Rabu, 26 Maret 2014

Wabah penyakit Kusta di Bangkalan tahun 1934-1939

Masa Kolonial Belanda sudah banyak terjadi berbagai macam penyakit di wilayah Hindia-Belanda, salah satunya penyakit Kusta. Kusta menyebar ke seluruh dunia dan menyerang berbagai kalangan masyarakat dengan segala tingkatan usia baik pria maupun wanita tanpa memandang berbagai jenis ras. Penyebaran Kusta pada umumnya terjadi pada umur 15-29 tahun. Namun dapat dijumpai juga pada umur yang sangat muda dan usia tua di atas 70 tahun.

Kusta masuk di Hindia-Belanda diidentifikasi melalui aliran besar tahanan yang dibawa sipir dari daerah yang dikuasai oleh Portugis ke Batavia. Selain itu, kedatangan bangsa Cina ke Hindia-Belanda turut serta mempengaruhi penyebaran penyakit Kusta. Bangsa Cina sudah dikenal telah lama terjangkit penyakit Kusta sebelum masuk ke Hindia-Belanda. Penyakit Kusta di Hindia Belanda ditemukan pada saat terjadi peningkatan penderita Kusta di Batavia pada paruh kedua abad ke-17.8 Penyakit Kusta sudah menjadi permasalahan bagi Hindia-Belanda sejak paruh kedua abad ke-17 terutama mencapai puncaknya pada tahun 1939.


Madura merupakan peringkat kedua wilayah yang memiliki penderita Kusta terbanyak setelah Jawa Timur. Pada tahun 1939-1940 dari tahun ket tahun angka kematian yang disebabkan oleh penyakit Kusta meningkat tajam, salah satunya terjadi di wilayah regentschap (kabupaten) Bangkalan. Pola penyebaran penyakit ini tidak terlepas dari kondisi geografis dan demografi wilayah tersebut.



Wabah penyakit Kusta di Hindia-Belanda mencapai angka tertinggi pada tahun 1939-1940. Kabupaten Bangkalan merupakan daerah yang paling banyak penduduk yang terjangkit penyakit Kusta. Hal ini dipengaruhi keadaan geografis dan demografi wilayah kabupaten Bangkalan. Pada akhirnya penyebaran penyakit kusta di daerah Bangkalan tidak hanya mempengaruhi kondisi kesehatan namun juga mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi.



Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari kondisi Kabupaten Bangkalan pada saat itu, yang menyebabkan terjadinya wabah Kusta di Bangkalan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit Lepra di Kabupaten Bangkalan antara lain :
  1. Kepadatan penduduk dan daerah yang kumuh;
  2. Kurangnya kesadaran dari masyarakat Bangkalan dalam mengatasi penyakit Kusta untuk segera berobat.
  3. Terjadinya kontak serumah dengan penderita Kusta merupakan faktor fisik dengan faktor fisik.
  4. Kesalahan diagnose dalam mengobati penyakit Kusta.
  5. Kondisi geografis sebagai faktor penunjang terjadinya wabah Kusta di Bangkalan.
Pengobatan medis yang dilakukan dalam menangani wabah penyakit Kusta di Kabupaten Bangkalan tahun 1934-1939 ini dengan mengambil langkah yang tepat. Pemerintah melakukan penambahan dokter spesialis Kusta dan beberapa staf pendukung. Untuk mengontrol penyakit Kusta pemerintah juga menambah empat mantri lulusan perawat dan enam pembantu Kusta. Pengobatan tersebut meliputi pengobatan 294 pasien hidup tahun 1939 di seluruh kabupaten, karena tidak merata di semua tempat sehingga hanya ditempatkan pada 40 titik pengobatan di seluruh Kabupaten Bangkalan 40 titik tersebar di wilayah Blega, Kamal, Aroesbaja, Geger, Kokop, Bangkalan, Sotjah, Boeloekagoeng, Kwanjar, Tanah Merah, Tragah, Boerneh, Spoelo, Tandjoeng Boemi, Labang, Galis, Konang, dan Modoeng.

Selanjutnya pengobatan bagi orang yang terkena penyakit Kusta adalah dengan mengharuskan pasien secara rutin berobat ke klinik. Kehadiran pasien Kusta ke klinik pengobatan itu rata-rata 70% dari jumlah total yang sakit yaitu 732 penderita Kusta. Dalam hal ini untuk menunjang pengobatan yang ada maka didirikannya 5 klinik rawat jalan dan sekitar 35 pusat kasual. Pada setiap kali kunjungan ada sekitar 9 pembantu perawat Kusta dari 18 kecamatan yang datang mengunjungi berbagai klinik. Jadi tiap-tiap klinik rawat dan pusat kasual mendatangkan 4 pembantu Kusta untuk menangani pasien Kusta. Pengobatan secara medis penyakit Kusta dilakukan dengan cara diberikan suntikan Chaulmoogra (Chaulmoogra merupakan minyak murni yang disterilkan sendiri dan disuntikkan kepada pasien seminggu sekali). Dausse Collobiasse dan Obat Oral Chaulmograpils yang diminum tiga kali sehari.

Biaya-biaya pengobatan ini dibebankan pada anggaran dana yang disebut “Fund Kesejahteraan Madura". Fund kesejahteraan Madura merupakan dana yang dibentuk oleh pemerintah. Tindakan untuk menanggulangi penyakit Kusta tidak hanya berupa pengobatan medis dan pengobatan tradisional melainkan juga dilakukan dengan cara isolasi. 

Para penderita kusta ditempatkan di leprozerieen (karantina) yang terpisah dari masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi diri kontak antara yang sakit dengan yang sehat sehingga di harapkan mengurangi resiko penyebar infeksi. 

Dengan adanya Dana Kesejahteraan Madura ini maka akan dapat mendirikannya 496 leprozerieen di Bangkalan untuk dipakai penderita Kusta dalam pengobatan. Isolasi ini sudah dilaksanakan untuk 90% dari pasien.

Pada kenyataannya, Dana Kesejahteraan Madura hanya berjalan lima tahun saja, hal ini disebabkan karena adanya invasi Jepang yang sudah diambang mata sehingga aktivitas-aktivitas dana ini terhenti pada akhir tahun 1941... [DI]


Photo Koleksi : Bangkalan Memory
Share:

Pesona Gunung Geger

Gunung Geger terletak di depan Balai Desa Geger dan termasuk ke dalam wilayah Desa Geger dan Desa Kampak, Kecamatan Geger yang berjarak kurang lebih 25 km dari Kota Bangkalan. Lokasi gunung ini terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan antara Kecamatan Geger, Kecamatan Kokop dan Kecamatan Tanah Merah. Dengan kondisi jalan beraspal dean lebar 2-4 m kendaraan kecil sampai jenis bus dapat langsung menuju ke objek wisata.

Ketinggian dari Gunung Geger ini kurang lebih 125 m DPL merupakan daerah tertinggi di Pulau Madura dan daerah yang paling sejuk dengan suhu rata-rata 28 derajat Celcius pada siang hari dan 24 derajat Celcius pada malam hari. Diperkirakan puncak Gunung Geger merupakan bekas daratan laut pada ribuan tahun yang lalu, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kulit kulit kerang, binatang laut, dan jenis batuan yang sama dengan jenis karang di laut. Hutan Gunung Geger merupakan hutan tropis dengan kondisi hutan 
85%. Jika kita berada di puncak Gunung Geger maka kita akan dapat melihat Bangkalan sampai ke laut. 



Selain Keindahan Wisata Alam/hutan, Objek wisata bukit geger juga memiliki Patung Kuno yang dikeramatkan, ada juga Hutan Akasia, Hutan Mahogany, dan hutan Jati seluas 42 hektar lebih, Lembah Palenggiyan dengan keindahan Danau dan Jejeran Sawah yang rapi dan luas, tempat peristirahatan di puncak bukit yaitu Situs Pelanggiran serta diwarnai oleh aneka ragam spesies binatang, bahkan sebagian tergolong spesies langka dan patut dilindungi. Diantaranya, di kawasan hutan terdapat ribuan kera berkulit abu-abu dengan ekor panjang.




Gerombolan Kera selalu berjubel di pintu masuk puncak bukit, setiap kali ada rombongan pelancong datang berkunjung. Mereka dengan ceoloteh yang hiruk pikuk, selalu saling berebut butiran jagung atau kacang yang kadang dilemparkan oleh pengunjung disepanjang kanan-kiri jalan menuju situs Goa Petapan, Goa Potre di sisi Selatan bukit , serta dan situs makam keramat di sisi Utara bukit. Tingkah polah monyet itu agak mirip dengan prilaku ribuan kera di kawasan wisata Sangeh Bali, atau komunitas kera di Hutan Nepa, Banyuates, Kabupaten Sampang.


Bukit ini juga memiliki 5 (lima) goa legendaris dan amat bersejarah, nama-namanya dalam bahasa madura kurang lebih jika di Indonesiakan seperti dalam kurung yaitu : Goa Petapan (gua tempat semedi), Goa Potre (gua putri), Goa Planangan (gua laki-laki), Goa Pancong Pote (gua pancung putih), dan Goa Olar (gua Ular).





Konon, Bukit Geger menjadi tempat manusia pertama yang menginjakkan kaki di bumi Madura. Ceritanya, pada abad ke 7-8 Masehi, Patih Pranggulan dari Kerajaan Medang di Kaki Gunung Semeru disebut-sebut sebagai orang pertama yang mendarat di Planggirân (tumpukan batu karang) di bukit Geger. Saat itu dia membawa Dewi Ratna Rorogung, anak Raja Medang yang sedang hamil.


Keduanya terdampar di Planggiran setelah mengarungi lautan dengan rakit. Di bukit Geger itu, Dewi Ratna Rorogung mendapat julukan Potre Koneng. Putri yang satu ini punya kebiasaan bersemedi di tepi tebing. Rutinitas itu dilakukan setiap hari menjelang matahari terbenam. Kini, batu mirip kursi itu disebut Palènggiyân (Madura, Red). Hingga akhirnya lahirlah Raden Segoro dari rahim Dewi Ratna Rorogung.


Untuk masyarakat luar Jatim, kebanyakan berasal dari Cirebon, Banten, dan Tasikmalaya. Bahkan ada yang datang dari Malaysia dan Brunei. Kebanyakan, masyarakat memilih Goa Petapan dan Goa Potre untuk tempat tirakat.

Menurut kisahnya, Goa Petapan menjadi tempat bertapa Adipodai dan Goa Potre tempat bertapa Potre Koneng. Pada Abad 13, Aryo Kuda Panoleh (Jokotole) yang bergelar Seco Diningrat III hendak berperang dengan Sampotoalang -Dampo Awang (Laksamana dari Cina). Sebelum bertempur, Jokotole menghadap Adipodai di Geger. Sampai akhirnya dia mendapat senjata pamungkas berupa pecut.


Saat bertempur, Jokotole menunggangi kuda terbang. Sedangkan Dampo awang naik perahu terbang. Dalam perang tanding satu lawan satu, Dampoawang beserta perahunya berhasil dihancurkan tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Piring Dampoawang jatuh di Ujung Piring-sekarang nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah.

Berawal dari legenda inilah Goa Petapan dan Goa Potre dijadikan tempat tirakat oleh masyarakat. Di dua tempat yang dianggap keramat tersebut banyak yang mendapatkan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan mistik.

Selain itu, goa lain di Bukit Geger juga memiliki keunikan. Seperti Goa Pancong Pote. Goa yang berada di bibir tebing ini di saat hujan ada air yang mengalir di lantai goa yang sangat bening. Malah warnanya seperti pelangi. “Masyarakat sekitarnya menyebutnya air tujuh warna.

Sedangkan di Goa Planangan, juga terdapat stalaktit yang menjuntai ke bawah (maaf) mirip kemaluan pria. Uniknya, air yang menetes dari stalaktit diyakini bisa menambah keperkasaan pria. Sedangkan Goa Olar disebut begitu karena di depan mulut goa ada sebongkah batu yang mirip kepala ular. Goa tersebut berada di puncak bukit.. [DI]


Photo Koleksi : Bangkalan Memory



Share:

Selasa, 25 Maret 2014

Proses Pemindahan Kereta Kayu CR Madura

Kilas balik tentang perkeretaapian di Bangkalan, bahwasannya dalam pelestarian sarana perkeretaapian Indonesia yang bernilai sejarah masih terus dilakukan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam hal ini Unit Pusat Pelestarian dan Benda Bersejarah. Salah satunya adalah proses evakuasi kereta kayu CR Madura (Dr I) yang berlokasi di Kompleks Dipo Kereta (KDK) Sidotopo Surabaya (27/04).

Kereta kayu yang dibuat pada tahun 1879 dan Mulai Dinas (MD) 27 – 05 – 1912 ini pertama kali dipakai oleh Perusahaan Kereta Api Swasta Madoera Stoomtram Maatschapijj (MS) sebagai kereta inspeksi. Dalam pemakaiannya kereta ini dipakai oleh Sultan Madura untuk inspeksi di lintas Madura.

Tahun 1985 kereta kayu ini ditemukan di Balai Yasa Kereta Api Kamal Madura dengan kondisi tertutup lumpur, Pada tahun tersebut juga kereta kayu tersebut dipindahkan dari Kamal (Madura) ke Sidotopo (Surabaya).











Pemindahan kereta kayu CR Madura ini dilaksanakan dari Sidotopo sampai dengan Ambarawa menggunakan kendaraan truck trailer. Rencananya kereta kayu CR Madura ini akan menjadi pajangan statis di Museum Kereta Api Ambarawa dan sebagai bahan edukasi mengenai sejarah kereta api di Pulau Madura. [DI]

Share:

Minggu, 23 Maret 2014

Sejarah Negara Madura Yang Terlupakan

Banyak perubahan besar di negeri ini yang diilhami gerakan generasi muda, mahasiswa, dan pejuang dari Madura. Bubarnya negara-negara boneka bikinan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia saat pusat pemerintahan Indonesia di Jogjakarta juga berangkat dari Madura. Berikut penuturan HR Soedirman Mertoadikoesoemo yang terlibat langsung dalam upaya pembubaran Negara Madura.

Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan 17 Agustus 1945. Namun, diawal kemerdekaannya, Belanda kembali merongrong kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dengan membentuk negara-negara boneka di tanah air. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu kemudian menjadi momentum tidak terlupakan bagi semua yang terlibat.


Madura adalah salah satu dari sekian banyak negara boneka yang diciptakan Belanda saat pendudukan kedua kalinya di Indonesia. Tujuannya untuk mengadu domba. Dengan kelihaian golongan birokrat saat itu, Belanda mampu membentuk negara Madura yang dipimpin wali negara. Dan terpisah dengan Jawa yang juga menjadi negara. 

Saat itu, pusat pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) terletak di Jogjakarta. Presiden negara Madura diserahkan kepada RAA Cakraningrat. "Saya masih sangat muda waktu itu. Saya duduk di bangku kelas III SMP Jungcangcang Pamekasan," kisahnya.

Beberapa tokoh pejuang dan mahasiswa merencanakan untuk membubarkan negara Madura untuk bersatu lagi dengan Indonesia. Setelah berunding, akhirnya semua yang tergabung dalam gerakan pembubaran negara Madura sepakat untuk mengadakan aksi demontrasi besar-besaran ke dewan perwakilan dan pemerintah Madura.

Untuk meminimalisir konflik fisik, diperlukan kaum terpelajar yang berada di barisan terdepan aksi demontrasi. "Seharusnya mahasiswa ada di depan. Tapi karena tidak ada mahasiswa, akhirnya pelajar yang dipercaya ada di garis depan," tuturnya.

Secara kebetulan, saat itu Soedirman adalah ketua persatuan pelajar (PP) SMP di Pamekasan. Dengan demikian, dialah yang dipercaya memimpin gerakan dan melakukan lobi agar demontrasi tidak percuma.

Soedirman membangun kekuatan dengan siswa lainnya. Caranya dengan menghubungi setiap ketua kelas yang ada. Setelah sepakat, berkumpullah massa yang terdiri dari pejuang, tokoh mahasiswa, ulama, siswa, dan masyarakat umum.

Kemudian, massa mendatangi kantor perwakilan rakyat dan kantor pemerintah. Bekerja sama dengan para pimpinan tentara Madura, akhirnya tiga orang perwakilan dari demonstran berhasil masuk ke gedung pemerintahan dan menyampaikan maksud mereka pada RAA Cakraningrat. Tiga orang yang dimaksud adalah Ramadhan, Soebandi, dan Zainal Alatas.

Tidak diduga sebelumnya, ternyata wali negara sepakat untuk membubarkan negara Madura. "Inilah yang saya sebut dengan kudeta tanpa darah. Peralihan kekuasaan tanpa kekerasan," tegasnya. Bahkan, sejak ada gerakan pembubaran negara buatan Belanda di Madura, negara lain yang dipisahkan dari Indonesia bergejolak dan memaksa untuk membubarkan diri.

Setelah dibebaskan Belanda, Soekarno dan Mohammad Hatta diresmikan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama pada 1950. Sementara RAA Cakraningrat pensiun. Namun, putra Cakraningrat diangkat Presiden Soekarno sebagai Sekjen Menteri Agama di Mekkah dan Ruslan Cakraningrat, adiknya, sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).


"Sejarah itulah yang dilupakan dari Madura. Bahkan, mungkin banyak yang tidak tahu. Sebenarnya itu penting agar masyarakat yang bukan Madura tidak skeptis memandang warga Madura," tukasnya. Menurut dia, sejarah tersebut sebaiknya dijadikan pelajaran bagi mereka yang ingin Madura segera berdiri sendiri sebagai provinsi. Hanya, untuk bisa berdiri sendiri memang harus dipersiapkan. Tapi tidak bisa menarget waktu yang dibutuhkan untuk bisa menjadi provinsi.

"Semua tergantung kondisi dan tidak bisa ditarget. Saya sama sekali tidak iri melihat daerah lain menjadi provinsi. Sebab, hanya akan menambah beban negara," ulasnya. Maksudnya, sambung Soedirman, pemerintah pusat akan banyak mengalokasikan subsidinya jika daerah tersebut kewalahan dalam pengelolaan kesejahteraan dan perekonomian daerahnya.

Dijelaskan, otonomi daerah sudah cukup baik untuk kemajuan suatu daerah. Sebab, pemerintah harus tetap menjalankan fungsi kontrolnya. Sehingga, daerah tidak bisa dengan sembarangan dan mengambil jalan sendiri dalam menentukan kebijakan penting tanpa didasari pemenuhan kebutuhan masyarakatnya...!!!


Sumber: Jawa Pos, Selasa, 29 Juli 2008


Catatan tambahan : 
Di awal abad ke-19, Daendels, kemudian Raffles, "menganakemaskan" wangsa Cakraningrat dengan memberi mereka gelar "Sultan". Namun di paruh kedua abad ke-19, Belanda tidak memberi gelar tersebut lagi. Tahun 1887 para pangeran Cakraningrat, seperti halnya pembesar Madura lainnya, sudah hanya berkedudukan regent (bupati) saja, di bawah pemerintahan Belanda...!!! 



Share:

Potret Diri Insan Madura

Sejatinya Orang Madura tersebar bukan saja hampir di seluruh Nusantara, tapi bahkan juga hampir di seluruh dunia. Tidak sedikit kisah atau cerita tentang orang Madura perantauan baik yang berskala nasional maupun internasional. Karena penyebaran yang hampir menyeluruh khususnya di Nusantara maka tidaklah sulit untuk mendapatkan kesan tentang orang Madura dari orang non Madura di manapun dan kapanpun. 

Akan tetapi sayangnya kesan yang dapat ditangkap tentang orang Madura selama ini cenderung negatif khususnya karena Faktor Pencitraannya...!!!

Pencitraan secara diskriminatif dengan hanya menampilkan salah satu sisi atau sebagian kecil saja dari kebiasaan sebagian entitas dan kemudian digeneralisasikan secara membabi-buta terhadap keseluruhan entitas tersebut. Misalnya saja dalam kasus Pencitraan orang Madura yang selama ini terkesan selalu diidentikkan dengan kekasaran dan kekerasan...Bahwa sebagian orang Madura kasar dan keras adalah sebuah fakta sosiologis yang memang sulit untuk dipungkiri. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah benar bahwa semua orang Madura itu keras dan kasar...??? 

Tidak adakah orang Madura yang lembut dan halus? Sekali lagi fakta sosiologislah yang berbicara bahwa ternyata tidak sedikit orang Madura yang berperangai halus dan berpembawaan lembut... selembut salju...???


Hal ini tentu kembali kepada masing-masing Ego secara sadar atau tidak akan self-defence...apalagi masih banyaknya Ulama Khos yang tidak kalah juga peranannya sebagai pembentuk watak para santri dan masrayakat setempat...!!!


Catatan :
Catatan Kecil sewaktu mengikuti Penelusuran Karakter Orang Madura tahun 1983 oleh Tim Sosial Kemasyarakatan di Madura Direktorat Jendral Kebudayan Depdikbud



Oleh : Hidrochin Sabarudin
Photo Koleksi : KITLV, Bangkalan Memory


Share:

Permainan Rakyat "GINGGUNG" di Kabupaten Bangkalan

Desa Sa-plasa, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Permainan ini diberi nama ginggung karena mungkin mempunyai persamaan dengan bunyinya yaitu “Ginggung...... Ginggung.....”. Permainan ini adalah permainan rakyat Madura, sangat terkenal di kalangan para petani, terutama penggembala ternak. Di Desa Sa-plasa, permainan ini sangat digemari. Desa Sa-plasa terletak di daerah pegunungan, sekitar 35 km dari kota Bangkalan.

Di daerah lain di Madura yang termasuk penggemar permainan ini, yaitu daerah pantai utara kabupaten Sampang dan Pamekasan. Di daerah tersebut permainan ini tidak dikenal dengan nama Ginggung, tetapi dikenal dengan nama rending. Tidak diketahui apa arti rending . hanya yang dimaksud adalah permainan semacam Ginggung.

HUBUNGAN PERMAINAN DENGAN PERISTIWA

Ginggung dapat dimainkan di waktu siang dan malam. Tergantung kepada pemainnya. Sebab permainan ini adalah permainan yang bersifat menghibur diri di waktu senggang. Tetapi karena, menimbulkan suara, maka irama ginggung ini dapat pula dinikmati oleh siapa pun yang mendengarnya. Adakalanya permainan ini dimainkan di ladang waktu menggembala ternak atau menjaga ladangnya. Tetapi juga dapat dimainkan di rumah atau diundang orang. Siapapun dapat memainkannya, tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan. Hanya kalau perempuan memainkannya di dalam rumah.

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA

Ada pula pegunungan yang memanjang dari bagian barat ke timur pulau Madura. Daerah pegunungan ini terletak agak ke bagian utara pulau. Daerah pegunungan ini tak berhutan seperti di pulau Jawa, sekalipun banyak pohon dan semak-semak belukar yang tumbuh di situ. Di beberapa bagian, pegunungan itu merupakan daerah bukit gundul dan gersang. Di daerah-daerah itu, penduduknya bukanlah termasuk yang hidup makmur. Karena daerahnya minus, maka penghidupan penduduknya sangat kekurangan. Tidak mengherankan kalau daerah-daerah tersebut banyak yang berimigrasi ke Jawa untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Kalau tidak mereka terpaksa bekerja keras untuk mempertahankan hidupnya.

Curah hujan memang kurang di daerah itu. Karena itu lebih banyak ladang dari pada persawahan. Selain usaha pertanian di ladang, banyak penduduknya berusaha dari peternakan. Daerah Sa-plasa bagian terbesar terdiri dari tanah ladang, banyak ditumbuhi bambu. Penduduknya yang berjumlah sekitar seribu orang itu hidupnya memang tidak mampu. Semuanya beragama Islam. Ada Sekolah Dasar Negeri Inpres dan sebuah Madrasah di desa itu.

Pada hari-hari pasaran di Sepulu, penduduk banyak yang pergi menjual hasil bumi, hasil kerajinan anyaman bambu dan berbelanja untuk kebutuhan pokoknya, sekalipun mereka harus berjalan kaki berkilo- kilometer jauhnya. Kalau ada tontonan di desa tetangganya yang terletak di dataran rendah, mereka banyak yang pergi menontonnya. Karena di daerahnya hampir-hampir tak ada hiburan. Ada radio transistor, tetapi beberapa orang penduduk saja yang memilikinya. Hubungan dengan luar desa memang agak sulit, karena selain desa tersebut terletak di daerah pegunungan, jalan menuju desa itu adalah kurang baik, apalagi pada musim penghujan. Karena kondisi desa serta penduduk desa dan keadaan alam sekitar yang demikian, tidak mengherankan kalau permainan Ginggung sebagai permainan hiburan diri, keluarga dan masyarakat, sangat digemari oleh penduduk desa tersebut.

LATAR BELAKANG SEJARAH PERKEMBANGAN

Menurut keterangan Pak Sajjidin, klebun (kepala desa) desa Sa-plasa, permainan ginggung tersebut sudah ada sejak dulu. Permainan memang timbul semula dari para penggembala ternak. Mereka mula-mula membuat layangan besar yang diberi irisan bambu halus yang kalau terkena angin berbunyi.

Layangan demikian ini dikenal dengan nama layangan wang-nguweng (karena bunyinya wanguweng). Irisan halus bambu yang menimbulkan bunyi itu disebut sabangan. Para penunggu ladang di desa itu juga membuat enterran (baling-baling) dari irisan bambu yang menimbulkan bunyi.

Bunyi dan gerakan-gerakan dari enterran itu yang dihubungkan dengan tali, bergerak-gerak menakutkan burung-burung yang akan mengganggu tanamannya.

Mungkin, katanya, bertolak dari irisan-irisan bambu yang menimbulkan bunyi itu, maka lalu dibuat alat ginggung dari irisan bambu yang diberi tali, kemudian tali itu ditarik-tarik adakalanya keras, adakalanya perlahan didepan mulut yang rongganya dikembung-kempiskan sehingga menimbulkan bunyi yang berbeda-beda. Kesatuan bunyi dapat membentuk sebuah lagu.

Karena kemudian permainan Ginggung yang dirpainkan oleh seorang yang pandai, tampak enak kedengarannya, maka permainan itu tidak untuk dinikmati oleh dirinya saja tetapi juga oleh orang yang mendengarkannya. Kemudian permainan itu tidak dimainkan seorang diri saja, tetapi beberapa orang bersama-sama memainkan dengan masing-masing menimbulkan bunyi yang berbeda. Tetapi bunyi-bunyi itu kalau serasi, betul-betul melahirkan bunyi seperti permainan musik. Tetapi kalau terlalu banyak pemain yang ikut serta, mengakibatkan bunyi yang kacau. Karena itu yang paling baik kalau hanya tiga orang saja bermain bersama.


Pemain-pemain ginggung ini tidak diorganisir, tetapi bersifat spontan. Tidak ada yang memimpin, kecuali yang sudah pandai mengajari mereka yang belum tahu. Pada perkembangannya kemudian, permainan Ginggung juga berfungsi sebagai penghibur tamu di suatu peralatan perkawinan, khitanan dan sebagainya. Yang diundang bermain, tentu mereka yang sudah pandai dan biasa bermain bersama. Kalau sudah bubar, masing-masing pemain esalame talpe (salam amplop atau salam templek) karena ada sedikit uang lelah yang diberikan oleh pengundang.

PESERTA DAN PERALATAN

Permainan ginggung semula adalah permainan perseorangan, untuk menghibur diri di waktu senggang. Tetapi pada perkembangannya kemudian beberapa pemain ginggung bermain bersama sehingga lebih sanyak (enak dan mengasyikkan kalau mendengarnya) bunyinya.

Umumnya permainan bersama ini terdiri dari tiga orang atau paling banyak empat orang. Pemainnya umumnya laki-laki, tua atau muda ataupun kanak-kanak. Wanita pun dapat memainkannya, tetapi tidak diluar rumah, hanya terbatas di dalam rumah saja. Pendeknya siapa pun dapat bermain, sebab permainan ini adalah permainan hiburan.

Tetapi kalau memainkan untuk menghibur orang lain, memang memerlukan ketrampilan khusus untuk memainkannya. Sebab selain harus bermain baik, nafas pemain harus tangguh, sebab tidak hanya memainkan sebuah lagu, tetapi banyak lagu.

ALAT PERLENGKAPAN PERMAINAN

Tentang peralatannya tidak sulit dibuat, sebab bambu yang baik untuk dibuat “Ginggung” banyak didapat di desa tersebut. Alat itu hanya sebuah bambu tipis yang diperhalus, panjangnya sekitar 30 — 35 cm, lebar sekitar 2 — 3 cm, tebal sekitar 3-4 mm.




Ujung yang sebelah selain makin menipis juga mengecil. Ujung ini nanti akan dipegang tangan kiri. Sedangkan ujung yang satu lagi tumpul diberi bertali, dan di ujung tali diikat dengan lidi sepanjang 2 cm. Tempat itu nanti dipegang tangan kanan di ujung talinya sam­bil ditarik-tarik guna menghasilkan suatu bunyi yang bergetar .Tarikan tali ini dikombinasikan dengan gerakan rongga mulut menghasilkan suatu kombinasi bunyi, maka peralatannya haruslah yang dapat menghasilkan bunyi bermacam-macam, dengan nada yang serasi.
Ada alat yang berfungsi sebagai korbi induk ada alat yang berfungsi sebagai budu anak dan alat yang berfungsi sebagai kerreb rapat, artinya suara penyeling.

Alat yang agak besar bentuknya (tetapi tetap serupa dengan lainnya) adalah berfungsi sebagai pamola yang mulai main dulu yang umumnya dipegang oleh pemain utamanya. Di desa Gunelap, desa tetangga terdekat Sa-plasa, alat ginggung banyak dibuat dan dijual belikan.

IRINGAN PERMAINAN

Permainan ini tidak diiringi dengan nyanyian.

JALAN PERMAINAN

Alat ginggung yang ujungnya menipis dan mengecil dipegang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan pemain memegang tali berlidi dan alat itu ditaruh tepat rapat di muka mulut atau adakalanya di antara dua bibir. Sentakan-sentakan tali dan kembang kempisnya rongga mulut menghasilkan serentetan bunyi yang dikehendakinya.

Tetapi untuk memainkannya, haruslah menahan nafas atau jalan pernafasan pemain tidaklah normal. Karena itu seorang pemain, hanya kuat memainkannya selama lebih kurang lima menit. Alat itu dapat dimainkan sambil duduk, tetapi juga dapat sambil berbaring santai atau sambil berdiri dan berjalan. Hanya pada umumnya untuk memperoleh suara yang baik dan kuat menahan nafas, dimainkan dengan duduk.

Karena bunyi yang dihasilkan tergantung oleh permainan rongga mulut dan alat itu sendiri yang sifatnya tidak mempunyai ukuran yang tetap, tentu saja tidaklah dapat disamakan dengan suara atau bunyi alat musik. Lagu yang dihasilkan juga tidak seperti hasil permainan musik. Bagi penduduk desa apa yang dimainkan oleh permainan Ginggung sudah cukup memuaskan untuk perintang-perintang waktu.

Lagu-lagu yang dimainkan antara lain, du rengnget, du assetti, dudding, pring. Du rengnget berarti dengan kerinduan hati. Du assem berarti adanya harapan akan pohon-asamnya, agar menghasilkan buah yang banyak. Dudding artinya tunjuk, dan pring mungkin yang berkaitan dengan rumpun-rumpun bambunya yang banyak mendatangkan penghasilan.

Banyak lagu-lagu yang lain. Kalau permainan Ginggung dimainkan oleh beberapa orang, maka yang bermain lebih dulu adalah pamola (yang memberikan lebih dulu). Baru kemudian serempak ketiga alat yang lain seperti korbi, budu, dan kerreb.

Ketiga pemain dengan ketiga alat yang serupa tetapi suaranya tidak sama, akan melahirkan suatu irama lagu yang baik apabila ada kerja sama yang baik. Seumpama gamelan, kalau dibunyikan tanpa mengingat kerja sama antara alat-alat itu, akan menghasilkan suara yang ribut dan tak enak didengar. Begitu pula Ginggung. Karena itu kalau bermain bersama di undangan peralatan, dicari pemain-pemain yang pandai dan biasa bekerja sama dalam sebuah team.





Di desa pemain-pemain itu biasa memainkan alat Ginggung sambil duduk bersila. Apalagi di muka para undangan. Seusai peralatan pemain disalami oleh tuan rumah dengan di telapak tangannya ada uangnya. Di Madura dikenal dengan salam talpe sekedar imbalan jasa atas kelelahannya. Lebih hemat dari pada menyewa tape yang harus didatangkan dari Sepulu.

PERANANANNYA MASA KINI

Peranan permainan Ginggung sebagai permainan yang tidak saja untuk menghibur dirinya sendiri dalam waktu senggang tetapi juga menghibur para pendengarnya, baik terbatas maupun meluas. Keadaan ini tidak banyak berubah di desa Sa-plasa sejak beberapa waktu yang lalu hingga sekarang. Sebab desa ini tetap masih merupakan desa yang terpencil (meji), belum banyak terjangkau oleh kemajuan-kemajuan yang dapat merubah meningkatkan taraf hidup mereka.

Kalau ada bentuk-bentuk permainan lain yang mereka lihat di dunia luar desanya, permainan itu tampaknya memerlukan uang. Bagi mereka hal itu sulit, sebab mereka lebih baik menggunakan uang tersebut bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Mereka sudah puas terhibur dengan permainan tradisional mereka ialah ginggung dengan lagu-lagu baru yang dikenalnya di luar desanya.

TANGGAPAN MASYARAKAT

Selain berfungsi sebagai alat penghibur, ginggung dapat berfungsi untuk nyare kanca (mencari teman), artinya kehidupan kelompok akibat permainan kelpmpok, akan tetap terpelihara. Permainan ini tidak melahirkan perbedaan dalam masyarakat, seluruh warga masyarakat menyukainya dan memainkan.

Mereka mempergunakan apa yang disediakan alam, yaitu adanya rumpun bambu untuk dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan dan sumber hiburan, karena alat-alat seperti sabangan untuk layangan dan ginggung juga dibuat dari pada bambu.

Egoisme dalam permainan ini tidak tampak, sebab lagu yang dimainkan dengan ginggung itu tidak terbatas untuk didengar sendiri, tetapi orang lain dapat menikmatinya. Selain itu, lagu akan tampak sanyak kalau dapat bekerja sama yang baik dengan orang lain ikut memainkan ginggung.

Demikianlah permainan ginggung yang merupakan permainan tradisional para petani umumnya, penggembala ternak pada khususnya, di desa Sa-plasa tidak pudar, tetapi terpelihara dan digemari sampai sekarang.

Kepala Seksi Kebudayaan Dep. P dan K Kabupaten Bangkalan mengadakan pembinaan juga dengan menampilkan permainan ginggung di depan masyarakat kota dan di layar televisi...doeloooee...sewaktu penayangan Jenis Permainan Rakyat "Ginggung" ditayangkan di TVRI st Surabaya...!!! 


]]> Catatan lama yang hampir terlupakan?


Oleh : Hidrochin Sabarudin
Share:

Sabtu, 22 Maret 2014

Ekspedisi Noeng Jaddih yang Menantang

Perjalanan kami dalam menyusuri Jejak Sejarah Peninggalan yang ada di Desa Parseh Kecamatan Socah di posisi Dusun Jekan - Desa Parseh Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan merupakan daerah Perbukitan Kapur dimana mempunyai 8 (delapan) Goa peninggalan Jepang yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya dengan nama Gunoeng Jaddih / Noeng Jaddih

Hamparan luas Bukit Kapur ini lebih kurang sekitar 11 Km panjangnya membujur sekaligus menjadi perbatasan Desa Parseh dan Desa Jaddih dan berada dikawasan daerah Kecamatan Socah, salah satu Goa yang nomor 1 ini dipergunakan sebagai Benteng Perlindungan dijaman Kolonial sampai dengan era Penjajahan Jepang, lubang masuk ke perut Noeng Jaddih sepanjang 145 meter dengan lebar antara 4-6 meter yang bersekat ruangan-ruangan didalamnya sampai kearah pintu keluar membujur dari arah Barat kearah Timur.

















Maap... numpang Selfie dulu yach.. hehehe...

Banyak hal yang menantang untuk lebih mendetail lagi pada kegiatan Ekspedisi ini niat kami hanya berangkat dari rasa keprihatinan, dari beberapa kelompok Pencinta Sejarah Budaya Madura, baik itu Media Online Maduracorner, Bangkalan MemoryTretan, Plat-M, Nyapsab serta komunitas komunitas lainnya.

Maksud tujuan dari Ekspedisi ini pada dasarnya merupakan bentuk kepedulian kami terhadap peninggalan sejarah di Kabupaten Bangkalan, dimana yang kami rasakan kurang perhatian dan kepedulian serta kurang kepedulian dari Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Bangkalan dalam melestarikan peninggalan sejarah di Kabupaten Bangkalan.

Catatan Sejarah ini telah membuktikan bahwasanya areal Perbukitan ini dimasa sebelum Kemerdekaan RI 1945 telah menjadi tempat Penimbunan Amunisi baik masa Kolonial Belanda yang dilanjutkan kemasa Penjajahan Jepang, dimana areal Batuporon saat itu masih belum berfungsi sebagaimana mestinya.



Terdapat beberapa situs sejarah yang ada Perbukitan Kapur Noeng Jaddih  

Perbukitan Kapur Noeng Jaddih ini sebetulnya difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai tambang Batu Kapur, baik berupa bongkahan batunya maupun pengolahan Batu sebagai Kapur (Kalsium) untuk kepentingan masyarakat sekitarnya maupun untuk Daerah Kabupaten Bangkalan.

Sebelum tahun 1996 Pengelolaan Areal Noeng Jaddih ini masih bersifat Umum sehingga siapapun juga boleh menambang Batu Kapur di areal ini seperti halnya Carik Desa Jaddih Pak Ra’I (alm), akhirnya setelah tahun 1996 ditertibkan dan sampai sekarang dikelola oleh H. Mustofa yang juga dibantu oleh H. Abdurahman keduanya berasal dari Dusun Jekan Desa Parseh Kec. Socah, telah memakai alat Mekanik Konvensional maupun jenis transpotasi angkutannya sudah menggunakan Dum-Truck.

Konon menurut cerita yang disampaikan oleh beliau seandainya salah satu Goa nomor 9 yang difungsikan sebagai Gudang Amunisi meledak, sampai sekarang sisa bongkahan akibat ledakan itu masih ada, betapa hebatnya daya ledak Amunisi tersebut Goa dengan tinggi 15 meter dan ruang didalamnya berdiameter 40 X 50 meter akhirnya berantakan dihujam oleh ledakan Amunisi tersebut, maka semua jenis Amunisi yang ada di Noeng Jaddih akhirnya dipindahkan ke Gudang Arsenal Batuporon termasuk juga Meriam yang ada di “Goa Benteng Persembunyian Bato Koroghan” ini.

Gudang Amunisi yang telah meledak

Setelah kami melihat dengan nyata ke lokasi yang dikelola oleh H.Mustofa dkk, sungguh patut berdecak kagum, lokasi tersebut dikelola sedemikian rupa sehingga areal sisa penambangan Batu Kapur ini ada yang menyerupai Kolam Renang dengan diameter 40 X 50 meter dan ditengahnya ada sumber mata air dengan debet per detiknya berkisar antara 1900 - 2500 M3, hal ini perlu diadakan pembicaraan khusus untuk mengelola daerah ini kearah alternatif sebagai kawasan daerah Pariwisata.  


Video Kolam Renang Buatan Terbesar di Pulau Madura


Alhamdulillah... kami akhirnya pulang bersama dengan membawa kesan yang berbeda di hati sanubari masing-masing, mungkin saat ini mereka tengah asyik menceritakan pengalamannya tentang "Sisa sisa Perjoeangan Nenek Moyangnya" di areal Noeng Jaddih kepada handai taulannya... [Mas Indra]



"Kalau Bukan Kita Siapa Lagi.... Kalau Tidak Sekarang Kapan Lagi"




Sumber : Mas Indra

Photo Koleksi : Bangkalan Memory


Share:
Copyright © BANGKALAN MEMORY | Powered by Bangkalan Memory Design by Bang Memo | Kilas Balik Bangkalan Tempo Dulu