Ia diganti oleh Raden Tumnenggung
Mangkuadiningrat adalah anak dari putera tertua yang telah meninggal dunia
dengan gelar Panembahan Adipati Setyoadiningrat dalam konferensi para Bupati didaerah
Pesisiran Semarang ia merobah namanya dengan Panembahan Cokroadiningrat VI
(yang terkenal juga dengan Panembahan Tengah).
Pada tahun 1780 ia meninggal dunia dan
dikebumikan di Air Mata yang mengganti di Bangkalan ialah saudara dari ayahnya
dengan gelar Panembahan Adipati Cokroadiningrat VII, pada suatu waktu tahun
1800 timbulah peperangan antara Belanda dan Inggris. Kompeni meminta tolong
bantuan pasukan kepada Cokroadiningrat VII ia mengirim 500 orang tentara Madura
ke Batavia yang dipimpin oleh Puteranya yang bernama Raden Tumenggung
Mangkuadiningrat, karena jasa-jasanya Mangkuadiningrat mendapat tanda jasa dari
Kompeni sebuah Baki dari Emas yang sekarang ada di Museum Jakarta. Pada waktu
pendudukan Inggris di Madura Cokrodiningrat VII menerima gelar Sultan Bangkalan
I ia diangkat menjadi Bupati Wadhono Bangwetan.
Untuk membalas rasa dendamnya kepada Kompeni
Belanda ialah karena neneknya (Pangeran Cakraningrat IV) dibuang ke Kaap de
Goede Hoop, maka ia menangkap semua pegawai Kompeni yang ada diwilayah
kekuasaanya dan diserahkan kepada pemerintah Inggris.
Sultan Bangkalan I meninggal pada tahun 1815
dan dimakamkan juga di Air Mata, dalam tahun 1815 Pangeran Adipati
Setyoadingrat III oleh Raffles (wakil pemerintah Inggris di Indonesia) diangkat
sebagai ganti ayahnya dengan gelar Sultan Cokroadiningrat II atau disebut
Sultan Bangkalan II. Dalam tahun ini juga pemerintah Inggris mengembalikan
kekuasaannya di pulau-pulau Nusantara kepada Kompeni Belanda, selanjutnya
tentara Madura sering diminta bantuan oleh guna memerangi
pemberontakan-pemberontakan misalnya, pemberontakan Raden Bagus Idum di
Cirebon, perang Bone, perang di Ponegoro, perang Jambi, perang Bali dan
sebagainya.
Karena jasa-jasanya maka Raja Madura diberi
Bintang jasa oleh pemerintah Belanda, dan selain itu kerajaan-kerajaan di
Madura (Bangkalan, Sumenep dan Pamekasan) dianggap sebagai teman-teman
sederajat, selain dari pada itu di ijinkan adanya Instansi Militer yang disebut
“Corps barisan“.
Dalam tahun 1847 setelah 34 tahun memegang pimpinan
pemerintahan maka Sultan Cokroadiningrat II meninggal dunia dan dimakamkan di
belakang masjid kota Bangkalan, setelah Sultan Cokroadiningrat II meninggal
dunia dan diganti puteranya yang bernama Pangeran Adipati Setyoadiningrat IV
dan selanjutnya bergelar Panembahan Cokroadiningrat VII dan pada tahun 1862 ia
meninggal dunia dan juga dimakamkan dibelakang Masjid Agung Bangkalan.
Panembahan Cokroadiningrat VII diganti oleh
puteranya yang bergelar Panembahan Cokroadiningrat VIII. Pada tahun 1882 ia meninggal
dunia dengan tidak menurunkan putera laki-laki untuk ditunjuk sebagai gantinya.
Karena itu adalah suatu kesempatan bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk
menghapuskan Kerajaan Bangkalan dan diganti dengan Jabatan Bupati yang langsung
dibawah pimpinan Belanda.
Diketik Ulang Oleh :
Bangkalan Memory
Dari Sumber :
Buku Selayang Pandang Sejarah Madura karangan DR. Abdurrahman
0 Comments:
Posting Komentar