kumis, alis, cambang dan ornamennya diukirkan secara menyeluruh. Hal itu kemudian berkembang pula pada seni topeng di Madura, kendati tidak sehalus buatan pengukir Kasunanan.


 

Ukiran topeng dari kraton Madura pada umumnya dititikberatkan pada ikalan rambut dan ornamen yang menghiasi sebagian rambut di atas dahi yang melintang sampai bagian atas telinga.

Perbendaharaan topeng diperkaya lagi dengan pembuatan topeng baru yang disesuaikan dengan wajah tokoh-tokoh wayang kulit. Topeng Panji yang semula dibuat berdasarkan wajah tokoh Panji wayang gedong, kemudian dibuat berdasarkan wajah tokoh Arjuna wayang kulit. Topeng Klana Sepuh dibuat berdasarkan wajah tokoh Dasamuka/Rahwana. Topeng Klana Timur dibuat berdasarkan wajah tokoh Baladewa atau tokoh Boma. Topeng Gunungsari dibuat berdasarkan wajah tokoh Samba dan sebagainya. Pembaharuan ini juga diikuti oleh kalangan istana Madura.

Tinjauan Filosofi

Perjalanan sejarah membuat peranan seni topeng bergeser dari peranannya semula. Tari topeng tidak lagi merupakan pertunjukan sakral atau sarana dalam melakukan ritus keagamaan, tetapi telah berubah fungsi menjadi semacam kesenian hiburan yang membebaskan diri dari fungsi magis. Sunan Kalijaga adalah yang pertamakah mencoba untuk menggunakan kesenian rakyat itu sebagai alat dakwah dalam mengembangkan ajaran agama Islam. Dengan berbagai upaya tokoh-tokoh topengnya ditambah dan ceritanya pun disesuaikan dengan filsafat dan ajaran Islam. Tokoh, warna topeng, bentuk mata, hidung disesuaikan dengan makna yang tersembunyi pada perwatakan setiap tokoh.

Berkat kejelian para Wali dalam memanfaatkan pertunjukan topeng sebagai media dakwah itulah maka seni topeng berkembang menjdi salah satu bentuk teater rakyat yang sangat populer sejak abad XV sampai abad XVIII dan XIX di kerajaan-kerajaan Jawa dan Madura. Beberapa tafsir filsafat topeng yang secara visual tertuang pada tokoh utama antara lain adalah Panji Sepuh, Rama dan Arjuna, (bayangan insan); Kumudaningrat, Candrakirana, Sinta, Srikandi dan Sembadra (tujuan hidup): Klana Sepuh, Raja Sebrang, Duryodana dan Dasamuka (nafsu amarah); Klana Timur, Kumbakarna, Baladewa dan Boma (nafsu aluamah); Dewi Retno Jindogo, Sarpakenaka dan Bonowati (nafsu supiah); Panji Timur, Gunungsari, Kartala, Samba dan Bima (nafsu mutmainah).

Simbolis warna topeng Madura tidak jauh berbeda dengan simbolis warna topeng Jawa. Tokoh ksatria yang paling utama dalam topeng Madura seperti Rama, Arjuna dan tokoh Panji wajahnya diberi warna dasar hijau. Karena Rama dan Arjuna adalah simbol bayangan insani, yang senantiasa berusaha mencapai tujuan hidup lestari, selalu dijalan yang benar.


Tokoh Dewi Sinta, Dewi Sembodro di Madura dan Dewi Candrakirana di Jawa yang melambangkan tujuan hidup diberi warna dasar keemasan. Warna itu merupakan ungkapan kemuliaan hidup dalam bentuk materi (emas).


Tokoh Semar merupakan tokoh suci yang melambangkan kewaskitaan, kesetiaan dalam mengabdikan diri kepada keadilan dan kebenaran, diberi warna putih. Demikian juga Dewi Srikandi, Dewi Drupadi yang melambangkan kesucian wanita. Warna merah pun tak ketinggalan, mendominasi warna-warna topeng Madura. Topeng yang berwajah merah terdiri dari tokoh ksatria atau raja yang bertubuh gagah perkasa, dan juga para raksasa.

Selain warna dasar, ada unsur lain yang secara efektif sangat membantu gambaran perwatakan pada topeng Madura, yaitu bentuk mata dan bentuk batang hidung.


Khusus mengenai bentuk mata dan bentuk batang hidung ini sangatlah membantu dalam membuat/menciptakan mimik (raut wajah) tokoh sesuai dengan karakter/watak dari tokoh tersebut. Ada beberapa bentuk mata yang dikenal : bentuk mata gabahan (watak mulia), bentuk mata telengan (wajah yang tangguh), bentuk mata plelangan (perkasa tapi keji), bentuk mata kelipan (arif bijaksana), bentuk mata penanggalan (perangai culas, curang tapi cerdas).

Itulah beberapa unsur yang sangat berpengaruh dalam ekspresi bentuk wajah topeng Madura. Dari beberapa contoh foto yang menyertai tulisan ini terlihat jelas bagaimana hubungan antara bentuk dengan perwatakan setiap tokoh... [DI]



Photo Koleksi : Berbagai Sumber



Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu