Kain kebaya merupakan kostum nasional dari Indonesia, terutama bagi orang Jawa, Sunda dan Bali. Asal usul kebaya itu sebenarnya berasal dari Arab, di sana di sebutnya Kaba yang artinya pakaian. Nama Kebaya diperkenalkan oleh orang Portugis ketika mereka di Indonesia.
Kebaya masuk ke Madura khususnya di Bangkalan pada masa pemerintahan Raden Pratanu atau Ki Lemah Duwur pada tahun 1531 – 1592, dimana pada waktu itu kebaya sangat di gemari oleh keluarga kraton. Maka sejak itu kebaya menjadi populer di kalangan kraton sehingga menjadi pakaian sehari-hari dan sampai akhirnya masyarakat diperkenankan juga untuk berpakaian kebaya. Dengan masuknya kebaya tersebut, maka sejak itu mulailah babak baru dalam hal tata cara berpakaian bagi para wanita pada masa tersebut.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, model baju kebaya dijadikan sebagai pakaian formal dan tentunya model baju kebaya tersebut disesuaikan dengan kondisi daerah pada saat itu, termasuk di Bangkalan.
Kebaya ketika dipakai oleh kalangan Nonie Belanda sebagai pakaian formal |
Kebaya baru dianggap resmi sebagai pakaian nasional sejak SK Trimurti mengenakan model baju kebaya dan mengatakan pada dunia bahwa model baju kebaya menjadi symbol nasionalisme pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kaum wanita Bangkalan Madura, umumnya mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan.
Para wanita berkebaya di depan Pendopo Bangkalan terlihat anggun dan elegan |
Keindahan lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh. Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar, serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah dan padat.
Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka dan terus terang. Oleh karenaitu mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.
Kebaya dengan panjang tepat di atas pinggang dengan bagian depan berbentuk runcing menyerong khas roncongan Madura, umumnya digunakan bersama sarung batik motif tumpal, namun ada pula yang memakai kain panjang dengan motif tabiruan, storjan atau lasem. Warna dasarnya putih dengan motif didominasi warna merah. Untuk penguat kain digunakan odhet. Odhet adalah semacam stagen Jawa, terbuat dari tenunan bermotif polos, dengan ukuran lebar 15 cm dan panjang sekitar 1,5 meter. Warna biasanya merah, kuning atau hitam. Pada odhet terdapat ponjin atau kempelan, yaitu saku untuk menyimpan uang atau benda berharga lainnya.
Sebagai pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar renteng, terbuat dari emas dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah dinarnya, semakin panjang untaiannya berarti semakin tinggi kemampuan ekonomi pemakainya.
Untuk acara resmi wanita bangsawan Madura mengenakan kebaya panjang dengan kain batik tulis Jawa atau khas Madura. Alas kakinya berupa selop tutup. Bahan kebaya biasanya beludru. Warna gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat. Peniti cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas... [DI]
Photo Koleksi : Keluarga Raden Mas Achmad Syafii dan berbagai sumber
0 Comments:
Posting Komentar