Senin, 10 November 2014

Islam Di Madura Menurut Buya Hamka Bagian 2

Setelah Ki Gede Pamanahan dapat merebut kuasa dari Pajang dan memindahkan lambang kebesaran Majapahit ke Mataram, terasa perbedaan “Islam Pesisir” dengan “Islam Pedalaman”. Dalam gelar dipakai oleh Sutowijaya putera Ki Gede Pamanahan yang menggantikan beliau (1575) telah nyata, bahwa kebudayaan Hindu pusaka lama digabungkan dengan kebudayaan Islam mistik, untuk menjadi dasar keagungan raja. Sutowijaya bergelar “Senopati ing Alogo” (Kepala Balatentara) ditambah dengan “Sayyidin Panata gama” (Yang dipertuan pengatur agama).

Kemudian setelah Senopati mangkat (1601), digantikan oleh puteranya Mas Jolang (mangkat 1613), dan dia digantikan pula oleh puteranya Mas Ransang. Mas Ransanglah yang membentuk Filsafat Negara yang sejati, puncak kemegahan Mataram. Dia memakai gelar-gelar yang telah lebih menunjukkan keahliannya menggabungkan pusaka lama (Hindu) dengan faham baru (Islam), laksana Kartanegara dahulu telah menggabung pula di antara agama Shiwa dengan Budha dicari kira-kira mana yang sama, lalu dibangun campuran baru yang tidak Hindu lagi, dan nyata tidak pula Islam.

Gelar “Senopati” pusaka neneknya tetap dipakai. “Senopati ing Alogo” ditambah dengan “Ngabdurrahman”. Ditambah lagi gelar lain, yaitu “Prabu Pandito Cokrokusumo”, disebut juga “Hanyokrokusumo”, dan pernah dikirimnya pula utusan ke Mekkah, agar Syarif Mekkah memberinya gelar Sultan! Maka masyhurlah baginda dengan gelar Sultan Agung! Dikarangnya sendiri filsafat pandangan hidupnya berupa nyanyian, yang terkenal dengan sebutan “Sastra Gending”. Beliau menyuruh susun silsilah keturunannya daripada Nabi Adam dan Nabi Syis, tetapi juga keturunan sang Hyang Nur Cahaya dan sang Hyang Nur Rasa dan sang Hyang Nur Wening. Termasuk juga keturunan Batara Guru, sang Hyang Tunggal dan Brahmana dan Arjuna; tetapi ada juga hubungan dengan Hayam Wuruk dan Brawijaya. Sebab itu dia pun keturunan Raden Patah dan Ariya Damar. Niscaya Ulama-ulama penyiar Islam, termasuk dua orang di antara 9 wali yang terkenal, atau keturunan yang menyambut mereka, yang hidup di Pesisir memandang bahwa “filsafat” yang ditimbulkan sultan ini sangat membahayakan bagi perkembangan Islam.

Mereka mengakui bahwa ini adalah satu cara yang sangat cerdik. Sisa-sisa kehinduan menerima sebagai raja, karena baginda adalah “Prabu Pandita”. Dan orang Islam pun rela pula, karena beliau adalah “Sultan Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama”. Oleh karena yang demikian, maka diperkuatlah “Giri” sebagai pusat memperteguh benteng Islam dan sebagai penyiar Islam.

Daerah terdekat untuk menyiarkan Islam ialah Madura. Dari seluruh Indonesia bagian Timur datanglah penuntut ilmu ke Giri, atau Giri sendiri mengirim muballigh ke Ternate, dan ke pulau-pulau Nusatenggara. Sunan Giri diakui sebagai “Sultan Agama”. Beberapa Bupati merdeka di Jawa Timur telah terpengaruh oleh ajaran Giri. Di antaranya ialah Adipati Surabaya, Pangeran Fakih. Tetapi di samping membangun dasar Filsafat Negara yang demikian, Sultan Agung pun mempunyai cita hendak menyatukan seluruh tanah Jawa di bawah satu pemerintahan. Dia juga ingin memasukkan daerah Banten ke dalam kekuasaannya. Sedang Cirebon sudah takluk. Baginda pun memasukkan pengaruh juga keluar Jawa. Ke Palembang dan Jambi.

Orang Besar Indonesia itu menghadapi ujian berat. Sebab dia berhadapan dengan kekuatan Kompeni Belanda yang sedang tumbuh. Nafsu berkuasa baginda dan tantangan dari Jawa Timur terhadap baginda diketahui oleh Kompeni. Lawan Sultan Agung yang unggul ialah Yan Pieterzon Coen! Pembantu utama dari Sultan Agung ialah seorang Ulama bergelar Khalifah Imam dan seorang ahli Tasawuf, Kiyahi Suro Dono! Demi setelah baginda mengetahui bahwa Kompeni hendak membuat kontak dengan bupati Surabaya, baginda mengirim tentara di bawah pimpinan Suroantani hendak menaklukkan Jawa Timur. Mendengar tentara itu datang maka Adipati Surabaya dengan pimpinan rohani dari Sunan Giri mengadakan persatuan bupati-bupati yang sefaham. Bupati Lasem, Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan dan Arisbaya (di Madura) dan Sumenep! Bukan saja mereka hendak bertahan, tetapi bersiap hendak menyerang Mataram. Pajang pun bersedia membantu. Sayang sampai di Pajang tentara itu kekurangan makanan, sehingga Sultan Agung dapat mengalahkannya (1615). Setelah tentara itu dapat dikalahkan, Sultan Agung pula yang menyerang. Wirosobo direbutnya.

Tetapi bandar-bandar sukar ditaklukkan. Karena angkatan laut baginda kurang kuat untuk mengepung dari laut. Lasem baginda rebut di tahun 1616. Marto Loyo memimpin tentara baginda menaklukkan Pasuruan. Bupati Pajang yang memberi bantuan banyak sekali kepada pemberontak segera dapat ditundukkan. Tuban diduduki.

Dan pada tahun 1622 baginda kirim tentara terdiri daripada 80.000 prajurit buat menaklukkan Surabaya . Tetapi karena kehabisan perbekalan terpaksa kembali. Tetapi Gresik dan Jaratan baginda hancurkan, sehingga sampai sekarang nama Jaratan itu tidak terdengar lagi. Dua tahun di belakang itu (1624) baginda kirim pula tentara di bawah pimpinan Kiyahi Sujonopuro buat menaklukkan Madura. Madura waktu itu diperintah oleh lima orang bupati yang takluk kepada adipati Surabaya. Kelima kabupaten itu ialah Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega.

Madura bertahan dengan gagah perkasa. Kelima bupati bangun serentak, sehingga mulai saja tentara Mataram mendarat sudah terpukul mundur. Lasykar Madura dari Balega menyerang dengan tiba-tiba tengah malam ke pusat pimpinan Mataram, sehingga tentara Mataram menjadi kocar-kacir dan kepala perang sendiri, Kiyahi Sujonopuro tewas terbunuh. Lantaran pukulan yang keras itu, tentara Mataram terpaksa bertahan dan berlindung saja sehingga datang bantuan baru. Sultan Agung mengirim bala bantuan baru di bawah pimpinan Kiyahi Juru Kiting. Karena bantuan baru itu dapatlah tentara Madura dikalahkan. Tetapi Sultan Agung memang seorang raja yang berpandangan jauh dan kaya raya dengan siasat perang dan politik. Setelah Madura ditaklukkan, segera baginda angkat anak saudara dari Bupati Arisbaya menjadi adipati buat seluruh Madura. Namanya ialah Raden Praseno! Diberi gelar Cakraningrat dan ditetapkan kedudukannya di Sampang! Dan diberi hak memakai titel Pangeran.

Bukan main gembira Pangeran Cakraningrat menerima budi yang tinggi dari Sri Sultan Agung. Sultan Agung telah mengerti bahwa pengaruh Islam lebih mendalam di daerah itu dan penduduk lebih menyukai dikepalai oleh kaumnya sendiri. Sebab itu baginda taklukkan negeri itu dengan budi yang luhur. Dia “mandikan” cakra ningrat dengan serba-serbi kemuliaan, sehingga kerap kali pangeran Cakraninggrat menghadap ke mataram, bahkan menyediakan tenaga di mana perlu membantu Sultan, bahkan memimpin tentara yang gagah berani membela kemuliaan mataram.

Madura mendapat otonomi yang luas di bawah pimpinan pengerannya! Setalah Sri Sultan Agung merasa aman terhadap Madura, barulah baginda kerahkan jumlah tentara menaklukan Surabaya dan baginda sendiri memimpinnya. Oleh karena amat besar jumlah tentara mataram dan bantuan dari Madura tidak diharapkan lagi, maka adipati Surabaya Pangeran Fakih mengirim utusan kepada baginda ingin berdamai. Bilamana Pengeran Fakih datang menghadap Sultan, beliau dielu-elukan dengan serba kebesaran yang layak bagi raja-raja yang besar. Dan tidak ada seorang prajurit pun atau orang-orang besar kerajaan yang mengangkat muka atau kuranghormat seketika beliau datang ke perkemahan Sultan! Dia diperlakukan bukan sebagai musuh.

Ketika itulah Sultan Agung memperlihatkan kebesaran jiwanya. Meskipun dia seorang “Senopati” sejati, kepala perang gagah perkasa, muka manisnyalah yang dipertunjukkannya kepada musuhnya itu. Dia ingin menaklukkan Surabaya dengan kasih dan cinta! Suatu kejadian gilang gemilang dalam sejarah tanah air kita!

Penaklukan Surabaya sudah tidak disebut-sebut lagi, karena hati Pangeran Faqih sendiri yang sudah takluk. Apa lagi Sultan pandai membawakan dirinya sebagai Sultan beragama Islam, sebagaimana di daerah Hindu, dia pun dapat mempertunjukkan toleransinya dalam sikap yang lain pula. Yang dibicarakan tidak lagi urusan penyerahan kekuasaan, tetapi Sultan “meminang” Pangeran Faqih, sudi kiranya menerima nasib puteri baginda yang dikasihi, Ratu Wandan Sari! Dan biarlah puteri itu tinggal bersama-sama di Surabaya! Satu siasat yang amat tinggi dan payah menolaknya. Apatah lagi Ratu Wandan Sari pun seorang puteri yang cantik rupawan.

Artinya Surabaya takluk ke bawah Mataram dan Sultan Agung meninggalkan puterinya yang dikasihi mendampingi adipati yang telah takluk itu. Dan dengan sendirinya kekuasaan tertinggi ialah di Mataram. Setelah itu Sultan Agung kembali ke Mataram! Ratu Wandan Sari meneruskan siasat ayahnya! Dapat dibujuknya adipati Surabaya supaya menyerang Giri. Itulah suatu ujian yang amat besar bagi adipati Surabaya, bujuk cumbu istrinya menyebabkan beliau sudi melawan gurunya. Tetapi tentaranya kalah, sebab Sunan Giri melawan dengan gigih. Akhirnya Puteri Wandan Sari memimpin penyerangan yang kedua, dengan memakai pakaian laki-laki. Waktu itulah baru Sunan Giri dapat dikalahkan dan ditawan, dibawa ke Mataram. Dalam bersoal jawab, Sunan menyatakan terus terang tidak puas hatinya karena Sultan Mataram tidak betul-betul menegakkan Islam. Tetapi sultan pun membela pendiriannya dan berjanji tidak akan mengganggu perkembangan Islam dan pimpinan Giri dalam hal agama. Sunan Giri diangkat kembali dan diberi izin memerintah Giri sebagai sediakala. Cuma gelarnya sebagai “Sunan” diturunkan menjadi Panembahan saja!

Demikianlah kisah perlawanan Pesisir terhadap Pedalaman pada waktu itu. Dan bagi Sultan Agung sendiri, seluruh penaklukan yang dilakukannya ke Jawa Timur dan Jawa Barat adalah rangka mempersatukan tanah Jawa, dan dalam rangka menghadapi musuh besarnya, Kompeni Belanda!


Sumber: karya Buya Hamka yang berjudul “Dari Perbendaharaan Lama”


Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu