Senin, 10 November 2014

Islam Di Madura Menurut Buya Hamka Bagian 1

Pulau Madura yang kecil itu, yang hanya berbatas belasan mil laut saja dari pantai Surabaya, adalah sebuah pulau yang mempunyai “pribadi” sendiri. Madura tidak dapat dipisahkan lagi dari Islam, walaupun diakui banyak penduduknya karena buta huruf dan buta agama tidak tahu hakikat ajaran Islam itu. Jiwanya mirip dengan jiwa suku Bugis, sama-sama berani mengharungi lautan besar, mengadu untung di antara alunan ombak dan gelombang.

Tatkala pada tanggal 25 Nopember 1959 saya sempat menziarahi Madura kembali, sesudah ziarah pertama 25 tahun silam (1934) nampak bahwa tradisi-tradisi yang ditanamkan Islam sejak zaman bahari masih banyak yang belum dapat dibongkar oleh tradisi-tradisi modern pengaruh Barat, yang di daerah lain sudah banyak luntur. Misalnya saja tidak memakai peci atau kopiah jika sembahyang di mesjid masih akan mendapat teguran keras, mungkin akan dilempari batu!

Satu istiadat yang utama pada beberapa kampung, ialah mendirikan langgar kepunyaan keluarga di samping rumah tangga, walaupun dari rumah itu mesjid tidak begitu jauh! Langgar kepunyaan keluarga, yang didirikan di samping rumah tangga, adalah tempat bersembahyang keluarga bersama-sama. Dan juga tempat bermusyawarat, memperkatakan urusan kekeluargaan dan apabila tetamu datang dari jauh, tidaklah akan kekurangan pondokan tempat bermalam, sebab langgar ada. Kawan-kawan yang menyambut saya di Madura berkata dengan penuh kebanggaan, bahwa inilah satu-satunya pulau di Indonesia yang agamanya tidak bercampur. Pulau Sumatera – kata kawan itu – masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Batak! Pulau Sulawesi masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Minahasa dan Toraja! Pulau Kalimantan bagian pedalaman (Dayak) telah jadi Kristen! “Tetapi pulau kami 100% Islam!” kata kawan itu.

Memang! Pulau Madura telah menerima Islam sejak Islam masuk ke tanah Jawa! Sebelum pun runtuh Majapahit, Madura termasuk daerah-daerah Pesisir, atau Mancanegara yang mendapat Islam sebagai sagu jiwa di dalam membebaskan diri dari pada kekuasaan Patih Gajah Mada. Tatkala Majapahit berkuasa, segala sesuatu diatur dari pusat, dan daerah hanya menjadi alas kaki saja! Segala pujaan diberikan ke ada sang Ratu di Majapahit. Shri dan Syakti Majapahit tidak dapat ditantang mata, tidak dapat dilawan hati! Tersebarnya Islam di Pesisir Jawa Timur, dimulai dari Jaratan, Giri, Gresik dan Tuban, langsung ke Madura dan akhirnya menjadi kenyataan dengan berdirinya Kerajaan Demak, adalah tantangan rohani yang telah berubah menjadi bebas merdeka karena ajaran Tauhid Untuk menentang ajaran mendewakan raja yang telah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan Pulau Jawa khususnya sejak zaman Mataram pertama Kalingga, Singosari, sampai kepada Majapahit!

Sudah sejak dari zaman dahulu penduduk Madura, pulau kecil yang didinding lautan itu, mengharung ombak gelombang, menempuh lautan besar dengan perahu layarnya! Sudah sejak dahulu anak Madura dengan perahunya itu berlayar ke Malaka, Kerajaan Islam. Bila hari telah malam, dari pantai Madura jelas kelihatan pelita-pelita dipasang di mesjid Giri. Laksana Musa melihat api di puncak Tursina, demikianlah anak Madura melihat “api”, terutama dalam malam-malam likuran bulan puasa. Api apakah itu? Itulah api petunjuk hidayat Islam yang telah mulai diajarkan oleh Syekh ‘ Ainul Yaqin, Sunan Giri yang pertama. Sebab itu Madura mendapat Islam yang mula-mula adalah dari pembawanya yang mula-mula pula. Sebab itu usia Islam di Madura sudah setua masuknya Islam ke Jawa! Cuma. sejarah Madura tidak mencatat nama dari salah seorang Wali. Karena Islam di Indonesia lebih pesat dan mendalam jika disiarkan oleh orang-orang yang tidak dikenal, daripada nama-nama yang mentereng.

Tatkala Kerajaan Islam pertama, Kerajaan Demak berdiri dengan tidak ragu-ragu lagi Madura menggabungkan diri dalam perjuangan Demak. Perjuangan Demak amat berat. Pertama melawan sisa Majapahit, kedua melawan sisa Kerajaan Medang Kemulan.

Pengaruh Islam lebih kuat di Pesisir sampai sekarang, karena sisa perjuangan Demak. Dan mulai saja Demak berdiri (1520), Malaka telah direbut oleh Portugis dan Portugis telah berkuku di sana. Islam yang baru tumbuh di Jawa terjepit di antara ajaran Hindu pusaka Majapahit dan ajaran Kristen bawaan Portugis! Di Jawa Timur masih berdiri Kerajaan Supit Urang yang beragama Hindu. Tatkala Sultan Terenggano naik takhta Kerajaan, ‘ meneruskan rencana datuk neneknya memperluas kuasa Demak ke Jawa Timur dan ke Jawa Barat.

Terenggano adalah seorang sultan yang pintar dan banyak anak perempuannya. Masing-masing anak perempuannya dikawinkan dengan pahlawan Islam. Seorang puterinya dikawinkannya dengan Syarif Hidayatullah, yang bergelar Sunan Gunung Jati, bangsa Said keturunan Aceh (Pasai). Dan menantu ini disuruhnya menyiarkan Islam di Jawa Barat, sampai dapat mendirikan Kerajaan Banten dan Cirebon dan dapat mendirikan kota Jakarta (Jaya Karta). Seorang lagi menantunya Pangeran Langgar, pahlawan Madura! Nama kecilnya tak diingat orang lagi, dan dia pun keturunan orang biasa saja, sebagai juga Gajah Mada di Majapahit. Tetapi dalam gelar resminya “Pangeran Langgar” sudah nampak “siapa” dia. Seorang santri yang shaleh, hidup bertafakkur dalam langgar, berjiwa Tauhid yang tinggi. Dan Tauhid apabila telah tertanam dalam dada, tidak ada tempat merasa takut lagi, kecuali kepada Allah!

Sebagai seorang pemuda  Islam yang ingin memperdalam ilmu pengetahuannya, dia pergi ke Kudus, belajar kepada Syekh Ja’far Shadiq, yang lebih dikenal dengan panggilannya “Sunan Kudus”. Dan ketinggian budi anak Madura ini, kesantriannya dan gejala semangat agamanya, menyebabkan dia dikenal di istana Demak. Sultan Terenggano melihat ada sesuatu yang diperlukan dari anak muda ini, sehingga dia diambil menjadi menantu baginda dan diberi gelar Pangeran! Hanya seorang menantu Terenggano yang tidak memenuhi harapannya, yaitu Adiwijoyo Bupati Pajang. Menantu inilah kelak yang akan memindahkan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Dan dari Pajang ini pulalah kelak kekuasaan itu akan dirampas pula oleh Ki Gede Pamanahan dibawa ke Mataram.

Sultan Terenggano tewas dalam memimpin pertempuran menaklukkan Pasuruan yang masih beragama Hindu. Di Demak terjadi perebutan kuasa. Pangeran Langgar berhak menjadi raja di Demak, tetapi dia tidak datang ke Demak, sehingga terbuka kesempatan bagi Adiwijoyo mengambil kekuasaan dari keturunan Sunan Prawoto dan membunuhnya.

Dengan pindahnya kekuasaan dari Demak ke Pajang dan akhirnya kelak ke Mataram, nampaklah perkisaran angin dari pandangan Islam yang luas, seluas laut yang dapat dilayari oleh anak Madura, ke dalam suasana pedalaman, suasana pertanian dan suasana adat istiadat kuno yang masih dipertahankan. Apa lagi setelah Syekh Siti Jenar membawa ajaran tasawuf yang amat jauh ke luar dari pagar Tauhid Islam. Maka digabungkanlah Tauhid Islam dengan Brahmana Hindu; Timbullah kasta-kasta Hindu “Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra” dengan nama baru “Kiyai, Priyayi, Saudagar dan Worng Cilik”. Pindahlah pemusatan dari kepercayaan kepada Allah, kepada pemusatan penyembahan kepada raja! Ditukarlah nama “Wali” menjadi “Sunan”. Pudarlah ke- Islam-an, timbullah ke -Jawa-an (Kejawen). Maka kian lama kian nyatalah perbedaan pandangan hidup diantara dua Jawa; Jawa pedalaman dengan Jawa Pesisir! Masuk Belanda memperkuat perbedaan itu!

Madura menempuh jalannya sendiri dalam lingkungan pandang hidup Jawa Pesisir. Tanahnya miskin dan tandus, tetapi penduduknya kaya raya dengan Iman! Pulaunya  kecil, tetapi semangat Islam telah masuk ke dalam sumsum mereka, sebab itu mereka berjiwa besar. Dengan perahu-perahu, yang sekarang pun masih kita lihat berserak di pelabuhan pelabuhan Indonesia, anak Madura berlayar. Tak takut angin, tak takut badai, pisau belati tersisip di pinggangnya (badik). Mereka lebih segan kepada Kiyahinya daripada kepada Priyayinya. Mereka berlayar ke Bugis, ke Ternate, ke Pontianak, ke Malaka dan juga ke Mekkah!

Di darat mereka mengadakan “karapan sapi”, di laut mereka berselaju perahu. Beberapa bagian dari pulaunya tidak dapat ditanami, karena tandusnya; namun anak Madura tidak pernah merasa dirinya  miskin. “Kekayaan ada di laut!”

Guntingan bajunya dan pakaiannya menunjukkan kebebasan langkah tindak. Kaki celana besar dan terlalu dalam, sehingga mudah mengangkat menyepak halangan; lengan bajunya tidak boleh terlalu tebal dan destar menghiasi kepala yang membawa kemanisan sendiri! Jiwa mereka lebih berdekatan dengan jiwa orang Bugis, yang sama suka berlayar. Maka tidaklah heran, jika sekiranya setelah pamor Kerajaan Gowa jatuh, salah seorang bangsawan Gowa (Makassar) Karaeng Galesong mengembara dengan perahu serta anak buahnya, sampai ke Madura.

Meskipun bahasa Madura dan bahasa Bugis jauh perbedaannya, namun bahasa Melayu sebagai bahasa penghubung pada zaman itu, telah menghubungkan juga di antara penduduk pulau-pulau Indonesia. Tidaklah heran, jika semangat mengadu untung dengan gelombang lautan betapapun besarnya, yang ada pada orang Madura, yang ada pada orang Bugis, dapat berpadu jadi satu. Karena

lima kali sehari mereka disuruh bersatu dalam sembahyang berjamaah. Tidaklah heran jika kemudiannya darah turunan Pangeran Langgar yang bernama Trunojoyo, memadukan tenaga menegakkan cita. Tidaklah heran jika Trunojoyo mengambil Karaeng Galesong menjadi menantunya.

Maka sisa yang kelihatan sekarang ini, keteguhan pengaruh Islam di Madura, meskipun tidak kita lupakan beberapa hal yang masih “kolot”, jika dilihat dengan kacamata sekarang, bukanlah semata-mata tumbuh pada masa ini, tetapi adalah dia, pusaka lama turun temurun, sejak zaman Demak! Sejak kelihatan berkelap kelipnya api di hadapan mesjid Giri pantai Gresik, pada malam likuran bulan puasa! Anak Madura melihat api dipuncak Tursina. Merekapun datang kesana! Kedapatanlah bahwa api hanyalah unggun biasa, tiara tempurung dibakar tengah malam! Dan setelah mereka masuk ke dalam mesjid, bertemulah mereka “api sejati”, sinar Tauhid yang tetap menyala. Api itulah yang mereka bawa ke Madura di akhir abad keempat belas! Dan api itu pula yang mereka temui ketika berlayar ke Malaka! Api itulah yang mereka pasangkan sampai dalam hati mereka, yaitu Api Iman!


Sumber: karya Buya Hamka yang berjudul “Dari Perbendaharaan Lama”


Share:

1 komentar:

  1. Semuga selalu terjaga cahaya api di maduraku walau peradaban telah berubah. Tetaplah dijaga..

    BalasHapus

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu