Dalam babad kitab pararaton, dikisahkan setelah kerajaan singhasari runtuh, Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengungsi ke Sumenep meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja. Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang (Pararaton).
Untuk membuktikannya Raja Jayakatwang menguji kesetiaan Raden Wijaya dan pengikutnya dengan cara mereka semua harus melawan prajurit dari Kadiri. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet. mereka “bertarung” secara damai (mock-up battle) dengan melakukan tarian jurus pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan (pararaton).
Pada akhirnya, kompetisi ini dapat dimenangkan oleh para pengikut Raden Wijaya, dan Jayakatwang memberikan kepercayaan kepada Raden Wijaya.
Pengikut Raden Wijaya dapat memenangkan pertarungan ini karena mereka telah diajari teknik keris oleh Arya Wiraraja sendiri selama mereka mengungsi di Sumenep. oleh Arya Wiraraja, teknik pertarungan menggunakan keris ini kemudian disamarkan dan diubah menjadi tarian yang kemudian disebut “Tari Silat Sudukan Dhuwung” (menurut serat pararaton), namun oleh masyarakat kebanyakan, tari ini lebih dikenal dengan sebutan “Tari Keris”.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu(h).
Tari Gambuh merupakan salah satu tari tradisional Sumenep yang bertemakan keprajuritan. pada abad 15-16, tarian ini dibawakan oleh putri-putri Sumenep dalam menyambut tamu. properti yang digunakan adalah dua buah keris dan sebuah tameng bulat untuk setiap penari, Satu keris dipegang di tangan kanan, satu keris kecil dipasang di gelungan rambut, sementara tangan kiri memegang tameng (Prawiradiningrat, 1982).
Di Desa Slopeng, kecamatan Dasuk, kabupaten Sumenep, Jawa timur, Tari Gambuh ini ditarikan sebagai pembuka kesenian topeng dalang (Suripno, 2012). ditarikan empat lelaki berpasangan pada tiap empat penjuru sudut, adapun tata busananya terdiri dari celana selutut, sembong, stagen, sabuk (ketemang),sampur diselempangkan di bahu, kelat bahu, gelang, kalung kace, destar (Odheng), keris, dan tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter (suripno, 1982)
Komposisi penari yang dilakukan oleh empat penari berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut panceradalah titik bayangan yang ada di tengah (Supakrah, 1985).
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya. Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan. Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia (Supakrah, 1985).
Namun sayang sekali kini tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaan tari Gambuh Sumenep ini. bahkan untuk mencari videonya di youtube pun tidak ada yang mengupload. kesenian ini merupakan satu peninggalan budaya yang tak ternilai, karena bagaimanapun juga, Seni tari ini adalah salah satu faktor keberhasilan strategi besar Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. akankah tradisi berharga ini mati dan punah dibawa mati oleh penarinya yang semakin sedikit jumlahnya?
(Rahadian Panji Oki, dari berbagai sumber)
Sumber : http://tangtungan.com
Sumber : http://tangtungan.com
0 Comments:
Posting Komentar