Minggu, 16 Maret 2014

Tjakraningrat IV Sang Inspirator bagi Mandela

Nelson Mandela merupakan sosok lambang kemanusiaan yang sesungguhnya. Beliau pergi meninggalkan kita di usianya yang ke-95. Kegigihannya memperjuangkan keadilan, toleransi serta usahanya menghapus segala macam jenis perbudakan yang sudah cukup bagi dunia untuk menuliskan namanya di papan sejarah dunia.



Yang menarik dari diri Nelson Mandela ini bukanlah kesuksesannya mengakhiri rezim apartheid di Afrika Selatan. Sebab di balik itu, terdapat momen-momen penting yang mengilhami atau mengispirasikan Mandela, sehingga Beliau sendiri akhirnya memutuskan untuk bersenyawa dengan keadilan.


Kami tercenung ketika membaca catatan Prof. Yusril Ihza Mahendra tentang kepergian Mandela. Sewaktu Yusril berkunjung ke Afrika Selatan, ia menyempatkan diri untuk pergi ke Pulau Robben, tempat dimana Mandela ditahan selama hampir tiga dekade. Di sana ia menziarahi salah satu makam yang dikeramatkan. 





Seorang yang ada di makam tersebut bercerita kepada Yusril. Ketika bebas dari penjara, Mandela berkata : “Apalah artinya saya dipenjara di pulau ini selama 28 tahun apabila dibandingkan dengan orang ini (sambil menunjuk ke makam tersebut). Orang ini dipenjarakan penjajah, mati di pulau ini dan tak pernah kembali ke negerinya.”

Makam Sayyid Abdurachman Makuto

Di dinding makam tersebut, terdapat tulisan “The Grave of Shaikh Mathura, The First Man Who Reading The Holy Qur’an in South Africa” (Makam Sheikh Mathura (Sayyid Abdurachman Makuto), Orang pertama yang membaca Al-Qur'an di Afrika Selatan). Setelah ditelusuri, ternyata Syeikh Mathura yang dimaksud adalah Cakraningrat IV dari Bangkalan. Yusril segera memerintahkan Sekretaris Militer Kepresidenan untuk melakukan kajian terhadap riwayat Cakraningrat IV, agar kalau cukup syarat, dapat diberi gelar pahlawan nasional.

Dari tulisan tersebut di atas, sudah jelas bahwa Cakraningratlah yang pertama kali membacakan (juga mengajarkan) Al-Quran di Afrika Selatan. Mandela begitu terinspirasi oleh sosok Cakraningrat IV itu yang di sana terkenal dengan sebutan Syeikh Mathura (Madura). Sejauh kita bersedia merawat ingatan, tentu tak adil jika kita mengabaikan begitu saja riwayat hidup Cakraningrat IV yang menjadi suluh semangat perjuangan Mandela itu.

MELURUSKAN SEJARAH

Cakraningrat IV bernama asli Tumenggung Suroadiningrat. Ia adalah penguasa Madura Barat sekitar pertengahan abad ke 18. Ia naik takhta pada 1718 menggantikan kakaknya (Cakraningrat III) yang meninggal di tahun yang sama. Waktu itu, Madura berada di bawah kendali Mataram sejak Sultan Agung berhasil menundukkan Madura pada 1624 (de Graaf, 1986: 85).

Cakraningrat IV pada awalnya memiliki sikap yang sama seperti Trunojoyo : tidak mau tunduk kepada hegemoni Jawa. Namun permusuhan terhadap Mataram mengendor tatkala Cakraningrat menikah dengan saudara perempuan raja Mataram, Pakubuwono II (1726-1749). Masa itu tidak berlangsung lama. Pada 1733, Cakraningrat bersitegang kembali dengan raja Mataram (Ricklefs, 1995: 135).

Di masa yang sama, kepemimpinan Pakubuwono II mendapat banyak ganjalan. Banyak bermunculan pemberontak yang sejatinya berasal dari petinggi kerajaan sendiri. Hal itu didasari oleh perbedaan sikap terhadap VOC. Pakubuwono memilih bekerjasama, meskipun pada akhirnya berbalik memusuhi VOC. Tampaknya, Cakraningrat lebih suka bekerjasama dengan VOC ketimbang tunduk pada Mataram.

VOC sendiri mengalami kesulitan untuk menenangkan Mataram hingga akhirnya merangkul Cakraningrat sebagai sekutu. Atas janji kemerdekaan, Cakraningrat bersedia. Dan terbukti ia berhasil menumpas pemberontak di Mataram. Tetapi VOC ingkar janji. Cakraningrat kecewa dan akhirnya memusuhi VOC. Setelah itu, pasukan Cakraningrat merebut daerah-daerah yang dikuasai VOC di Jawa Timur (termasuk Pamekasan dan Sumenep) hingga sampai Madiun.

Cakraningrat benar-benar ingin mengakhiri dominasi VOC maupun Mataram. Tetapi cita-cita luhur itu tidak tercapai. Pasukannya berhasil dikalahkan VOC. Akhirnya, ia melarikan diri ke Banjarmasin, lalu ditangkap dan dibuang keKaap de Goede Hoop (Cape Town, Tanjung Harapan). Di sana ia mengajarkan agama Islam kepada penduduk.

Di Madura, ia juga dikenal dengan nama Pangeran Sidhing Kaap (meninggal di Cape Town pada 1753). Konon, atas permintaan keluarga, jenazahnya dipulangkan ke Madura. Sampai sekarang, ada dua makam Cakraningrat IV: di Afrika Selatan dan Bangkalan. Keduanya sama-sama dikeramatkan.

Keturunan Pangeran Cakraningrat IV bahkan punya versi tersendiri soal keberadaan makam Cakraningrat IV. Menurut riwayat yang ada, jenazahnya diambil dari Afrika Selatan dan dimakamkan kembali permakaman Aer Mata atas permintaan salah satu putranya yakni Pangeran Setyoadiningrat.


PESAN DARI NELSON MANDELA

Sosok yang dikagumi Mandela, ternyata, di negaranya tak banyak dikenal. Cakraningrat IV tak mendapat gelar pahlawan karena, mungkin, seperti pejuang Madura lainnya, dianggap pemberontak. Sejarah ditulis acapkali berdasarkan rumus: dari mana, untuk siapa dan buat apa. Sejarah dihegemoni kepentingan penguasa dan penulisnya juga. Belum lagi soal tafsir subyektif yang sering disinggung oleh Kuntowijoyo.

Sejarah yang bercorak Jawa sentris (ciri khas Orde Baru), tidak mungkin memandang kepahlawanan berasal dari raja-raja yang ingin melepaskan diri dari dominasi Jawa. Karena itu, Madura dipandang sebagai prahara. Padahal, bagi orang-orang Madura (dan juga Mandela), Cakraningrat IV tampil melawan penjajah atas nama bangsa, atas nama manusia.

Soal intrik, pengkhianatan dan sebagainya adalah bumbu abadi dalam kekuasaan. Barang tentu tak boleh menjadi alasan bahwa yang bersangkutan tak memiliki sumbangsih kebangsaan. Bukankah Sultan Agung setelah menduduki Madura kemudian ia menindas, merampas dan menjadikan penduduk Madura sebagai pekerja paksa? Ini adalah soal lain. Dan anti penjajah itu hal lain pula.

Perlawanan Cakraningrat IV terhadap penjajah menjadi bukti betapa ia bukan hanya sekadar layak untuk dijadikan pahlawan. Seperti kata Mandela: “Perjuangan mengusir penjajah hingga diasingkan dan tak pernah pulang ke tanah airnya, jauh lebih heroic ketimbang saya di penjara, yang notabene, tanah kelahiran sendiri.” 


Nelson Mandela

Farid Esack (1999) menyebut Mandela begitu mengagumi sosok Syeikh Mathura (Sayyid Abdurachman Makuto). Bagaimana mungkin kita mengabaikan sosok yang dikagumi Mandela sedangkan kita setengah mati mencintai Mandela? Itulah pesan dari Mandela: pejuang kemanusiaan haram dilupakan.

Memang Madura telah distigma begitu rupa, tapi Mandela mengingatkan : tak baik merawat prasangka dan kebencian. Mandela adalah inspirasi bagi semua bangsa. Banyak kenangan tentangnya, termasuk Cakraningrat IV... 


*Dimuat di Koran Madura, 16 Desember 2013
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu