Minggu, 13 April 2014

Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa

Masalah hubungan antara pemerintahan pusat kerajaan dan berbagai daerah kekuasaannya menjadi salah satu pokok persoalan bagi kelangsungan hidup suatu negara atau kerajaan pada zaman kuno dan juga pada kerajaan-kerajaan pada periode berikutnya seperti Demak, Pajang, dan Mataram. Hubungan itu dapat dilihat pula dalam banyak peristiwa seperti peperangan oleh Airlangga (1019-1035), pemberontakan Sadeng, pemberontakan Sora-Nambi (1313), perang Pareg-reg (1401-1406), ekspansi sultan-sultan Demak ke Jawa Barat dan Jawa Timur, serta ekspansi Mataram ke Jawa Timur, Jawa Barat dan Batavia. Di Mataram, pada masa Pakubuwana II (1726-1745) masalah hubungan tersebut menyangkut disharmonisasi antara pusat kerajaan dengan di Kartasura dan daerah-daerah kekuasaanya (misalnya dengan Madura).

Disharmonisasi itu juga tampak dalam intrik, persekongkolan serta konflik di lingkungan bangsawan keluarga raja atau sentana, para pejabat di pusat kerajaan maupun para penguasa daerah. Persekutuan para penguasa dan pejabatnya dengan hubungan antar pusat kerajaan dan daerah-daerah kekuasaan.

Demikian pula dengan halnya dengan kelangsungan hidup suatu negara atau kerajaan besar seperti Mataram pada abad ke-17. Kuat atau lemahnya kepribadian raja pemegang tampak kekuasaan di pusat kerajaan serta stabilnya pemerintahan mereka, menjadi tolak ukur loyalitas para penguasa setempat seperti tampak pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645).

Ketika Mataram mencapai masa kejayaan, Sultan Agung berusaha menciptakan hubungan antara pusat kerajaan dan daerah-daerah yang dikuasainya melalui beberapa cara; mengikat penguasa daerah dengan perkawinan, kemudian memaksanya untuk bertempat tinggal di ibu kota kerajaan, memberikan pengampunan kepada pihak yang dikalahkan, serta menindak tegas penguasa yang dianggap tidak taat atau membelot. Pada masa Pakubuwana II (1726-1749), muncul ketegangan hubungan antara pusat dan daerah, khususnya dengan Madura.

Penyebabnya karena Cakraningrat IV sejak semula ingin melapaskan diri dari kekuasaan Mataram. Dia juga mengajukan permohonan kepada Belanda agar Madura dianggap vasal VOC, walaupun VOC berkedudukan di Batavia. Sejak peristiwa itu hubungan Mataram dan Madura terus memburuk. Pakubuwana II sendiri menjadi sasaran berbagai kelompok yang saling berebut pengaruh di Kartasura. Di tengah meruncingnya pertentangan antar faksi di Kartasura, terjadilah huru-hara Cina pada akhir 1740 di Batavia. Huru-hara itu dengan cepat merambat ke persisir utara jawa, hingga menyulut kemelut di kartasura. Krisis yang melanda Kartasura itu mencapai puncaknya pada pertengahan 1742.

Buku ini berfokus pada hubungan antara pusat kerajaan dan daerah-daerah kekuasaanya pada periode akhir kartsura, serta studi peranan Cakraningrat IV dalam pegembalian ibu kota dan keraton kepada Pakubuwana II. Dengan kata lain buku ini berusaha menjelaskan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dari periode tertentu dalam sejarah Indonesia. Kejelasan hubungan itu diperlukan untuk mengetahui pengaruh pemerintah di pusat kerajaan Mataram terhadap daerah-daerah kekuasaannya dan derajat otonomi  yang dimiliki masing-masing daerah itu.

Masalah hubungan antara pusat dan daerah sepanjang sejarah, merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi suatu negara. Buku ini juga berusaha mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab goyahnya hubungan antara pusat kerajaan di Kartasura dan daerah-daerah kekuasaanya, baik hubungan pusat dan wilayah nagaragung, bang wetan, maupun hubungan pusat dan wilayah bang wetan. Dalam buku ini dijelaskan sifat hubungan Pakubuwana II dan para bangsawan serat pejabat kerajaan dalam struktur birokrasi Mataram pada abad ke-17 sampai ke-18.

Misalnya, hubungan sunan dan pejabat-pejabat birokrasi di tingkat pusat dan di tingkat lokal, hubungan pejabat  daerah dan pejabat pusat, juga hubungan pejabat suatu daerah dengan pejabat daerah lain. Denga kejelasan hubungan tersebut diharapkan dapat ditemukan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan model debirokratisasi dan deregulasi yang tengah dilancarkan oleh pemerintah saat ini. Tokoh cakraningrat IV, akan diidentifikasi baik sebagai tokoh di Madura maupun di kerajaan Mataram. Juga status, peran dan ambisi-ambisi yang dicetuskannya pada 1740-an serta perjuangannya melawan kekuasaan Mataram dan VOC.

Kemudian, buku ini berusaha menjelaskan strategi yang ditempuh VOC untuk merebut daerah-daerah potensial yang menjadi kekuasaan Mataram, khususnya wilayah pesisir utara Jawa, guna memantapkan sistem monopoli dan memajukan perniagaannya. Selain itu, buku berusaha merekonstruksi peristiwa jatuhnya ibu kota kerajaan Mataram (karatsura dan keratonnya), dalam hubungannya dengan huru-hara Cina. Dengan kata lain berusaha mengetahui Cakranigrat IV, VOC dan Pakubuwana II dalam perebutan ibu kota dan keratin itu. Jatuhnya ibu kota dan keratin Kartasura ke tangan “musuh”, menimbulkan anggapan bahwa keraton tersebut telah kehilangan kesakralannya.

Peristiwa jatuhnya keratin itu, juga menjadi salah satu faktor penyebab Pakubuwana II memindahkan ibu kota kerajaan dan keratonnya ke tempat baru, yang menjadi catatan penegas berakhirnya periode kartasura dalam sejarah Mataram. Dalam hal latar waktu dan peristiwa, buku ini memiliki titik temu dengan penelitian Remmelink. Bedanya Remmelink menekankan perhatiannya pada masalah kedudukan raja dan interaksi antara raja serta para bangsawan dengan birokrasi atau priyayi dalam hubungannya dengan perang Cina.

Sementara buku ini lebih menitikberatkan perhatian pada hubungan antara stabilitas pemerintahan kerajaan, baik di pusat maupun di daerah. Juga kemungkinan-kemungkinan yang muncul sebagai akibat perlakuan dan kontrol yang berbeda antara pusat dan daerah serta hubungan Madurra dengan daerah lainnya di Jawa timur pada masa pemerintahan Cakraningrat IV.

Untuk mengungkapkan dimensi politik hubungan pemerintah di pusat kerajaan Mataram dan wilayah kekuasaanya, khususnya yang menyangkut kedudukan dan kekuasaan raja, penulis akan menjelaskan dengan teori tentang kekuasaan (raja) yang bersifat kharismatik, tradisional dan legal rasional.

Tinjauan terhadap kekuasaan raja-raja Mataram yang kharismatik dapat dijelaskan dengan konsep rajagung binathara, dan konsep kultus raja dewa. Masalah legitimasi sebagai faktor kunci kekuasaan raja-raja mataram agar diakui secara absah oleh para pengikutnya akan dijelaskan dengan teori yang menyatakan bahwa kriteria legitimasi itu berasal dari sumber-sumber supranatural atau non-sekuler.

Dalam hal ini masyarakat masyarakat Jawa menganggap bahwa faktor legitimasi kekuasaan itu berbentuk wahyu keraton, cahaya nubuwat, andharu dan pulung. Pendekatan antropologis digunakan untuk menjelaskan proses mitologis para pendiri dinasti patriarkal dan patrimonial, khususnya pendiri Dinasti  Mataram yang diselubingi pelbagai unsur mitos, legenda, dan religi.

Berkaitan dengan masalah hubungan pusat kerajaan dan daerah-daerah kekuasaanya, teori William H. McNeill dan ibn Khaldun dianggap tepat untuk menjelaskan situasi hubungan Kartasura dan wilayah di luar pusat kerajaan, terutama di wilayah pinggiran. McNeill dalam europe’s steppe frontier menyatakan bahwa pemerintah di pusat kerajaan hanya dapat ditegakan oleh kekuatan militer dalam waktu yang panjang dengan cara melakukan ekspansi terhadap komunitas di sekelilingnya. 

Di Mataram, rampasan yang diperoleh dari hasil penaklukan selain dinikmati oleh rezim (dinasti) yang berkuasa, menengtang raja. Ahli lainnya, ibn Khaldun (abad ke-14), berpendapat bahwa suatu negara bisa kuat dipusatnya, lemah di wilayah pinggiran dan perbatasan, serta tidak berdaya di luar perbatasannya. Ibn khaldun mengibaratkan pusat kerajaan laksana jantung tempat denyut nyawa ditebarkan.

Apabila pusat kerajaan atau jantung itu jatuh ke tangan musuh, maka daerah pinggirannya akan segera di kuasai pula. Untuk menyoroti perkembangan Mataram dari kerajaan yang bersifat ekspansif menjadi kerajaan feodal defensife dan terisolasi dari luar, penulis menjelaskannya dengan teori bahwa feodalisme di suatu daerah berbeda dengan teori bahwa feodalisme di suatu daerah berbeda dengan perkembangan feodalisme di daerah lainnya.

Pada abad ke-18, Mataram mengalami proses feodalisasi secara radikal dan khas Jawa. Studi ini mengkaji masalah hubungan pusat  dan daerah pada 1740-an dari sejarah Mataram dalam hubungannya dengan pemberontakan Cina dan perlawnan Cakraningrat IV dari Madura terhadap kartasura. Intinya adalah masalah perebutan kekuasaan dan suksesi yang melibatkan raja sebagai pemegang keuasaan, bangsawan sebagai kelompok pendukung atau penentang kekuasaan raja, aparat birokrasi termasuk di dalamnya kekuatan militer, serta kondisi hubungan kekuasaan pusat dan daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram.

Dalam kemelut yang terjadi di Kartasura pada 1740-an, terdapat beberapa unsur dan pihak yang perlu diperhatikan.

Unsur-unsur yang dimaksud misalnya : 
  1. Raja sebagai pemilik kekuasaan; 
  2. Birokrasi sebagai alat kekuasaan raja, dan 
  3. Bawahan atau rakyat yang menjadi objek kekuasaan, yaitu mereka yang dianggap memiliki status lebih rendah.

Pemerintahan di Mataram sebagai kerajaan feodal memiliki hierarki kekuasaan, wewenang dan hubungan antar pribadi yang berkaitan dengan suatu privilege complexberdasarkan pemilikan tanah. Kehidupan politiknya berdasarkan tiga kelembagaan yaitu: (1). Keturunan; (2). Pertuanan, dan; (3). Ketaatan kelompok yang diorganisasikan di sekeliling patron.

Dalam sistem feodal, titik kelemahannya terletak pada penghimpunan suatu masyarakat yang tidak benar-benar bersatu. Sebaliknya , penghimpunan itu hanya mengkombinasikan hubungan sosial dan politik yang berbeda. Di pihak lain Mataram sebagai kerajaan feodal menegakan kekuasaanya berdasarkan berdasarkan kokohnya sendi-sendi hubungan raja dan penguasa daerah (vasal) atau antara patron dank lien, dengan imbalan pemilikan tanah itu muncul ketika seseorang berjasa kepada raja sehingga dia diberi hadiah tanah.

Secara genealogis kekuasaan raja patriarkal memiliki ciri-ciri : 
  1. Kekuasaan pemerintah ada di tangan pendiri kerajaan dan keturunannya, 
  2. Kekuasaan raja bersifat pribadi, 
  3. Kekuasaan raja bersandar pada kesetiaan para pejabat birokrasi dalam mencapai tujuan politiknya, dan 
  4. Kriteria penunjukan bagi jabatan birokrasi.
Dalam hal ini kontrol raja terletak pada norma yang dijadikan sanksi oleh tradisi. Bila pemilik kekuasaan dalam kerajaan patriarkial-patrimonial dan feodal adalah raja, maka raja memerlukan sekelompok pejabat guna menjalankan roda pemerintahan dan mencapai tujuan politiknya. Perangkat itu lazim disebut birokrasi kerajaan Mataram yang tumbuh dan berkembang dari kerajaan Mataram yang tumbuh dan berkembang dari kerajaan patrimonial menjadi kerajaan feodal telah mengubah komposisi dan cara pengerahan tenaga birokrasi yang diperlukan.

Setelah Mataram menjadi kerajaan feodal, raja-rajanya berhasil memperluas wilayah serta memonopoli kekuasaan. Akibatnya, sanak keluarga, suku, dan rakyatnya sendiri tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan tenaga birokrasi.dan perkembangan birokrasi di Mataram berjalan dengan rapi, terorganisir dan berkembang, telah menimbulkan stratifikasi di segala bidang dengan aneka ragam persoalan. Di lain pihak, ekspansi dan pemusatan pelbagai sumber daya oleh raja-raja Mataram kemudian menimbulkan situasi tertentu yang menyangkut hubungan pusat dan daerah.

Pakubuwana II kemudian besandar pada kekuatan VOC setelah tak mampu memadamkan huru-hara Cina dan kekuatan pasukan Madura pimpinan Cakraningrat IV. Perlawanan Madura terhadap Mataram sebenarnya telah diperhitungkan. Namun Amangkurat I maupun Pakubuwana II tidak mampu menjadikan Surabaya, Gresik, Tuban, Sidayu dan Pasuruan sebagai kekuatan aliansi. Akibatnya ketika Madura bangkit untuk kedua kalinya di bawah pimpinan Cakraningrat IV, tidak ada lagi kekuatan yang mampu menandingi.

Jatuhnya mataram telah dapat dibayangkan. Dalam kerangka ini kita dapat memahami munculnya Cakraningrat IV sebagai tokoh yang mampu merebut dan mengembalikan keraton Kartasura kepada Pakubuwana II. Dengan memanfaatkan perbedaan sikap itulah maka VOC menyelinap masuk ke dalam wilayah kerajaan Mataram. VOC berhasil mendapatkan keuntungan dari suasana keruh dan penuh gejolak yang melanda Kartasura pada 1740-an.. [DI]


Sumber : 

Buku Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa : Relasi Pusat – Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726 – 1745)

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu