Kuntowijoyo merupakan sejarawan yang juga dikenal sebagai sastrawan, aktivis gerakan, dan budayawan. Ia mendapat gelar sarjana di Jurusan Sejarah UGM tahun 1969, Mendapat gelar M.A dari Universitas Connecticut USA tahun 1974, dan gelar Ph.D. dalam sejarah diperoleh dari Universitas Columbia tahun 1980 dengan disertasi dengan judul "Social Change in an Agrarian Society Madura 1850-1940". Disertasi inilah yang dijadikan buku dengan judul yang sama namun sudah diterjemahkan.
Penulisan buku ini berawal dari suatu penelitian yang akhirnya menghasilkan suatu disertasi yang sudah dijelaskan diatas. Sedangkan fokus kajiannya yaitu perubahan sosial masyarakat. Buku ini menjelaskan pengaruh alam dan sejarah yang memengaruhi masyarakat Madura. Kuntowijiyo sangat total dalam membuat buku ini. Hampir seluruh bidang kehidupan ia jelaskan, baik dibidang pertanian, ekonomi, kependudukan, dan hukum.
Penulisan buku ini berawal dari suatu penelitian yang akhirnya menghasilkan suatu disertasi yang sudah dijelaskan diatas. Sedangkan fokus kajiannya yaitu perubahan sosial masyarakat. Buku ini menjelaskan pengaruh alam dan sejarah yang memengaruhi masyarakat Madura. Kuntowijiyo sangat total dalam membuat buku ini. Hampir seluruh bidang kehidupan ia jelaskan, baik dibidang pertanian, ekonomi, kependudukan, dan hukum.
Sejarah yang dibahas dalam buku ini memakai pendekatan filsafat sejarah kritis. Meskipun Kuntowijoyo memakai konsep Marxian yiatu konsep formasi sosial atau cara berproduksi, tetapi bukan pendekatan sejarah marxis yang ia pakai. Bukti bahwa tulisan ini memakai pendekatan filsafat sejarah kritis ialah penulisannya berdasarkan atas suatu penelitian ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya menggunakan metodologi sejarah, yaitu sejarah masyarakat.
Tahun 1850 adalah waktu dimana penguasa-penguasa pribumi menyerah terhadap kolonial Belanda. Belanda mengenalkan sistem pemerintahan baru di Kerajaan Bangkalan tahun 1847, di Kerajaan Sumenep 1954, dan dikerajaan Pamekasan tahun 1958.
Ekologi tegal membuat pertanian di Madura menjadi unik dan mempunyai kekhasan tersendiri. Ekologi tegal inilah yang memengaruhi struktur sosial masyarakat, dan nantinya juga berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Tegal sangat bergantung kepada curah hujan, hal inilah yang membuat tanah di Madura tidak cocok ditanami padi. Kebutuhanpun tidak dapat dipenuhi. Selain tegal ada jenis tanah yang lain yaitu: sawah basah, tadah hujan. Namun yang dominan di Madura adalah tegal. Pada tahun 1830 tebu mulai ditanam di Madura dan tahun 1860 tembakau juga mulai ditanam. Kedua tanaman tersebut yang nantinya mendominasi pertanian di Madura sehingga bahan pangan pokok semakin jarang dijumpai. Hal itu diperparah lagi dengan dibukanya hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman, sehingga membuat tanah di Madura semakin tidak subur akibat dari kadar air yang sangat rendah.
Ekologi tegal telah membuat pola pemukiman tersendiri yang unik. Pemukin biasanya dibuat di dekat tegal. Yang menempatipun hanya terbatas kalangan dari keluarga pemilik tegal ataupun penggarap tegal. Hal itu membuat pola pemukiman di Madura seperti terdiri dari dusun-dusun kecil yang biasa disebut "tanean lanjeng". Jarak antar dusun cukup jauh sehingga memersulit komunikasi sosial. Karena ekologi tegal inilah banyak masyarakat Madura migrasi ke Jawa, tujuannya untuk mencari tanah yang lebih baik.
Organisasi produksi tradisional lebih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Pembayaran upeti merupakan dasar yang membentuk masyarakat, kelas negara: raja, kaum bangsawan, para birokrat, dan pembantu raja didukung oleh masyarakat melalui penyerahan upeti yang berbentuk barang ataupun jasa. Gangguan dari kaum kapitalis membuat sistem upeti runtuh. Kaum kapitalis ini kebanyakan orang cina. Karena orang tersebut seperti memotong upeti yang mengalir dari tahan kepada kerajaan atau para bangsawan.
Kolonialisasi di Madura telah membuat kelas yang baru dan terjadi perbedaan kelas yang sangat mencolok dari kelas orang asing dan peribumi, serta antara kelas negara dengan orang kebanyakan. Kelas negara dibagi menjadi : "sentana atau bangsawan", "mantri atau birokrat", dan "normal atau para pembantu".
Antara kelas-kelas yang disebutkan diatas, secara tidak langsung timbul hubungan dan persaingan. Usahawan pribumi bersaing dengan usahawan asing. Pimpinan keagamaan, mantri, kyai, dan haji melawan kekuatan kolonial Belanda. Penenaman tebu di Madura menimbulkan konflik. Disuatu sisi pihak kolonial dan kapitalis diuntungkan karena tebu adalah komoditas yang memberikan laba yang besar. Dilain sisi kebutuhan pokok berupa bahan pangan semakin berkurang. Muncullah pemberontakan petani di abad XIX. Selain perkebunan tebu, ada pula sumber penghasilan masyarakat Madura yang lainnya. Yaitu sebagi penggembala lembu dan produsen garam.
Muncul ide-ide nasionalis dari elit yang baru, yaitu kaum terdidik. Sarekat Islam muncul dengan berlandaskan agama dan memunculkan mobilisasi massa yang responsif. 1913 SI memobilisasi massa untuk melakukan kekerasan massa di Pulau Sapudi dan 1918 ada perlawanan menentang pungutan pajak. Seuatu sejarah yang baru bagi Madura, yang semula tidak responsif menjadi responsif terhadap kebijakan kolonial Belanda. Gerakan kultural seperti Madurasa, majalah: Madoeratna, "Pangodhi, Posaka Madoera".
Organisasi ini berkembang di Madura. Selain itu gerakan politik seperti Madoerezen Bond (Sarekat Madura) organisasi ini memerjuangkan pendidikan, memajukan pertanian, industri, agama, perdagangan dan budaya. Gerakan keagamaan juga banyak muncul di Madura. Antara lain: Al-Irsyad, Cahaya Islam, Nahdlatul Watan, dan masih banyak yang lainnya.
Pada tahun 1926 muncul organisasi sosial keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama atau NU. NU menggantikan peranan SI yang menurut orang-orang NU, SI adalah organisasi yang terpengaruh ahmadiyah dan wahabi. Berkembangnya NU tidak lepas dari peran para kyai dari Bangkalan. Kultur NU cocok untuk Madura sehingga mudah diterima dan politik konservatifnya NU menarik elemen tradisional, kyai. Kyai sangat besar pengaruhnya di masyarakat sehingga memudahkan gebrakan dan perubahan di masyarakat.
Kebangkitan kaum bangsawan. Gelar Raden Ario panji banyak disalahgunakan. Sehingga memunculkan pertentangan antar bangsawan tahun 1930. Hingga akhirnya gelar "Ario dan panji" distandarisasi pada tahun 1930 dan 1936. Setelah itu muncul organisasi yang menyatukan kaum bangsawan tersebut. Salah satunya Bangsawan Bond yang menuntut dikembalikannya kerajaan-kerajaan pribumi di Madura.
Pengarang : Prof. Dr. Kuntowijoyo
0 Comments:
Posting Komentar