Orang
yang ditunggu-tunggu untuk memimpin pemberontakan ahirnya tampil kedepan ialah
Raden Trunojoyo Putera Pangeran Malujo yang juga anak menantu dari Raden
Kajoran yang tidak puas dengan Amangkurat I.
Raden
Trunojoyo berjuang karena ingin membasmi ketidakadilan di Mataram dan kembali
ke Madura, di Madura ia disambut gembira oleh rakyatnya yang sudah tidak senang
terhadap pemerintahan Cakraningrat II dengan mudah Trunojoyo menaklukan Madura.
Sebenarnya
pengaruh Pangaran Maduratno sudah tertanam di kalangan Bangsawan Madura
terutama angkatan mudanya, diceritakan putera pangeran Cokronegoro Raden Bugan
yang berusia 3 tahun yang dibawa lari ke Cirebon ketika Madura mengalami
peperangan dan oleh sultan Cirebon dipelihara sebagai anaknya sendiri serta
diberi pelajaran Agama Islam kemudian ia melanjutkan pelajaran Agama tersebut
di Giri.
Disana ia berjumpa
dengan Raden Trunojoyo yang juga belajar Agama Islam disana dan saling kenal
mengenal dengan baik, selesai belajar dipesantren kemudian Raden Bugan oleh
Sultan Cirebon disuruh untuk pulang ke Sumenep ia pulang dari Cirebon dengan
menaiki perahu, sesampainya diselat Madura ia berhenti Pulau Gili Mandang yang
disebut pula Pulau Kambing yang sekarang termasuk kabupaten Sampang.
Disana ia bertapa beberapa hari lamanya didekat kuburan keramat seorang Bupati
zaman dulu dan kuburannya bangsa Cara yang yang meninggal dunia disana beserta
Anjing-anjingnya, ia berjumpa dengan Raden Trunojoyo yang juga bertapa disana.
Waktu
bertemu di Pulau itulah, Raden Trunojoyo dan Raden Bugan telah berjanji untuk
bersahabat selama-lamanya, Raden Trunojoyo berpesan bahwa suatu waktu ia akan
mengunjungi Sumenep. Sesampainya di Sumenep ia diangkat sebagai Menteri
Kabupaten dengan diberi gelar Raden Wongsojoyo, pada suatu waktu Bupati Sumenep
menerima berita bahawa Raden Trunojoyo akan berkunjung ke Sumenep. Yaing patih
menjadi kuatir serta takut menerima kabar itu seluruh pemimpin2 dikumpulkan di
Kabupaten termasuk Raden Bugan.
Dalam
pertemuan itu dibicarakan siapa yang akan menerima kedatangan Raden Trunojoyo
seluruh pembesar di Sumenep berpendapat bahwa yang menerima kedatangan
Trunojoyo ialah Yang Patih sendiri, akan tetapi Yangpatih sendiri takut untuk
berhadapan langsung dengan Trunojoyo, terutama ketika nantinya akan berperang.
Raden Wongsojoyo bersedia mengganti Eyang Patih untuk menyambut kedatangan
Trunojoyo, asal ia diperkenan membawa pasukan yang berjumlah 700 orang yang
berpakaian yang biasa dipakai oleh Tumenggung Yang Patih, dalam hal ini Yang
Patih tidak keberatan.
Keesokan
harinya berangkatlah Wongsojoyo meninggalkan Sumenep dan samapi di Prenduan
sudah sore hari karena iti mereka memerlukan untuk menginap di desa itu, pada
waktu itu pula Raden Trunojoyo sudah sampai diperbatasan Kabupaten Pamekasan
dengan Kabupaten Sumenep dan juga membawa pasukannya.
Pada
malam harinya mereka berdua dengan masing-masing memakai kudanya bertemu di
desa Kaduara Timur ditempat itu kedua pemimpin tersebut berbicara sampai dini
hari, pasukan dari Sumenep mengire bahwa Raden Wongsojoyo sudah ditawan oleh
Raden Trunojoyo oleh karena itu mereka lari-lari ke Sumenep untuk
memberitahukan kepada Yang Patih, ketika mendengar kabar itu Eyang Patih merasa
ketakutan dengan kudanya ia lari bersama keluarganya ke Sampang melalui sebelah
utara.
Raden
Wongsojoyo dan Raden Trunojoyo di ikuti oleh pasukannya terus menuju ke
Sumenep, dipinggir jalan rakyat melihatnya, ada yang mengatakan bahwa
Wongsojoyo telah ditangkap dan ada yang mengatakan kali Trunojoyo yang ditangkap
oleh Wongsojoyo untuk dihadapkan ke Bupatinya. Setelah kedua pemimpin itu
mendengar bahwa Yang Patih, Bupati Sumenep telah lari ke Sampang dan tidak akan
kembali lagi, maka dengan persetujuan Trunojoyo dan Wongsojoyo dilantik menjadi
Raja di Sumenep dan diberi Gelar Tumenggung Judonegoro atau disebut Macan
Wulung (tahun 1672) kemudian Judonegoro kawin dengan anak keponakan Trunojoyo
yang bernama Nyai Kani Putra-putranya ialah
:
1. Bernama Raden Ayu Batur.
2. Raden Ayu Artak.
2. Raden Ayu Otok
4. Raden Ayu Kacang, semuanya perempuan
Selain
dari Raden Kajoran, Sunan Giri juga tidak senangkepada Amangkurat I karena
berhubungan dengan Kompeni, orang kafir, juga Sultan Agung Tirtayasa dari
Banten mendukung Trunojoyo. Trunojoyo mendapat bantuan yang terbanyak dari
orang-orang Makassar yang yang melakukan perampokan-perampokan di lautan
sekitar Jawa Timur, setelah orang-orang Makassar jatuh mereka memerangi Belanda
dari Banten dan Madura dengan timbulnya perlawanan dari Trunojoyo mereka
memberi kesempatan kepada mereka untuk melawan politik pelebaran kekuasaan dari
Kompeni, tokoh dari orang Makassar ialah Kraeng Galesong. Persekutuan ini
diperkuat dengan perkawinan puteri Trunojoyo dengan pemimpin Makassar itu.
Melihat
perkembangan Trunojoyo begitu pesat maka Adipati Anom putera Mahkota berpihak
kepada ayahnya kembali, dari Mataram dikirim Angkatan Darat yang kuat yang
dipimpin oleh Putera Mahkota sendiri untuk menghancurkan tentara
Trunojoyo.
Pada
tanggal 13 Oktober 1676 kedua pasukan mulai bertempur di Gegedok, Adipati Anom
tidak begitu memperhatikan pertempuran sehingga tentara Mataram mendapat
kekalahan yang besar, perasaan benci makin besar pada diri Adipati Anom kompeni merasa demikian pula, bahkan disertai
rasa kawatir sebab dengan kekalahan Mataram di Gegedok itu seluruh Jawa Timur sampai di Semarang
dikuasai Trunojoyo.
Amangkurat
I sangat menderita dengan kekalahan itu dan kerajaan Mataram menjadi suram.
Sebagaimana disebutkan diatas tidak hanya Mataram yang kalah tetapi juga
Kompeni merasa terdesak, karena itu Speelman berangkat ke Jepara, satu-satunya
pantai yang masih bertahan, dari Jepara Speelman menuju Surabaya menyerang
pusat kekuasaan Trunojoyo, pertempuran hebat terjadi ahirnya Surabaya dapat
diduduki Kompeni tetapi Trunojoyo dapat meloloskan diri dan bermarkas di
Kediri, waktu itu Kompeni tidak bisa menyerang terus kepedalaman karena itu
untuk melemahkan tentara cadangan, setelah Kompeni sampai ke Madura pertempuran
berkobar sehingga Kompeni menderita kerugian cukup banyak antara lain nahkoda,
dua orang dokter dan 24 tentara Belanda yang tewas.
Pada
waktu Speelman ada di Madura ia mendengar berita yang sangat mengejutkan
dirinya ialah keraton Karta (Mataram) jatuh ditangan Trunojoyo dan ibu Kota
Mataram didudukinya, Speelman cepat-cepat kembali ke Surabaya untuk mengecek
kebenaran berita itu dan ternyata berita itu benar.
Dalam
keadaan sakit Amangkurat I terpaksa mengungsi dan diikuti putera Mahkota Adi
Anom, penyakit sesuhunan makin keras dan sebelum ia meninggal dunia Adipati
Anom dilantik menjadi sesuhunan menggantikan ayahnya, ahirnya setelah
Amangkurat I meninggal jenazahnya dikuburkan di Tegalwangi berhubung Kerajaan
jatuh ditangan Trunojoyo berarti pula Mahkota kerajaan yang berasal dari
Mojopahit dikuasainya selain itu, Trunojoyo mengawini salah seorang puteri
Amangkurat I... [DI]
Sumber : BukuSelayang Pandang Sejarah Madura
Oleh : DR.
Abdurrahman
0 Comments:
Posting Komentar